Rintik hujan yang turun diiringi sapuan angin, tak menyurutkan massa aksi untuk menggelar Aksi Kamisan (18/01) yang bertajuk “Orang Silih Berganti, Aksi Kamisan Tetap Berdiri”. Kini Aksi Kamisan genap dilaksanakan selama 17 tahun.
Aksi yang sudah berlangsung sejak 18 Januari 2007 ini tetap istikamah memperjuangkan keadilan, dan menuntut negara untuk mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Selain itu, Aksi Kamisan ini menjadi pengingat bagi generasi muda agar tidak lupa akan sejarah bangsanya.
Satu dari tiga perintis Aksi Kamisan, Maria Katarina Sumarsih mengatakan, aksi ini akan terus digelar selama belum ada keadilan bagi korban dan keluarga pelanggaran HAM. Bagi Sumarsih, nyawa manusia adalah segalanya, tidak bisa digantikan oleh materi.
Sumarsih merupakan ibunda dari Bernardus Realino Norma Irmawan atau biasa dipanggil Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya yang tewas akibat peluru militer saat demonstrasi menolak Sidang Istimewa MPR pada 11-13 November 1998.
“Ada tentara yang masuk ke dalam kampus Atma Jaya. Terdapat korban jatuh, Wawan, anak saya mencoba menolongnya. Ketika Wawan menghampiri dan hendak mengangkat korban ia ditembak,” ungkap Sumarsih dengan wajah terenyuh.
Sumarsih mengemukakan harapannya di penghujung pemerintahan presiden Jokowi, agar menepati janjinya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Seperti penembakan mahasiswa pada peristiwa Semanggi 1 dan 2, Trisakti, dan sejumlah pelanggaran HAM berat lainnya.
Lebih lanjut, Sumarsih berpesan kepada anak muda, sebagai generasi penerus bangsa agar mengenal lebih jauh sejarah bangsanya. Dengan lebih banyak membaca buku, yakni buku-buku yang bukan diterbitkan oleh penguasa.
“Generasi muda harus lebih banyak membaca untuk membekali diri, dan tidak melupakan sejarah ” ujar perempuan paruh baya itu.
Dosen sekaligus pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti turut hadir pada 17 tahun Aksi Kamisan. Baginya, Aksi Kamisan ke-802 ini pertanda bahwa memperjuangkan keadilan untuk korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM berat masa lampau dapat dibicarakan kapan saja.
“Memang aksi seperti ini menandakan bahwa membicarakan ketidakadilan tidak tergantung dengan dinamika politik. Maksud saya, harus dibicarakan kapan saja, bukan hanya 5 tahun sekali,” pungkas Bivitri.
Syahdan, Bivitri mengatakan sudah tidak percaya terhadap pemerintah dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Upaya penyelesaian yang dilakukan pemerintah hanya dalam ranah non yudisial sehingga pengungkapan kebenaran menjadi bias. Seharusnya, menurut Bivitri, pemerintah melakukan upaya lewat ranah yudisial agar keadilan dapat ditegakan dan kebenaran menjadi terang.
Lebih lanjut, Bivitri menjelaskan fenomena impunitas akan terus berlanjut selama dalang pelanggaran HAM berat masih duduk di pemerintahan. Maka dari itu, selama 17 tahun Aksi Kamisan berlangsung tetap tidak menemukan keadilan. Bahkan baginya akan terus timbul kasus-kasus pelanggaran HAM selanjutnya. Seperti yang terjadi di Kanjuruhan, Rempang, Wadas, dan kasus pelanggaran HAM lainnya.
“Selama aktor-aktor pelanggaran HAM berat masih sama, keadilan akan sulit kita dapat. Malahan akan menjadi kultur. Yang ditampilkan hanya gimik-gimik, seperti gemoy,” ucapnya.
Lembayung senja mulai tenggelam dan malam hampir tiba, Bivitri melanjutkan, ia merasa kagum dengan Aksi Kamisan ini karena generasi terus silih berganti, dari tua ke yang lebih muda. Ia berharap terhadap kawula muda agar tidak berhenti menggelar aksi-aksi perihal penegakan HAM dan akhirnya menjadi semakin relevan dibicarakan.
“Semua orang, khususnya anak muda harus paham konteks dan sejarah bangsanya. Agar tidak mudah untuk dimanipulasi sama orang-orang seperti sekarang. Kita pelan-pelan belajar bareng agar pemahaman sejarah yang sebenarnya tidak terputus.” tutup Bivitri sembari tersenyum.
Penulis/reporter: Lalu Adam
Editor: Zahra