Empat tahun telah berlalu, nasib warga Kampung Bulak dipertaruhkan karena minimnya mediasi dan kompensasi dari pihak UIII. 

Romlah merasa kaget ketika diberitahu oleh aparat kepolisian bahwa rumahnya akan digusur. Perempuan yang pernah menjadi sekretaris RW Kampung Bulak itu mengaku, ia sempat mengalami stress berat ketika menerima kabar tersebut. Ia tidak menyangka bahwa lahannya akan menjadi korban pertama penggusuran oleh Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada November 2019 silam. 

Sebelum penggusuran terjadi, Romlah menjelaskan, warga sempat bernegosisasi dengan aparat yang datang. Akan tetapi, negosiasi tak berjalan dengan lancar, aparat malah melakukan penghancuran terhadap jembatan yang digunakan sebagai akses masuk warga di Kampung Bulak. Selain itu, warga dipaksa mengeluarkan barang-barang mereka dari rumah. 

“Pagi sekitar jam 8 negoisasi,  habis itu dipaksa, barang-barang dikeluarin sama mereka,” terang Romlah. 

Romlah melanjutkan, sekitar 7000 meter lahannya beserta tanaman yang ia rawat digusur habis oleh pihak UIII. Akibat dari penggusuran sepihak itu, Romlah terpaksa kehilangan pekerjaannya sebagai seorang petani. Selain dirinya, banyak pula warga yang harus kehilangan mata pencahariannya sebab masyarakat  menggantungkan hidupnya di lahan garapan mereka. 

Hingga kini, nasib warga yang tergusur dipertaruhkan karena tak ada kejelasan dari pihak UIII. Meskipun sebelum digusur, Romlah dan beberapa warga pernah meminta UIII memberikan relokasi, dan ganti rugi yang layak. Namun, UIII tidak pernah memberikan jawaban pasti kepada warga dan tetap melakukan penggusuran tanpa Surat Pemberitahuan (SP). 

Iklan

“Kami mengajukan bagaimana kami siap. Keluarga disini tentu dengan persyaratan, adakah tempat kami diluar sana? Kalaupun tidak ada tempat seperti apa untuk diganti lahan kami ini? Mereka tidak ada jawaban,” jelas Romlah. 

Romlah menjelaskan, setelah penggusuran, ia masih memperjuangkan keadilan untuknya dan warga di sana. Ia sempat mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak kepada UIII. Tetapi, sampai saat ini UIII masih tidak merespon. Harapannya, hadirnya Komnas HAM dapat mendesak UIII untuk melakukan mediasi bersama warga.

“Masyarakat bergantung pada lahan sebagai mata pencaharian mereka, kehilangan penghasilan mereka dan merencanakan mediasi bersama UIII dan meminta kompensasi,” ujar Romlah.

Romaldus salah satu warga Kampung Bulak turut mengalami hal serupa. Pria berusia 67 tahun itu baru mengetahui lahannya digusur beberapa hari setelahnya. Saat mengetahui lahannya digusur, ia langsung mendatangi UIII dan merundingkan perkara lahannya. 

Menurut Romaldus, UIII beralasan bahwa lahannya sudah digusur dari tahun 2019. Namun,  Romaldus menyangkal alasan itu, ia pun membawa surat peringatan penggusuran tahun 2019 dan terbukti namanya tak tercantum sama sekali. 

Ini kan ada surat gusur 2019. Nama saya gak ada,” jelas Romaldus. 

Setelah penggusuran, Romaldus mengatakan pihak UIII dengan sengaja memasang sebuah baliho yang berisi pemberitahuan agar warga menyerahkan data terkait proses pembangunan di atas lahannya. Romaldus merasa kesal atas tindakan sewenang-wenang UIII tersebut, lalu ia kembali mendatangi kantor UIII. 

Dalam pertemuan kedua itu, ia meminta UIII untuk mencabut baliho di lahan garapnya. Namun, pihak UIII menolak permintaannya. 

Romaldus merasa jengkel ketika mendengar penolakan dari UIII. Maka dari itu, ia mencabut sendiri plang tersebut menggunakan linggis. Setelahnya, ia dilaporkan oleh salah satu pimpinan UIII, Hidayat ke kepolisian dan mendapatkan surat panggilan dan ditetapkan sebagai tersangka pada 8 Desember 2023. 

Sebelum menerima surat, Romaldus menyatakan, sekitar dua puluh polisi berpakaian seperti preman mendatangi rumahnya dan meminta ia datang ke Kepolisian Resor (Polres). Ia menolak dan meminta mereka menunjukkan surat penugasan. 

Iklan

Tak berselang lama, mereka sepakat untuk pulang karena tidak membawa surat penugasan pada malam itu. Baginya, kejadian malam itu meninggalkan dampak psikologis kepada keluarganya, terutama pada istrinya yang mengidap penyakit jantung. 

Isteri saya kan sakit jantung, udah langsung gemetar masuk ke dalam,” ungkap Romaldus.

Selanjutnya, ketika mendapatkan surat panggilan, ia didampingi pengacara umum LBH Jakarta, Fadhil Alfathan mendatangi Polres untuk melakukan pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan itu, Romaldus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perusakan dan wajib lapor selama dua kali seminggu ke Polres Depok. 

Romaldus menjelaskan, sebelumnya ia bersama Fadhil pernah melakukan upaya mendatangi Komnas HAM. Ia bertemu dengan perwakilan dari bidang mediasi, Prabianto untuk mengadukan persoalan di Kampung Bulak. Pertemuan pada bulan Juni 2023 itu menghasilkan desakan pra mediasi dari Komnas HAM dalam perkara warga Bulak dan UIII. 

Pertemuan secara bergantian dilakukan oleh warga dan pihak UIII. Komnas HAM mengundang pihak UIII, Romaldus, dan pengacara LBH Jakarta, Fadhil Alfathan. Dalam pertemuan tersebut, yang dilaksanakan pada 8 Januari 2024, diperoleh kesepakatan agar UIII dilarang menggusur warga sampai tahapan proses mediasi berakhir.

Di sisi lain, Fadhil menilai Komnas HAM lamban menanggapi permasalahan penggusuran di Kampung Bulak. Fadhil menerangkan upaya Komnas HAM bukan sebatas memanggil satu pihak saja, melainkan juga harus meninjau secara menyeluruh terkait adanya tindakan pelanggaran dalam peristiwa penggusuran warga di Kampung Bulak.

“Pengaduan kepada Komnas HAM menyangkut UIII memakan waktu cukup lama untuk ditanggapi, mestinya pertemuan tidak terpisah-pisah. Kita minta agar Komnas HAM hadir berupa pemeriksaan pelanggaran, lalu menerbitkan saran,” pungkasnya.

Sampai kini, Romlah dan puluhan warga lain yang tergusur pada 2019 lalu belum mendapat kompensasi. Sementara Romaldus masih berstatus wajib lapor ke Polres Depok. Pihak UIII pun sampai sekarang belum pernah mencoba bermediasi dengan warga.

Baca juga: Nihil Pemenuhan Hak Bagi Warga Kampung Bulak

 

Reporter: Jessica Ayu 

Editor: Machika Salsabilla