“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur sulit diperbaiki!” Muhammad Hatta
SEBETULNYA, dari banyaknya drama menjelang Pemilihan Umum Raya (Pemira) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2019, mungkin kita semua sudah dapat menebak apa saja yang akan terjadi. UNJ memiliki warna yang khas dalam corak pergerakan mahasiswa, yang mungkin tidak jauh berbeda dengan kampus-kampus lain di Indonesia.
Penyelenggaraan Pemira menjadi sebuah sorotan besar bagi masyarakat UNJ dalam menentukan arah dan masa depan gerakan mahasiwa, terlebih UNJ yang sering disebut-sebut orang sebagai kampus pergerakan. Kalau di kampus-kampus lain dominan Pemira diramaikan oleh poros-poros eksternal, serta dinamika politik yang saling sikut-menyikut, namun lain halnya dengan UNJ. Tidak banyak yang menyadari, UNJ selama ini cukup kuat dalam membentuk pertahanan diri dari pengaruh dan keterlibatan eksternal—baik organisasi kemahasiswaan, terlebih partai politik—pada penyelenggaraan Pemira—yang terlihat lho ya, ndak tahu kalau yang tersembunyi. Hal ini diperkuat dengan adanya syarat-syarat yang menyatakan ketakwaan diri kepada Tuhan YME dan ketidakterlibatan setiap komponen Pemira pada partai politik.
Apakah kemudian penyelenggaraan Pemira di UNJ selama ini dapat dikatakan memenuhi asas-asas Luberjurdil, sebagaimana pada PO UNJ Nomor 03 Tahun 2016 tentang Pileks Bab II pasal 2 tentang Asas Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemilu UNJ? Apakah kemudian Penyelenggaraan Pemira di UNJ selama ini betul-betul terbebas dari pengaruh pihak eksternal dan/atau kecurangan? Mari sama-sama kita kuliti berdasarkan fenomena yang masing-masing kita rasakan dan apa yang saya temukan.
Berbicara soal corak pergerakan, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ‘anak atas’ dan ‘anak bawah’, ‘orang kanan’ dan ‘orang kiri’, atau dengan sebutan lain ‘anak masjid’ dan ‘anak tongkrongan’, atau sebutan-sebutan lain yang barangkali menjurus pada pengertian yang sama. Dunia kampus memang menawarkan banyak sekali jenis dan corak pemikiran yang pada akhirnya mempengaruhi cara berpikir mahasiswa dan mengelompokkan mahasiswa berdasarkan cara berpikir dan bergaulnya. Walau terkesan hanya sekadar anggapan yang didasarkan pada kebiasaan yang sama, akan tetapi istilah-istilah ini tidak menafikan adanya misi-misi tertentu dari tiap-tiap corak/kelompok tersebut; bahkan upaya untuk saling sikut-menyikut. Masing-masing berdalih, kekuasaan harus dipegang agar mudah menciptakan kultur gerakan sesuai dengan kelompoknya, demi kebaikan dan lain sebagainya. Padahal, seyogyanya pemira adalah ajang adu gagasan untuk menjawab segala keresahan mahasiswa dan masyarakat—sekaligus ajang memperluas rangkulan, bukan lingkaran—yang menjunjung tinggi ketakwaan kepada Tuhan dan asas-asas pemira.
Setelah sebelumnya Saudara Asrul Pauzi Hasibuan menyindir habis-habisan ‘akhir cerita’ Pemira UNJ—khususnya eksekutif—melalui tulisannya yang berjudul “Sepiring Berdua ala BEM UNJ”, saya bermaksud memberikan bahan diskusi terkait ‘akhir cerita’ Pemira Fakultas X. Beberapa hal yang melatarbelakangi terpilihnya kalimat ‘Ujian Politik Fakultas X’ menjadi judul tulisan ini ialah: pertama, sebuah keresahan yang terus menganggu ketenangan batin apabila hal yang saya temukan tidak segera saya sampaikan kepada khalayak. Kedua, hasil rangkuman dan analisis pribadi berdasarkan perjalanan politik Fakultas X pada tahun-tahun terakhir. Adapun tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan pihak manapun, dan nama-nama yang saya inisialkan di bawah ini adalah apa yang sebenar-benarnya saya temukan pada sebuah notulensi syuro tanpa mengurangi dan/atau melebih-lebihkan.
Menurut Lukes dalam studinya tentang kekuasaan, ia membagi konsep kekuasaan ini menjadi tiga dimensi yakni dimensi pertama berhubungan pada kapasitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan, yang mengacu pada aktor. Dimensi kedua merupakan dimensi yang mengasumsikan adanya hubungan hirarkis antara kelompok-kelompok sosial. Para aktor berada pada posisi kuat memiliki kapasitas kuat untuk mencapai kepentingan yang lebih jauh. Dimensi ketiga kekuasaan sifatnya mengelabui dengan melibatkan manipulasi agenda politik serta mencakup persuasi atas kelompok-kelompok subordinat, yang intinya melibatkan kontrol pemikiran dan penciptaan kesadaran semu.
Serupa dengan pandangan Lukes, dimensi kekuasaan itu nampaknya telah tercipta pada Pemira Fakultas X di tahun 2018. Dalam Pemira ini diwarnai oleh noda-noda kepentingan kelompok yang kemudian berjalan sah dan tidak kasatmata. Satu hal yang terlambat saya sadari adalah sebuah keharusan melaporkan temuan ini kepada Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) tingkat Fakultas pada waktu yang ditentukan, karena pada saat itu saya hanya terfokus pada ranah Prodi.
Pada Notulensi Syuro Wajiha Siyasi, berhari/tanggal: Minggu, 23 September 2018, pukul: 13.00-17.30 WIB, bertempat di Yayasan Pisangan, memuat nama-nama peserta syuro dan beberapa bahasan berkenaan dengan pelaksanaan Pemira Fakultas X 2018. Perlu diketahui, detik-detik penyelenggaraan Pemira Fakultas X tahun 2018 dimulai pada tanggal 27 September 2018, yakni Pembukaan Pendaftaran Calon Ketua KPU Fakultas, dilanjutkan dengan masa pengambilan berkas bakal calon Ketua BEMF pada tanggal 31 Oktober 2018, dan rangkaian berikutnya sampai pada masa pencoblosan 26-29 November 2018.
Poin pertama pada bahasan syuro tersebut ialah mengenai struktur KPU dan timeline KPU itu sendiri. ‘B’ direncanakan sebagai Ketua KPU Fakultas X 2018 pada notulensi syuro (23/9)—empat hari sebelum pembukaan pendaftaran calon ketua KPU (27 September-2 Oktober 2018), dan diketahui telah ditetapkan menjadi Ketua KPU Fakultas X 2018 oleh Panitia Seleksi (Pansel) setelah melalui sidang paripurna BPM Fakultas X pada press release BPM Fakultas X UNJ bertanggal 7 Oktober 2018. Selain ‘B’ yang direncanakan sebagai Ketua KPU Fakultas X 2018, ada beberapa nama lain yang juga menjadi catatan untuk mengisi posisi penting pada KPU, yakni ‘D’ sebagai Koor Adhum dan ‘S’ sebagai Koor Acara. Seperti yang sama-sama kita ketahui, mekanisme pemilihan Ketua KPU dilalui dengan tahap penyeleksian oleh Pansel, yang terdiri dari perwakilan Eksekutif, Legislatif dan Ketua KPU sebelumnya. ‘AB’ yang termasuk bagian dari panitia seleksi, tercatat hadir sebagai peserta syuro (23/9).
Poin kedua dan ketiga pada bahasan syuro, mengenai progress dan timeline kegiatan Makrab dan PKMP seluruh prodi se-Fakultas X. Poin keempat pada bahasan syuro, mengenai kemenangan Ketua Prodi Se-Fakultas X, Karakteristik Ketua BEM Fakultas X, berikut catatan dan saran yang lebih teridentifikasi sebagai langkah dan upaya kemenangan. Tercatat 6 nama dari 10 prodi yang ada—satu termasuk orang yang hadir pada pertemuan tersebut—dengan catatan dan saran: upayakan nama-nama di list, mencari mesin politik untuk dukung mereka, fikriyah lebih ditingkatkan, leadership. Sedangkan karakteristik Calon Ketua BEM Fakultas X juga menyeret beberapa nama, satu di antaranya berinisial ‘R’ yang juga tercatat hadir pada pertemuan tersebut; dengan pekerjaan rumah: bangun komunikasi antarprodi, pemetaan SDM dan timses, mencari orang-orang yang berpengaruh dan siap mencari KTM, upgrade diri (leadership dan ketokohan), kumpul angkatan 2016, dan kesiapan administrasi.
Dari keseluruhan paparan di atas, saya pribadi menilai adanya sebuah hasrat politik yang tinggi, penuh intrik, dan telah mendarah daging di Fakultas tersebut. Entah bagaimana dengan Fakultas-fakultas yang lain. Apabila dibiarkan, tentu akan terus berkembangbiak menjadi virus yang akan melumpuhkan—bahkan mematikan—makna serta nilai-nilai demokrasi. Kalau memang tujuannya adalah kebaikan, maka cara yang ditempuh haruslah cara yang baik dan benar, tentu bukan baik dan benar yang dilihat dari kacamata pribadi/kelompok. Tidak ada kebaikan yang ditempuh dengan cara yang kotor! Bersih setelah sembunyi-sembunyi mencuci tangan mungkin.
Yang perlu sama-sama kita garis bawahi dan kembali kita cermati, ketika oknum dari Pansel, Ketua KPU TERCATAT yang pada hari pembahasan masih belum berstatus apa-apa, oknum mahasiswa tingkat empat dan alumni, pun demikian dengan bakal Calon Ketua BEM Prodi dan Fakultas, serta beberapa nama lainnya yang pada akhirnya terdaftar sebagai timses dan/atau simpatisan, dapat duduk bersama di suatu forum yang membahas salah satunya tentang rangkaian perhelatan akbar tahunan, yakni Pemira. Di mana integritas KPU sebagai lembaga independen yang harusnya dapat kami percaya? Terlepas dimudahkannya proses pemberkasan bakal calon atau tidak, KPU Fakultas X 2018 telah menodai dirinya sendiri dan demokrasi dengan dasar kepentingan kelompok. Jadi, tidak perlu heran kalau Pemira yang lalu lawannya adalah kotak kosong. Mungkin notulensi tersebut sudah lebih dulu tersebar, sehingga mengurung niat para calon yang lain. Entah. Apakah hal serupa juga akan terjadi di tahun ini? Semoga tidak!
Tidak dibenarkan, siapapun, kelompok manapun, melakukan tindakan yang menodai nilai-nilai demokrasi. Tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan. Bersamaan dengan tulisan ini pula, saya menunggu sangkalan—atau pengakuan—yang mungkin perlu kita akhiri dengan bermubahalah? Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya pribadi menitip pesan sekaligus harapan untuk Pemira yang sedang berlangsung, khususnya pada Fakultas X. Mari sama-sama kita jaga keutuhan demokrasi kampus tercinta dan menolak dengan tegas segala bentuk kecurangan, dengan tetap menjaga integritas dan kondusifitas selama rangkaian Ujian Politik Fakultas X yang berasaskan Luberjurdil. Ibu guru pernah bilang, sesulit apapun soal yang kamu hadapi, jangan percaya kunci jawaban kerjakanlah dengan jujur dan dengan dirimu sendiri, karena jujur pangkal SELAMAT!
16/11/2019
Arya Narayana*
Catatan Redaksi: Tulisan ini menjadi tanggung jawab dari Didit Handika dan Adi Rahzalafna. Bila ada kritik maupun sanggahan terhadap tulisan ini, kami menyediakan hak jawab yang bisa dikirimkan ke email kami (lpmdidaktikaunj[at.]gmail.com) atau berkomunikasi dengan penanggung jawab tulisan ini.