Warga Kampung Bulak tidak mendapatkan banyak hak sebagaimana warga negara umumnya. Negara tidak mengakui mereka tinggal di sana.
Dengan muka masam, Suhadi menunjukkan pintu warung yang terdapat di bagian depan rumahnya. Dulunya ia pernah memiliki usaha warung sembako. Hanya saja, saat pandemi merebak, warung kecil miliknya harus gulung tikar.
Berbeda dengan warga negara kebanyakan, Suhadi mengaku warga Kampung Bulak lebih merasa sengsara. Pasalnya, kata Suhadi, warga sama sekali tidak mendapat bantuan sosial dari negara.
“ Ya ibaratnya kala itu kalau warga mati, ya mati aja, “ keluh Suhadi.
Senada dengan Suhadi, warga Kampung Bulak lainnya, Anna mengatakan tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah saat pandemi terjadi. Bahkan, kala itu Anna mengaku datang beberapa kali ke Kelurahan Cisalak —kelurahan terdekat di Kampung Bulak—untuk meminta bantuan sosial. Namun, bantuan yang dirinya harapkan tak kunjung datang.
“Sebab utamanya warga Kampung Bulak tidak diakui oleh pemerintah tinggal di sana,” jelas Anna.
Adapun Suhadi, Anna dan banyak warga Kampung Bulak lainnya sudah puluhan tahun menempati tanah di sana. Selama menempati tanah itu, warga berulang kali berupaya agar negara mengakui mereka sebagai penduduk yang tinggal di sana. Akan tetapi, permintaan warga itu belum juga terpenuhi.
Belakangan kesempatan warga Kampung Bulak untuk diakui semakin kecil karena kampung itu hendak digusur. Sebabnya, tanah di sana akan dipakai untuk pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Tanpa diakui tinggal di sana oleh negara, warga Kampung Bulak tak mendapatkan banyak jaminan sosial dan hak-hak warga lainnya.
Anna kembali mencontohkan hal itu, beberapa kali ingatnya penyakit demam berdarah melanda warga Kampung Bulak. Mereka kemudian meminta kepada pemerintah setempat untuk melakukan pengasapan di Kampung Bulak. Namun, karena tak terdaftar sebagai warga yang tinggal di sana, permintaan itu ditolak.
Anna mengatakan penolakan itu membuat warga Kampung Bulak berinisiatif untuk melakukan pengasapan sendiri tanpa bantuan pemerintah. Dengan uang iuran warga, mereka membeli obat dan menyewa orang untuk melakukan pengasapan.
Tidak diakuinya warga Kampung Bulak, juga mempengaruhi hak politik warga. Menjelang Pemilu 2024, Anna menyayangkan tidak ada tempat pemungutan suara (TPS) di Kampung Bulak, sama seperti Pemilu-Pemilu sebelumnya. Dampaknya, ia hanya bisa memilih di alamat yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP)nya, yakni Jakarta Selatan.
“Saya ingin memilih di tempat saya tinggal sebenarnya, yakni di Kampung Bulak,” tutup Anna.
Baca juga: Warga Kampung Bulak Tercengkram Proyek Strategis Nasional
Pelanggaran Hak Warga
Tanpa adanya pengakuan Kampung Bulak oleh negara, struktur terkecil pemerintahan seperti Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW) pun tidak ada di sana. Alhasil warga pun membuat struktur RT/RW sendiri.
Suhadi mengatakan pembentukan RT/RW tersebut sangat diperlukan karena Kampung Bulak memang pantas untuk disebut sebagai kampung. Menurutnya, hal itu terbukti dari banyaknya rumah, pabrik, dan rumah ibadah di Kampung Bulak. Oleh karena itu, Suhadi merasa perlu ada pengelola yang mengurus warga Kampung Bulak.
Sementara itu, pengacara publik dari LBH Jakarta, Fadil menilai negara melakukan pelanggaran terkait penghidupan warga Kampung Bulak. Dapat dilihat dari warga yang tidak mendapatkan banyak instrumen jaminan sosial seperti bantuan sosial.
“Ada pelanggaran hak warga untuk mendapatkan jaminan sosial, “ ujar Fadil.
Lanjutnya, pelanggaran negara juga terjadi terkait hak pilih warga di Kampung Bulak. Karena tidak diakui tinggal di sana, warga Kampung Bulak memilih di daerah lain. Menurutnya, warga harusnya memilih calon legislatif yang dapat membuat kebijakan di tempat tinggal mereka sehari-harinya.
Selain itu, Fadil merasakan kejanggalan di Kampung Bulak. Pasalnya, Kampung Bulak penuh akan aliran listrik. Padahal, menurutnya aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) masuk ke suatu tempat jika terdapat semacam bukti kepemilikan bangunan.
“Kedudukan warga Kampung Bulak di satu sisi tidak diakui, tetapi negara seakan berbisnis dengan mengambil bayaran listrik dari warga.“ pungkas Fadil.
Penulis/reporter: Rahmat
Editor: Andreas