Tidak hanya sekadar tempat membeli buku, Lobuba hadir untuk menciptakan ruang publik yang ideal.

Kian hari, toko buku fisik terancam eksistensinya. Sebutlah Toko Buku Gunung Agung yang pernah berjaya dengan 30 outletnya di berbagai pulau di Indonesia. Kini, mereka hanya memiliki outlet berjumlah 5 di pulau Jawa saja. Kemudian, hal itu juga dialami oleh Aksara Bookstore yang tinggal menyisakan outlet pusatnya di Kemang, Jakarta Selatan. 

Maraknya penutupan diakibatkan oleh pandemi COVID-19 yang membuat pengunjung sepi. Belum lagi, permintaan soal buku cetak hari ini cenderung menurun, tergantikan oleh E-book.

Namun ditengah kondisi seperti ini, Andi menolak untuk ikut-ikutan menutup toko bukunya. Malahan saat pandemi COVID-19 sedang menggempur di tahun 2020 lalu, Andi memberanikan diri untuk membuka toko buku bekas di Pasar Gembrong Baru, Jakarta Timur. 

Tim Didaktika menyambangi Andi pada (8/12/23). Sore itu, ia tengah asyik nongkrong bersama beberapa pedagang lain di lorong pasar yang beraroma buku tua. Bertemankan kopi hitam, Andi melanjutkan dengan kisahnya ketika awal-awal membuka toko buku.

Mula-mula Andi menjelaskan jika dirinyalah yang pertama kali membuka toko buku di sini. Tepatnya di lantai 2. Kala itu, Pasar Gembrong masih menjadi pasar seni yang dibuat oleh M. Anwar, Walikota Jakarta Timur.

Iklan

“Sambil menjajakan buku, saya juga tergabung ke Perupa Jakarta (Peruja). Sayangnya, saya harus ditinggal oleh kawan-kawan Peruja karena manajemen pasar tidak memahami cara bekerja seniman,” kenang Andi.

Sejak perginya para seniman, Andi memutuskan pindah ke lantai 1 pasar di akhir tahun 2020. Sembari memanyunkan bibir dengan maksud menunjukan letak tokonya, ia berujar perpindahannya itu juga diiringi pedagang-pedagang buku lain yang turut berdatangan. Pun sampai hari ini, para pedagang itu menjadi teman Andi berjualan, hingga membangun komunitas  Lorong Buku Batavia (Lobuba).

Lobuba diniatkan mengembalikan hakikat toko buku menjadi ruang publik yang ideal. Andi menilai jika toko buku tidak hanya tempat transaksional, melainkan harus ada interaksi sosial lebih yang berjalan secara cair. Untuk itu, Lobuba sering mengadakan agenda diskusi buku bulanan, hingga pameran yang mereka sebut dengan Lobuba Fair.

“Waktu pertama kali Lobuba Fair diadakan di Perpustakaan Nasional, kita berhasil mengundang Anwar Ibrahim, politisi Malaysia,” ujar Andi dengan wajah semringah.

Sembari menciptakan ruang publik yang ideal, Lobuba juga berusaha menggaet anak-anak muda (Gen-Z) agar lebih mencintai buku. Andi mengilustrasikan mahasiswa Gen-Z hari ini membeli buku hanya karena bentuk formalitas suruhan dosen. Padahal lebih jauh itu menurut Andi, sebuah buku sekurang-kurangnya ketika dibaca dengan tulus dapat membangun konstruk berpikir yang lebih baik.

Maka dari itu, Andi berujar jika upaya yang dilakukan Lobuba adalah dengan mengkurasi buku terbitan lawas yang bergenre sejarah. Sepengalaman Andi langkah itu dijalani karena buku sejarah mudah menarik hati remaja.

Dalam berjualan buku bekas, Andi mewakili teman-teman Lobuba mengaku tantangan utamanya adalah tentang modal. Hal itu dikarenakan beberapa faktor seperti kondisi, tahun terbit, kelangkaan, hingga penulisnya. Selain itu, biaya perawatan buku-buku yang rusak akibat rayap dan patah kerap membuat penjual merugi.

“Toko buku ini didirikan untuk gerakan sosial dan memang hakikatnya harus begitu. Profit itu nomor dua yang pertama adalah bagaimana caranya modal itu impas dengan pemasukan,” pungkas Andi sambil menyeruput kopi.

Baca juga: Kotak Kosong juga Bagian dari Demokrasi

 

Iklan

Penulis: Fadil

Editor: Arrneto