Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan suatu sistem pembayaran uang kuliah per semester yang berlaku di seluruh perguruan tinggi negeri (PTN). Sistem pembayaran UKT mulai diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2012. Pemberlakuan sistem tersebut bertujuan untuk meringankan beban mahasiswa yang berkuliah. Maka dari itu, pungutan biaya UKT dilakukan setiap semester dengan jumlah uang yang tetap. Namun, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) masih ada yang kesulitan membayar, meski adanya sistem tersebut.
Muhammad Natsir selaku Mentri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), mengatakan mahasiswa bisa melakukan pengajuan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) apabila ada perubahan data yang terjadi pada kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa, dan pihak lain yang membiayainya. Misal, orang tua yang membiayai kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), jadi tiba-tiba dia tidak bisa membiayai kuliah.
Hal tersebut juga termaktub dalam Permenristekdikti (Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) Nomor 22 Tahun 2015 mulai berlaku sejak 13 Agustus 2015. Dalam pasal tersebut mengatur mengenai biaya yang ditanggung oleh mahasiswa harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Mahasiswa yang diperkenankan menurunkan UKT yakni mahasiswa yang mengalami perubahan kondisi ekonomi secara signifikan.
Untuk menurunkan UKT di UNJ, mahasiswa harus membuat surat permohonan penurunan UKT kepada Koordinator Program Studi (Kaprodi). Setelah disetujui, mahasiswa mengurusi berkas di fakultasnya. Berkas yang harus dibawa ke fakutlas antara lain :
- Fotocopy Kartu Tanda Mahasiswa (KTM)
- Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP)
- Fotocopy Kartu Keluarga (KK)
- Fotocopy Ijazah terakhir
- Fotocopy Surat Pajak Bumi dan Bangunan
- Fotocopy Slip Gaji Orang Tua (Bapak)
- Fotocopy Surat Tagihan Listrik
- Fotocopy Surat Pemutusan Hubungan Kerja, jika orang tua meninggal diganti dengan Surat Kematian
- Foto 3×4 empat lembar
- Foto Keadaan Rumah
Setelah fakultas merekap data tersebut, data tersebut akan diajukan ke pihak rektorat. Selanjutnya, rektor melalui rapat pimpinan akan menyatakan mahasiswa mana yang berhasil menurunkan UKT lewat Surat Keputusan (SK).
Petrolis selaku Staf Wakil Rektor 2 mengatakan, sesuai dengan peraturan Permenristekdikti no. 22 tahun 2015, UKT merupakan biaya tetap yang dibayarkan sampai selesai masa studi. Namun, jika ada perubahan kondisi ekonomi yang luar biasa yang ada penyesuaian ulang. “Nah, disesuaikan ketika ada perubahan ekonomi. Jadi, bisa naik bisa turun UKT-nya,” tuturnya.
Selain itu, Petrolis mengatakan, proses administrasinya pun tidak sebentar. Karena pihak rektorat harus melakulan pengkajian ulang terhadap dafar nama-mama mahasiswa yang mengajukan UKT. Lalu ia menambahkan, syarat utama jika mau melakukan penyesuaian UKT agar UKT-nya turun ialah merasa miskin. Selain itu syarat lainnya adalah, adanya PHK, atau kematian orang tua. “Ya, penurunan jangka terakhir lah. Kan masih ada beasiswa dan lainnya,” katanya.
Akan tetapi, pada kenyataannya di UNJ masih sulit sekali melakukan penurunan UKT. Salsabila Winanda, salah satu mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia mengatakan UKT yang ia terima sejak awal sesungguhnya tidak sesuai dengan kondisi ekonominya. Salsa mendapat UKT golongan 4 yaitu Rp4.600.000. Ia mengaku UKT tersebut tidak sesuai dengan kondisi ekoniminya, karena ibunya sudah meninggal, dan keluarganya masih memiliki satu beban tanggungan lagi, yaitu adiknya.
Pada semester ini Salsabila mengajukan penurunan UKT, karena ayahnya meninggal sekitar satu bulan yang lalu. Ia pun mengurusi semua pemberkasan yang dibutuhkan. Namun, UKT-nya belum juga bisa diturunkan semester ini, dengan alasan Surat Keputusan (SK) dari Wakil Rektor II belum terbit. “Semester ini saya masih membayar UKT sejumlah Rp4.600.000, padahal saya sudah bolak-balik ke kampus hampir satu bulan untuk mengurusi penurunan UKT,” ujarnya.
Lalu ia menambahkan ketidakpuasannya terhadap alasan birokrat UNJ yang belum bisa memproses penurunan UKT-nya pada semester ini. “Harusnya administrasi memudahkan mahasiswa, bukan malah menyulitkan seperti ini,” tambah mahasiswi angkatan 2016 itu.
Sama tapi tak serupa, Leila Khaerunisa, mahasiswi Pendidikan Sejarah 2019 pernah mengajukan penyanggahan UKT. Namun, bukannya turun UKT-nya malah naik dua golongan. Ia mengaku pertama kali mendapat UKT golongan tiga. Tapi, ia merasa keberatan dengan UKT tersebut, karena ayahnya baru saja meninggal pada bulan Februari dan ibunya hanya seorang guru ngaji. Akhirnya, ia mengajukan sanggah UKT, kenyataan pahit harus diterimanya, pihak verifikator malah menaikkan UKT-nya menjadi Rp.4.100.000. Dengan alasan Leila mendapatkan beasiswa Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Leila mempertanyakan kebijakan birokrat UNJ. Ia berpendapat, mahasiswa yang mendapat biaya bantuan pendidikan KJMU itu diperuntukan bagi mahasiswa tidak mampu. Namun, ia menyangsikan mengapa ia malah diberikan UKT kelas atas.
Leila mengaku telah menanyakan perihal UKT KJMU kepada kelurahan, selaku pihak yang menangani beasiswa tersebut. Namun, menurutnya pihak kelurahan mengatakan tidak ada ketentuan kalau penerima KJMU harus mendapat UKT golongan atas. “Akhirnya, saya terima kenaikan UKT itu, karena pihak UNJ mengancam mencabut beasiswa kalau aku tidak mengikuti kebijakan itu,” pungkasnya.
Penulis/Reporter: Uly Mega S.
Editor: M. Rizky S.