Study and Peace Universitas Negeri Jakarta (SPACE UNJ) bersama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Program Studi (BEM Prodi) Pendidikan Sejarah mengadakan seminar dengan tema “Penindasan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan Di Indonesia” di Ruang Serbaguna Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Rabu (20/3/2019). Seminar tersebut merupakan lanjutan dari kegiatan peringatan anti kekerasan dan diskriminasi terhadap gender. Satu hari sebelumnya pun, diselenggarakan pameran dengan tema yang sama.
Pameran tersebut, menampilkan pakaian-pakaian para “korban” yang mengalami tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Dalam pameran ini para penyelenggara mendapatkan pakaian-pakaian tersebut dengan mencari pakaian yang persis dipakai para korban berdasarkan laporan-laporan langsung dari para korban.
Lanjut pada seminar, beberapa tokoh pemerhati gender dan kekerasan perempuan dihadirkan. Diantaranya, Nina Nurmila dari Komisioner Komnas Perempuan, Nadya Karima Melati dari Support Group & Resource Center on Sexuality Studies (SGRC Indonesia), dan Syaldi Sahude pendiri organisasi Laki-Laki Baru dan dimoderatori oleh Annisa Nurul, Mahasisiwi Prodi Pendidikan Sejarah.
Ketiga pembicara ini menjelaskan kondisi mengenai maraknya praktik kekerasan, pelecehan, dan ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia. Nadya Karima memaparkan isu-isu sosial yang dialami oleh perempuan.
Menurutnya, diskriminasi gender dan penindasan terhadap perempuan masih terjadi di Indonesia. Contohnya dalam kompetensitas penerimaan kerja masih melihat gender. Dimana pria dianggap lebih baik untuk diterima bekerja dibanding wanita.
Isu-isu gender adalah isu yang diperjuangkan oleh gerakan feminis. Dalam materinya, Nadya menjelaskan feminisme secara epistimologis. Bahwa, feminisme menyatakan perempuan memiliki peranan penting dalam berkembangnya suatu kehidupan masyarakat.
Feminisme tidak hanya berkutat pada kekerasan atau penindasan terhadap perempuan. Tapi juga memperjuangkan perempuan dalam hal kesetaraan berpolitik. Hal itu yang sudah dilakukan oleh R.A Kartini dan tokoh lainnya yang memperjuangkan kesetaraan tersebut pada masa lalu.
Dalam dinamikanya di Indonesia, feminisme kerap dianggap sebagai paham liberal barat. Itu terjadi lantaran kurangnya tokoh feminis Indonesia, yang menyebabkan kajian feminis selalu mengutip tokoh dari luar negeri.
Sementara, Nina Nurmila menjelaskan praktik kekerasan seksual yang kerap terjadi perlu mendapat payung hukum yang kuat. Berdasarkan pada laporan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan paling besar adalah kekerasan seksual.
Sebenarnya, lanjut Nina, kekerasan seksual sudah diatur dalam kitab-kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun terbatas pada kasus pencabulan saja. Maka, semakin maraknya ragam pelecehan seksual menjadikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) sebagai jalan keluar korban untuk mendapatkan keadilan. “Namun, upaya terlaksananya RUU-PKS mendapat hambatan juga penggiringan opini oleh oknum tidak bertanggung jawab,” ucapnya.
Syaldi Sahude, menjelaskan, isu gender tidak hanya terjadi terhadap perempuan, isu gender pun terjadi kepada laki-laki, walaupun mayoritas yang mengalami adalah perempuan. Untuk itu, katanya, permasalahan ini seharusnya tidak hanya menjadi permasalahan perempuan. Peran laki-laki pun penting untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual.
Dalam hal ini, laki-laki harus mengingatkan laki-laki lain untuk tidak melakukan kekerasan. Ia bercerita, pernah melabrak kawannya yang melakukan catcalling terhadap perempuan yang lewat. itu merupakan bentuk pelecehan.
“Yang melakukan kekerasan memang minoritas. Tapi mayoritas, yang tidak melakukan cenderung diam, padahal diam sama saja dengan membiarkan,” pungkasnya.
Syaldi menuturkan, menurutnya budaya pelecehan seksual dapat dihilangkan dengan diadakannya edukasi juga aksi nyata. Juga harus ada dukungan penuh terhadap RUU-PKS karena RUU ini melindungi semua orang yang menginginkan keadilan sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Penulis: Fahmi R.
Editor: M. Rizky Suryana