Setelah Rapat Tertutup Senat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 22 Agustus 2019 lalu menghasilkan tiga calon Rektor yaitu Dr. Komarudin, M.Si., Prof. Dr. Paulina Pannen, dan Dr. Sofia Hartati, M.Si., maka tanggal 19 September mendatang adalah hari yang sangat menentukan bagi masa depan UNJ yaitu ada Pemilihan Calon Rektor UNJ bersama Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti). Hari itu adalah hari yang menentukan karena Menristekdikti memiliki hak 35% untuk memberikan suara kepada siapa yang dia kehendaki. Ini semacam berkah sekaligus bisa menjadi musibah untuk calon Rektor. Artinya suara Menristekdikti 35% betapa sangat menentukan siapa yang akan menjadi Rektor UNJ. Ketiga calon Rektor seperti berharap pada ketidakpastian. Kira-kira secara psikologis sedang harap-harap cemas.
Pemilihan Rektor : Antara Election dan Selection, Musibah atau Berkah.
Jika demokrasi langsung dijadikan rujukan dengan model pemilihan one man one vote maka pemilihan Rektor Universitas sangatlah tidak demokratis, sebab otoritas kekuasaan Menristekdikti diberi hak istimewa 35 %, sementara suara dosen dianggap diwakili senat perwakilan Fakultas, dan mahasiswa tidak punya hak suara hanya hak bicara. Bagi para pendamba demokrasi langsung ini menyedihkan memang. Tetapi itulah kompromi regulasi soal pemilihan Rektor kampus negeri di Indonesia. Model pemilihan Rektor ini secara substansial bisa dikategorikan menggunakan perspektif demokrasi perwakilan atau representative democratie. International commission of jurist dalam konferensinya di Bangkok (1965) merumuskan demokrasi tidak langsung sebagai ..power and authority from the people wich power and authority are exercised through representative freely choosen and responsible to them..(1965). Pemilihan Rektor selain menggunakan perspektif demokrasi tidak langsung (melalui pemilih perwakilan) juga menggunakan otoritas yang dimaknai kekuasaan sebagai proses seleksi. Jadi Pemilihan Rektor Universitas Negeri sesungguhnya memadukan antara election (representative democratie) disatu sisi dan selection (35 % suara Menristekdikti). Tentu ini pil pahit yang mesti ditelan bagi civitas akademika yang menginginkan demokrasi langsung.
Terlepas dari perkara sistem pemilihan Rektor yang memadukan dua sistem tersebut, menjelang hari penentuan untuk masa depan UNJ itu, sejumlah pertanyaan dari kolega beberapa kali diajukan. Misalnya bagaimana cara pemilihan dan menghitungnya? Dan kira-kira siapa yang akan Menjadi Rektor UNJ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya tidak penting untuk dijawab tetapi cukup menggelitik untuk memberikan semacam perspektif jawaban yang tidak tunggal dan memerlukan analisis tertentu. Sebetulnya dua artikel saya sebelumnya telah menjadi catatan penting untuk semua stake holders UNJ terutama para anggota Senat UNJ. Catatan penting tersebut telah saya tulis dengan judul Pemilihan Rektor : Antara Marwah Kampus dan Politik Pragmatis (m.republika.co.id, 13 Juli 2019), dan Tiga Kriteria Rektor Yang Dibutuhkan UNJ (didaktikaunj.com, 21 Agustus 2019). Bahwa problem marwah UNJ, politik pragmatis yang seringkali menyelimuti proses pemilihan Rektor dan kriteria Rektor yang dibutuhkan UNJ adalah catatan penting yang mesti direspon serius oleh seluruh civitas akademika UNJ, apalagi oleh para senator UNJ. Sebab ini menyangkut masa depan UNJ.
Track Record Tiga Calon Rektor UNJ
Sebelum mengurai siapa yang akan menjadi Rektor UNJ, sebaikanya kita semua membuka mata, pikiran dan hati untuk secara sadar dan obyektif melakukan semacam mengupas track record masing-masing calon Rektor UNJ. Mungkin alangkah lebih baik sebetulnya jika dilakukan semacam fit and proper test terhadap ketiga calon orang nomor satu di UNJ tersebut. Namun sayangnya itu hal yang tidak mungkin dilakukan karena terbentur aturan yang belum mengakomodir terkait hal tersebut. Oleh karenanya hal yang paling mungkin adalah membedah track record masing masing calon Rektor. Ini penting khususnya untuk para anggota Senat UNJ agar melepaskan diri dari kepentingan kelompok, janji-janji kekuasaan dan kepentingan pragmatis lainya dalam pemilihan Rektor UNJ ini. Berorientasi dan mengutamakan kemajuan UNJ adalah kunci penting bagi para anggota Senat UNJ saat ini. Siapa sesungguhnya ketiga calon Rektor UNJ tersebut jika dilihat dari indikator-indikator utama kriteria Rektor yang dibutuhkan UNJ yang memiliki indikator kemampuan memimpin UNJ mencapai Visinya bereputasi di kawasan Asia ?
Dr. Komarudin, M.Si
Dr. Komarudin, M.Si lahir di Indramayu pada 1 Maret 1964. Latar belakang pendidikanya S1 (PMK-KN, IKIP Jakarta), S2 (Sosiologi-UI), dan S3 (Penelitian dan Evaluasi Pendidikan,UNJ). Pengalaman puncak kepemimpinanya ketika mahasiswa pernah menjadi Ketua Dewan Racana Pramuka IKIP Jakarta, ketika sudah menjadi dosen menjabat sebagai Ketua Jurusan ISP-FIS UNJ, selanjutnya berturut-turut menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial-UNJ dua periode dan Wakil Rektor II Universitas Negeri Jakarta (UNJ) saat kepemimpinan Rektor dijabat Prof.Dr.Djaali hingga saat dipimpin Plt Rektor UNJ Prof.Intan Ahmad,Ph.D. Dengan kepakaranya Dr.Komarudin,M.Si menjadi pembicara diberbagai forum seminar Nasional dan berbagai forum pelatihan tingkat nasional. Selain menjabat sebagai Wakil Rektor II, ia juga menjadi anggota Dewan pakar Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Wakil Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pendidik PPKN Indonesia (AP3KnI) Jabodetabek dan Wakil Ketua Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI) Jabodetabek. Karya akademik internasionalnya tercatat ada 3 dalam biodatanya.
Prof, Dr. Paulina Pannen
Prof. Dr. Paulina Pannen lahir di Bogor pada 21 Januari 1961. Latar belakang pendidikanya S1 (B.Inggris, FBS,IKIP Jakarta), S2 (Library Science, Syracuse University, USA), S3 (Doctor of Education,Syracuse University, USA). Selain itu Prof.Dr.Paulina Pannen juga mengikut memiliki pengalaman mengikuti APEC E-Learning training di Buzan South Korea, dan Publising Course – Syracuse University di USA. Saat mahasiswa Paulina Pannen adalah aktivis Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) IKIP Jakarta, ketika menjadi dosen puncak pengalaman kepemimpinannya adalah menjadi Dekan FKIP Universitas Terbuka, kemudian menjadi Direktur SEAMEO Regional Open and Distance Learning Center, menjadi Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Siswa Bangsa Internasional, dan menjadi Staf Ahli Kemenristekdikti Republik Indonesia bidang akademik hingga saat ini. Saat ini juga masih menjadi anggota Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia. Karya akademik internasionalnya tercatat ada 11 dalam bio datanya.
Dr. Sofia Hartati, M.Si
Dr. Sofia Hartati, M.Si lahir di Serang pada 22 April 1962. Latar belakang pendidikanya S1 (Pend.Geografi, IKIP Bandung), S2 (Ilmu Sosial, UNPAD), dan S3 (Teknologi Pendidikan, UNJ). Selain itu ia pernah mengikuti International Workshop Developing future leaders in Early Childhood Education di Monash University Australia dan mengikuti Teaching Academic Profesional Practice di School of Education, Royal Melbourne Institute Technology, Australia. Pengalaman kepemimpinanya pernah menjadi Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini -FIP-UNJ, menjadi Wakil Dekan FIP dan menjadi Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain itu Dr.Sofia Hartati,M.Si juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Dosen PGPAUD Indonesia dan Ketua Chapter Indonesia dari organisasi Pasific Early Childhood Education Research Association Karya akademik internasionalnya tercatat ada 3 dalam bio datanya. Rekam jejak singkat dari ketiga calon Rektor UNJ tersebut jika dibuat tabel maka tergambar sebagai berikut :

Siapa Rektor UNJ 2019-2023 ?
Lalu pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi Rektor UNJ periode 2019-2023? Jawabanya tidak ada yang bisa memastikan karena rahasia besarnya ada pada anggota Senat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berjumlah 67 orang dan ada pada Menristekdikti yang memiliki hak suara 35 %. Sebab jika kita simulasikan dengan asumsi suara anggota senat UNJ tidak berubah dengan perolehan suara Dr. Komarudin, M.Si (26 Suara), Prof. Dr. Paulina Pannen (18 Suara) dan Dr. Sofia Hartati (18 suara) maka jika suara Menristekdikti yang 35 % semuanya diberikan kepada salah satu calon rektor tersebut maka semua calon rektor memiliki peluang menang yang sama baik calon nomor 1, nomor 2 maupun nomor 3. Perhitungan suara Menristekdikti kurang lebih begini ; (35%:65%) x 67 = 36 suara. Ini artinya jika Menristekdikti memberikan semua suaranya yang 36 suara tersebut kepada siapapun diantara tiga calon rektor tersebut maka ketiganya memiliki peluang yang sama. Tetapi jika terjadi pergeseran suara maka kemungkinanya bisa berbeda. Hal yang lebih penting dari itu semua adalah pentingnya rasionalitas Menristekdikti dan anggota senat UNJ untuk menjatuhkan suara pada pilihan yang tepat agar UNJ berubah dan mampu membawa mimpi UNJ bereputasi di tingkat Asia. Siapa dia? Mari merenung.
Penulis: Ubedillah Badrun (Dosen UNJ, Analis Sosial-Politik)