Pemira tak ubahnya seperti demokrasi puro-puro, tak pernah mau evaluasi demi langgengkan kekuasaan golongannya sendiri.
Pemira hanya satu bentuk legitimasi pelanggengan kekuasaan satu golongan. Lihat saja, pendaftaran calon ketua BEM hanya diperkenankan bagi mereka yang telah melalui proses kaderisasi BEM Fakultas dan Universitas. Sampai hari ini, mahasiswa yang ingin melaju dalam kontestasi politik BEM Universitas masih harus dibebani oleh persyaratan PKM-F dan PKM-U serta pengumpulan 35 KRS di tiap fakultas.
Akibatnya, hari ini salah satu calon ketua BEM tidak dapat lolos dalam masa verifikasi Pemiliihan Eksekutif (Pileks). Sebab, calon tersebut mengaku kesulitan mengumpulkan KRS karena ada black campaign dari salah satu paslon. Lebih mengenaskannya lagi, kita tidak pernah melihat adanya calon yang merepresentasikan mahasiswa tongkrongan, mahasiswa Ormawa, dan berbagai golongan lainnya yang mencerminkan berbagai kepentingan di kampus kita.
Tidak hanya tahun ini saja mahasiswa memanas karena isu Pemira. Tercatat di tahun 2021 dan 2018, Pemira UNJ menunjukkan kegagalannya menjalankan sistem pemilihan yang mereka katakan Luber Jurdil. Di tahun 2021, 50 dari 200 mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah dan beberapa mahasiswa FBS merasa dicurangi akun Si Kora-nya. Sebab akun mereka tercatat telah memilih kandidat sebelum mereka mencoblos. Jumlah tersebut diprediksi jauh lebih besar lagi karena hanya ada sedikit laporan yang masuk menurut KPU.
Sedangkan di tahun 2018, mahasiswa UNJ dikejutkan oleh satu notulensi rapat syuro wajaha siyasah pada Minggu (23/9/2018). Rapat tersebut dihadiri oleh Ketua KPU Fakultas, satu calon ketua BEM Fakultas, dan beberapa pihak lainnya. Diketahui rapat tersebut dijalankan guna memuluskan pemenangan satu calon di fakultas yang disamarkan namanya.
Berbagai upaya kecurangan di atas adalah sedikit upaya pelanggengan kekuasaan yang tampak di permukaan. Masalah tersebut memunculkan permasalahan lainnya, seperti representasi pemimpin perempuan di BEM dan kotak kosong Pemira Universitas sampai Prodi. Bahkan seperti yang kita tahu, separuh lebih mahasiswa UNJ skeptis dan memilih untuk tidak berpartisipasi dalam Pemira. Realita ini mengindikasikan calon ketua BEM tidak pernah mampu merepresentasikan mahasiswa di UNJ.
Terlebih lagi, mereka yang menduduki kursi kekuasaan di BEM tidak pernah mau tahu tentang permasalahan mahasiswa. Silakan baca berbagai permasalahan pelik yang dituliskan Didaktika dalam website maupun terbitan lainnya. BEM UNJ amat jarang bertindak atas berbagai permasalahan itu. Utamanya tentang isu-isu umum macam UKT, SPU, atau PTN-BH.
Lazim terdengar, “Untuk apa turut serta dalam pemilihan bila nantinya UKT dan berbagai masalah itu harus saya tanggung sendiri?”
Pertanyaan itu bukan lagi satu perkara sepele, kebobrokan Pemilihan Raya telah mendarah daging dalam keanggotaan organisasi legislatif mahasiswa. Nantinya, hal ini berujung pada berbagai permasalahan mahasiswa hari ini. Sosok BEM UNJ sebagai Opmawa eksekutif yang memiliki wewenang besar justru tak ubahnya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Terlampau banyak mengatakan hidup mahasiswa, namun gagal membaca situasi kampusnya sendiri.
Diskusi “Ada apa dengan Pemira UNJ?” pada Jumat (29/12/23) lalu juga tidak dihadiri oleh anggota lembaga legislatif mahasiswa. Berbagai alasan tidak dapat diterima atas tidak hadirnya anggota legislatif, sebab diskusi itulah ruang terbuka untuk membuktikan keabsahan Pemira tahun 2023.
Walaupun begitu Sarkadi, selaku WR III Bagian Kemahasiswaan menyepakati adanya perubahan atas sistem Pemira. Sebab baginya, peraturan-peraturan memberatkan seperti PKM dan KRS tidak rasional sama sekali. Menurutnya, bisa saja mahasiswa lain telah terlatih memimpin di pelatihan kepemimpinan lainnya, atau di organisasi sebelumnya. Lalu syarat KRS juga dirasa memberatkan, cukup buktikan dukungan mahasiswa dengan syarat KRS di beberapa fakultas saja. Sejauh mana dukungan massa, nanti akan dibuktikan di masa pemilihan.
Sarkadi sempat berjanji mengenai perubahan sistem Pemira. Ia berujar, “Saya berjanji akan ubah sistem Pemira setelah Pemira tahun ini. Saya akan kumpulkan seluruh komponen mahasiswa untuk bersama membuat sistem baru yang lebih baik.”
Janji perubahan tersebut merupakan bentuk legitimasi perubahan sistem dalam Pemira UNJ. Namun janji tersebut harus dibarengi dengan pengawasan massa dari berbagai elemen. Tanpa pengawasan mahasiswa, dikhawatirkan perubahan tersebut hanya berujung pada upaya mempertahankan kekuasaan di tengah ramai-ramai permasalahan Pemira tahun ini.
Baca juga: Kotak Kosong Juga Bagian dari Demokrasi
Demokrasi Sejatinya Adalah Ketidaksepakatan
Menggaungkan Pemira sebagai pesta demokrasi UNJ justru menihilkan makna demokrasi itu sendiri. Melalui mekanisme kaderisasi dan persyaratan pengajuan ketua dan wakilnya, Pemira UNJ seakan menciptakan iklim kesepakatan bagi masyarakatnya (mahasiswa). Bahwa kesetaraan sudah terbangun melalui sistem pemilihan raya di kampus. Dengan diberikannya ruang-ruang partisipatif mahasiswa melalui pencoblosan.
Sejatinya, demokrasi bukanlah satu bentuk kesepakatan atau konsensus. Demokrasi adalah disensus. Bahwa berbagai golongan yang coba dinaungi oleh iklim demokrasi memungkinkan masyarakat dari golongan manapun dapat setara untuk saling mengkritik dan memiliki hak kebebasan berpendapat. Namun realitanya, hari ini demokrasi justru lesu sebab ruang-ruang demokrasi telah dipreteli oleh mekanisme otoritas mempertahankan kekuasaannya.
Bentuk kesetaraan yang dipahami oleh penyelenggara Pemira adalah kesetaraan aritmatis. Kesetaraan tersebut didasari pada pembagian merata kepada semua orang. Bagi Ranciere, kesetaraan harus melampaui pandangan kesetaraan aritmatis yang dikemukakan oleh Aristoteles. Kesetaraan tidak hanya berpijak pada pembagian merata, tapi merupakan tindakan politik antara “yang salah” atau “orang pinggiran” ketika menunjukkan eksistensinya kepada tatanan sosial yang telah mapan.
“Penolakan terhadap ‘yang salah’ di dalam tatanan sosial memiliki konsekuensi bahwa mereka harus diatasi agar kehidupan bersama yang harmonis dapat berjalan. Ide kesetaraan diangkat oleh banyak pemikir untuk mengatasi keberadaan ‘yang salah’. Namun ide itu selanjutnya dibungkus dalam aneka argumentasi yang sebenarnya tetap menempatkan ‘yang salah’ secara tidak setara dengan kelompok masyarakat yang menduduki tatanan sosial dominan,” Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Ranciere, hlm. 15.
“Yang salah” di sini tidak dapat dimaknai dalam pemahaman moral, Ranciere menyatakan bahwa “yang salah” adalah kelompok di luar tatanan sosial dominan yang tidak terhitung. Keberadaan “yang salah” di dalam sistem politik mahasiswa UNJ justru ditekan habis-habisan, sampai pada titik mahasiswa mengabaikan kekuasaan BEM yang tidak merepresentasikan golongannya.
Sepatutnya, kesetaraan aktif menjadi satu prasyarat penting di dalam demokrasi kita hari ini. Bahwa keterlibatan mahasiswa UNJ dari bermacam latar belakang, tidak dibatasi dan diberikan ruang untuk menyatakan eksistensinya dalam panggung politik. Pembatasan yang terjadi hari ini, justru meniadakan upaya-upaya kelompok “yang salah” untuk memverifikasi kesetaraannya pada lembaga pemerintahan di kampus.
Penyelesaian konflik politik antara salah satu calon yang gagal dengan calon tunggal Pemira Universitas 2023 patut dikutuk. Sebab penyelenggara Pemira tidak hanya menutup ruang politik salah satu golongan di UNJ, tapi juga membangun tembok pemisah antara satu golongan kepada seluruh golongan yang ada di UNJ.
Maka dari itu, mahasiswa UNJ dari berbagai golongan patutnya berbenah diri dan membersamai pengawasan terhadap Opmawa legislatif dan eksekutif di kampus. Bila ternyata ketidakhadiran KPU dan lembaga legislatif lainnya dalam diskusi Jumat lalu dinyatakan sebagai pelecehan terhadap demokrasi di kampus, sudah selayaknya seluruh elemen menyatakan penolakan pada sistem pemilihan raya yang masih berjalan sampai hari ini.
Penulis: Ragil Firdaus
Editor: Asbabur Riyasy