Begitu kabar bahwa rumahnya didatangi sekelompok aparat kepolisian bersenjata laras panjang, Teuku Yazid, seorang mahasiswa teknik bangunan UNJ, terkejut serta bingung. ‘’Tetangga takut lihat mereka bawa senjata laras panjang, lengkap.’’ Ucapnya saat dia ceritakan kasusnya, sekitar pukul 2 siang, rumahnya di datangi dan digeledah.

Yazid menganggap dirinya apes lantaran wajahnya mirip dengan pria bersorban dalam video menghina presiden.

Sejak hari Rabu, 22 Mei 2019, Yazid mulai merasa was-was. Saat rumahnya didatangi polisi, Yazid sedang berada di kampus, ia jelaskan tantenya jadi jaminan polisi. ‘’Kalo gue ga ke Polsek Tebet, tante gue jadi jaminan,’’ ucapnya. Selain itu, Yazid menceritakan polisi langsung masuk, mematikan listrik, dan menggeledah.

Keesokan harinya, Kamis, 23 Mei 2019, ia berangkat menuju Polsek Tebet. Sesampainya disana, ia mengaku dipisahkan dengan keluarga. Ia dibawa dengan mobil polisi menuju Polda Senayan. Saat di mobil ini, Yazid baru mengetahui video penghinaan setelah ditunjukan.

Selanjutnya Yazid mengikuti proses pemeriksaan dan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sesampainya di Polda Senayan ia diperiksa sejak pukul 1 siang sampai 10 malam. Dalam ruangan pemeriksaan ia dibuat untuk melakukan reka adegan video penghinaan presiden. ‘’Gue disuruh meniru ucapan di video, didandani sorban, peragain jalan’’ ucapnya.  Yazid mengaku telah melalui tiga kali tes forensik, ia sebutkan semua hasilnya negatif. Ia baru pulang ke rumah dari polda pukul 10 pagi keesokan harinya.

Yazid menjelaskan kasusnya telah tersebar di berbagai media. Ia mengeluhkan media sosialnya diramaikan oleh berbagai cercaan. ‘’Coba aja ketik nama gue di youtube,’’ ucapnya saat ditanyai dampak yang ia rasakan. Menurutnya, bahkan beberapa akun di media sosial belum menurunkan postingan tentangnya. Selain itu, ia menjelaskan kurangnya porsi portal media jurnalistik menjelaskan dirinya sebagai korban dari proses hukum kepolisian.

Iklan

Menghadap proses  pemeriksaan yang berlarut-larut, Ia berharap polisi lebih teliti dan beretika. Ketika salah tangkap harus ada konfirmasi lebih jelas, ucapnya. Ia turut menyinggung beberapa kali menerima tindak intimidasi sebelum pemeriksaan dan setelah keluar dari ruangan pembuatan BAP pukul 10 malam. 

Harris Sofyan Hardwin, Kuasa hukum Yazid saat ditanyai mengenai proses hukum, mengucapkan telah selesai karena pelaku asli telah ditangkap. Sedangkan akun-akun dan portal berita belum melakukan permintaan maaf secara tertulis, tukasnya.

Tindakan cacat hukum kepolisian pasca aksi 21-22 Mei

Melalui berbagai konfrensi pers dan terbitan media, polisi kerap sampaikan bahwa proses penegakan hukum menyoal aksi 21-22 Mei 2019 sesuai dengan standar operasi prosedur standar (SOP). Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Dedi Prasetyo, dikutip oleh akurat.co, menyatakan bahwa tindakan aparat sesuai dengan Peraturan Kapolri (https://akurat.co/news/id-633629-read-polri-pengamanan-aksi-22-mei-sudah-sesuai-sop). Sejalan dengan itu, Gatra.com mewartakan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Argo Yuwono yang mengatakan bahwa orang yang ditangkap sudah sesuai dengan prosedur. (https://www.gatra.com/detail/news/422025/politic/polisi-sebut-penangguhan-100-pelaku-kerusuhan-22-mei-sudah-sesuai-prosedur).

Namun berlawanan dengan ucapan humas kepolisian, terjadi penyiksaan, penghalangan bantuan hukum, pelarangan bertemu keluarga, dan pelanggaran hak anak-anak oleh kepolisian. Dikutip dari laporan pos pengaduan bentukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan LBH Pers, terdapat dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sampai saat ini pos pengaduan telah merilis 7 kasus pelanggaran oleh kepolisian.

Laporan tersebut menjelaskan tersangka tidak diperbolehkan menemui keluarga, mengindikasikan adanya yang ditutupi dalam proses hukum. Beberapa diantaranya mengakui menerima tindak penyiksaan. Salah satu diantaranya adalah RM, yang ditangkap pada tanggal 22 Mei 2019. Saat ditemui, RM mengalami bocor atas kepala, pelipis bengkak, mata kanan lebam, dan luka lainnya.

Nelson Nikodemus Simamora, Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, menjelaskan bahwa kekerasan aparat kepolisian menyasar warga sipil sering terjadi bahkan melembaga. ‘’Seharusnya orang yang sudah tidak dalam keadaan membahayakan tidak dipukuli. Kalau terjadi maka itu penyiksaan,’’ ucapnya saat ditemui oleh Didaktika pada 26 Juni 2019.

Ia sebutkan tindak aparat kepolisian sebagai penyimpangan terhadap konvensi anti penyiksaan tahun 1984 yang telah diratifikasi pada undang-undang No. 5 tahun 1998 dan Peraturan Kapolri no 8 tahun 2009. Dampaknya, bila penyimpangan tetap dibiarkan, berpotensi menyasar siapapun. ‘’Polisi harus baca standarnya, karena sudah ada, jadi harus ditaati. Biar gak asal,’’ tambahnya.

Faisal Bahri

Editor : M. Muhtar

Iklan