Judul Buku: 1970
Penulis: Henrique Schneider
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: 2023
Hal: 134 hlm
ISBN: 978-602-0788-44-9
Medio tahun 60-an memang boleh disebut sebagai salah satu era kegelapan dalam koridor demokrasi Indonesia, terutama dalam pelanggaran HAM berat. Nyawa manusia yang berlabel PKI dengan mudah terancam, bahkan merenggang.
Dalam buku John Roosa yang bertajuk Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, diterangkan jika data korban akibat peristiwa ini masih abu-abu. Sukarno pada Januari 1966 mengatakan terdapat 87.000 korban. Sedangkan pihak luar yaitu Seymour Topping dari New York Times, pada tahun 1966 menyimpulkan jumlah korban mati seluruhnya bahkan dapat lebih dari setengah juta orang.
Selama 32 tahun, kasus itu amat ditutupi pemerintah. Barulah ketika Reformasi, pelanggaran HAM tersebut naik ke permukaan. Pada tahun 2003 dan 2008, Komnas HAM membentuk tim penyelidik. Dengan fungsi, mengerjakan pengumpulan informasi secara mendalam terkait peristiwa pembantaian ini.
Namun sampai 2012, kemandekan dalam pengadvokasian ini terjadi karena Jaksa Agung menolak melakukan tindak lanjut penyelidikan Komnas HAM. Hal itu disebabkan Jaksa Agung menuntut Komnas HAM dengan alasan belum adanya kejelasan rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Keputusan Presiden dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Selayaknya pepatah yang mengatakan jalan buntu bukan berarti sebuah akhir perjalanan, pengadvokasian di ranah transnasional pun dilakukan. Melalui organisasi International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) yang terdiri dari 13 negara, isu pembantaian massal ini menjalani sidang peradilan masyarakat sipil internasional di Den Haag, Belanda, pada tahun 2015. Hasilnya terdapat 10 temuan–pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan, perbudakan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain, dan genosida–yang mendesak Indonesia bertanggung jawab menyelesaikan persoalan HAM berat ini.
Sayangnya, entah mengapa juga, hingga hari ini upaya pemerintah masih belum menemukan titik terang. Pasca Jokowi meminta maaf dan mengakui bahwa itu adalah pelanggaran HAM berat di Januari 2023, ia mengusulkan rekonsiliasi, utamanya adalah pengembalian aset tanah dan bangunan eks-tapol lewat Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023.
Namun yang menjadi kendala adalah dosa masa lalu itu terlalu hitam, dalam artian “bagaimana mengembalikan tanah dan properti korban kala itu di tengah kondisi inflasi ekonomi negara?” Belum lagi tuntutan semacam penyelidikan dan penegakan hukum kepada pelanggar HAM berat 1965-1966, penghapusan tanda eks-tapol di KTP, dan lain-lainnya masih melayang, menghantui pemerintahan hingga hari ini.
Baca Juga: Momok itu Bernama Media Berkelanjutan
Indonesia Tidak Sendiri, Brazil juga Serupa!
Kiranya bicara pembantaian sebuah kelompok oposisi politik komunis, di negeri samba juga terjadi hal yang agaknya begitu juga. Adalah Henrique Schneider, penulis asal Brazil yang memotret secercah peristiwa tersebut ke dalam novel berjudul 1970.
Diterjemahkan dari bahasa Portugis oleh Gladhys Elliona, novel ini bercerita tentang Raul Dos Santos Figueira, seorang pegawai bank yang menjadi korban salah tangkap polisi karena dikira komunis. Kemudian, dirinya menjalani penyiksaan di dalam sel.
Berlatar di waktu yang sama ketika Pele, Jairzinho, Gerson, dan kawan kesebelasan tim Brazil lainnya mengalahkan Italia dan memenangkan Piala Dunia 1970. Raul, pemuda yang baru putus cinta, tanpa menahu diculik oleh polisi saat berjalan kaki sehabis pulang kerja di kota Porto Alegre. Sesampai di sel, dirinya terus ditanya terkait informasi gerakan Partai Komunis Brazil (PCB) yang Raul sendiri tidak tahu itu apa.
Sipir: “Tidak usah bertele-tele, Bung! Bicaralah, kujamin kau diperlakukan dengan baik di penjara ini. Beri aku nama asli mereka dan katakan di mana mereka berada. Ayo, ulang lagi. Siapa di sini yang menjalankan VPR?”
Raul: “Apa?” tanya Raul.
Sipir: “Jangan pura-pura bodoh. Kau tahu jauh lebih banyak dariku. VPR, Vanguarda Popular Revolucionária. Garda Depan Revolusi Rakyat. Beri aku nama-nama VPR di negara bagian ini dan katakan apa peranmu. Di mana kalian semua bertemu, di mana senjatanya?”
Raul: “Tapi saya tidak tahu apa-apa, sumpah! Saya tidak ada hubungannya dengan itu!”
(Hlm.49)
Keluguan Raul itu membawanya ke berbagai malapetaka penyiksaan. Sepanjang tanggal 12-21 Juni 1970, hidup Raul seperti berada di dalam neraka. Sampai-sampai, ia sempat ingin mati karena tidak kuat menjalani penyiksaan, namun harapannya kepada sang Ibu dan Bunda Suci Maria mengalahkan pikirannya itu.
Di akhir cerita pada 21 Juni 1970, pukul setengah sepuluh pagi, Raul dibebaskan dengan syarat kalau kejadian penyiksaan terhadap dirinya seolah-olah hanya angin lalu. Raul pun pada akhirnya hanya bisa menurut dan diturunkan di semak-semak.
Bak menjadi alien, Raul pun merasa asing di tengah masyarakat. Disaat masyarakat Brazil menonton dan merayakan kemenangan Piala Dunia, Raul masih kebingungan tentang makna politik negaranya dan arti sebuah kebebasan.
Dalam konteks Novel 1970, Brasil kala itu sedang berada di dalam rezim kediktatoran Presiden Emílio Garrastazú Médici. Mulanya, menurut Nacla, ketegangan politik bermuara pada kudeta militer penggulingan presiden João Goulart pada tanggal 1 April 1964.
Saat itu Brazil sedang mengalami fase ketegangan politik yang disebabkan konflik perang dingin antara Amerika Serikat-Uni Soviet. Menurut Nacla, hal tersebut mengakibatkan perpecahan ideologis antar Partai sayap kanan dan kiri. Hingga akhirnya Partai sayap kanan menang dengan melakukan kudeta militer penggulingan presiden berhaluan kiri João Goulart pada tanggal 1 April 1964.
Rezim kediktatoran pun dimulai, ditandai oleh presiden Ranieri Mazzilli, hingga yang diceritakan di novel, yaitu Emílio Garrastazú Médici, Ernesto Geisel, dan João Figueiredo. Menurut Nacla, terhitung sekitar 475 anggota anggota kelompok sayap kiri dihilangkan selama dua puluh tahun kediktatoran militer. Ribuan orang dipenjarakan dan sekitar 30.000 orang disiksa. Lebih dari 280 jenis penyiksaan dilakukan di 242 pusat penyiksaan rahasia.
Walaupun kini VPR telah punah, nyatanya oposisi politik dalam rupa Partai Komunis Brazil masih tetap eksis, sedikitnya memegang kursi pemerintahan Brazil. Dari pemaparan tadi, dapat disimpulkan bahwa sepanjang lintasan koridor sejarah, kelompok sayap kanan baik di Indonesia atau Brazil selalu menggunakan cara-cara represif dalam mengunci jabatan di kursi pemerintahan.
Padahal, etika demokrasi ataupun hak asasi manusia patut dijunjung tinggi pemimpin dalam sistem demokrasi. Sebab tindakan yang dilakukan oleh pemimpin tentunya sangat berpengaruh pada realitas masyarakat.
Bahkan, filsuf amoral Jerman Friedrich Nietzche sekalipun masih mempertimbangkan perlunya pemimpin yang beretika. Mengambil tafsiran Maudemaire Clark atas pandangan filsuf tersebut terkait moral seorang pemimpin–bahasa Nietzche adalah manusia super (Ubermensch)- dapat dilihat dari seberapa jauh kualitas pengetahuan yang dimilikinya, terkhusus di bidang penguasaan etika dalam konteks berdemokrasi.
Ketika seorang Ubermensch memimpin suatu negara, dirinya mampu menggiring pengurangan potensi konflik seperti represifitas terhadap lawan politik, hingga menjunjung tinggi HAM. Sehingga, tatanan masyarakat yang harmonis dapat terjadi.
Kalau saja pemimpin itu malah melegitimasi kekuasaannya dengan mengatasnamakan kekerasan di panggung demokrasi dan tidak sesuai dengan moral masyarakat. Sederhananya, apakah itu buruk dan harus diberontak dan digulingkan?
Novel ini menawarkan suatu pengalaman membaca yang unik karena menyingkap sisi kediktatoran di Brazil dalam kemeriahan Piala Dunia 1970. Namun, sayangnya terdapat kelemahan di mana sedikitnya informasi umum terkait peristiwa asli di Brasil kala itu. Mungkin saja jika lebih ditambahkan, novel ini akan semakin menegangkan dan memberi khazanah baru dalam kesusastraan.
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Andreas Handy