Beberapa waktu yang lalu cuitan ramai dengan perihal Lesti Kejora yang menempati urutan kelima dalam penghargaan “Top 100 Most Beautiful Faces in the World 2020.” Penghargaan ini dirilis oleh salah satu komunitas media bernama Top Beauty World. Hal itu juga yang menyebabkan banyak media nasional memberi berita yang cenderung menjatuhkan perempuan lainnya yang masuk daftar penghargaan ini. Judulnya pun dibuat seolah-olah kecantikan perempuan dinilai sebagai hal yang kompetitif, seperti “Kalahkan Lisa Blackpink, Lesti Berada di Urutan Kelima sebagai Perempuan Tercantik di Dunia.” Selain itu, warganet kemudian melabeli Lesti tidak layak masuk ke daftar tersebut, dengan berbagai alasan yang menjatuhkan penyanyi ini.

Tidak cukup serangan terhadap Lesti, selebgram Rachel Vennya juga menjadi sasaran. Rachel yang mengunggah foto dirinya di media sosial tidak menggunakan jilbab menjadi bahan omongan warganet. Rachel dilabeli dengan kata-kata negatif karena image yang dibawa Rachel tidak sesuai dengan gambaran warganet ketika dirinya mengenakan jilbab. Banyak yang melabeli Rachel dengan buruk, karena keputusan personalnya.

Sebenarnya, disadari maupun tanpa disadari, dua kasus tersebut bisa masuk ke persoalan internalized sexism. Lalu, apakah internalized sexism itu dan seberapa besar dampaknya bagi masyarakat?

Mengenal Internalized Sexism

Internalized sexism atau seksisme terinternalisasi merupakan hal yang jamak di dunia maya saat ini. Membedah kedua kata ini, internalisasi berarti proses pemasukan suatu nilai terhadap individu, sedangkan seksisme adalah tindakan yang meremehkan kelompok gender tertentu. Bisa dibilang, proses masuknya nilai-nilai disini ada usaha yang bersifat hegemoni. Artinya, nilai-nilai yang dianggap berbeda dan tidak seksis cenderung dienyahkan. Dua kasus tersebut menjelaskan dengan baik pemaknaan dari istilah ini.

Sebagai contoh, sering saya temukan cuitan di media sosial seperti “Ahh, cewek-cewek yang nonton Stray Kids (red- boy group Kpop) lebay! Paling suka visualnya aja kan ya?” atau “Apa cuman gue disini yang gak make-up kalau kemana-mana? Cantik tuh muka harus natural gak pake make-up!” Laki-laki pun juga terkena dampak dari seksisme internalisasi ini, seperti “Cowok yang gak ngerokok sama gak mabok mah bencong!’ atau “Ihh suka TWICE (red- girl group Kpop), bencong lu. Suka mah sama grup musik metal dong!” Disini terlihat bahwa ada hal-hal yang seharusnya umum terjadi di masyarakat dianggap sebuah anomali karena adanya pemaksaan nilai seksis ini. Akhirnya, muncul kebencian terhadap hal yang bersifat anomali ini di tengah masyarakat.

Iklan

Kembali lagi ke penjelasan dua kasus yang saya sebutkan di paragraf awal. Disini warganet menganggap anomali terhadap Lesti karena dirinya masuk ke penghargaan. Terlepas dari saya tidak suka terhadap bentuk penghargaan tersebut karena akan menimbulkan kompetisi perempuan yang hanya bersifat visual, dengan kata lain objektifikasi, saya melihat bahwa citra Lesti sudah dicap buruk oleh warganet akibat peran media.

Seperti apa? Pemberitaan media yang over terhadap kehidupan privat Lesti sampai dijadikan judul berita seperti “Lesti Memutuskan Memakai Behel” dan standar kecantikan yang segala-galanya berdasarkan kompetisi mendorong usaha seksisme terinternalisasi ini. Akibatnya, pemaksaan nilai terjadi dengan Lesti sebagai korban dari seksisme terinternalisasi ini.

Mengutip artikel Psychology Today, salah satu tanda seksisme terinternalisasi ini adalah paradigma kompetitif. Interaksi antar manusia dipandang sebagai hal yang sifatnya kompetitif, termasuk dalam hal gender. Akhirnya, sifat kompetitif ini menjadi standar keharusan yang mengatur hidup laki-laki dan perempuan. Orang-orang yang kalah dan tidak masuk standar moral masyarakat kemudian dijauhi dan dihujat yang bernada seksisme.

Seperti contoh yang tadi, ketika standar kecantikan perempuan harus natural tanpa make-up, orang-orang kemudian menganggap aneh perempuan yang menggunakan make-up yang tebal, lalu dianggap aneh juga ketika sedang mendukung artis idola yang tidak masuk standar masyarakat. Laki-laki yang tidak merokok dan suka genre musik tertentu, seperti Kpop juga dianggap laki-laki yang kalah dan tidak masuk standar. Kata “bencong” kemudian didegradasikan menjadi sifat yang tidak sesuai dengan standar moral laki-laki dalam bersikap. Begitu pula dengan perempuan yang merokok, dipandang aneh juga karena bangunan seksisme ini kokoh dalam melabeli berbagai macam tindakan manusia.

Rachel Vennya juga dihujat karena tidak menggunakan jilbab, sekaligus dilabeli perempuan yang buruk, tidak beragama, dan semacamnya. Perihal memakai jilbab dan tidak bagi saya itu urusan privat manusia. Seakan-akan seksisme terinternalisasi ini menjadikan manusia berlagak sebagai Tuhan yang menghakimi tindak-tanduk manusia lainnya. Padahal, Tuhan juga tidak melabeli dan menghakimi manusia sebegitu mudahnya.

Memang ada syariat yang mengatur perihal jilbab, namun tafsirannya terkadang dijadikan sebagai bentuk hegemoni atas manusia lainnya. Maksudnya, jilbab yang awalnya digunakan sebagai hal yang fungsional kini berubah menjadi standar moral yang hanya menentukan baik dan buruknya perempuan. Tidak memakai jilbab bagi sebagian manusia dianggap merupakan standar moral yang buruk dan harus dipaksakan untuk berubah moralnya menjadi baik (memakai jilbab). Usaha warganet dengan menyayangkan sikap Rachel Vennya yang membuka jilbabnya dan intervensi hak personalnya merupakan cara untuk menjauhkan mereka dari standar moral yang buruk.

Persoalan-persoalan ini tidak seremeh itu. Seksisme terinternalisasi ini dampaknya begitu besar. Manusia dipaksa mengikuti standar moral yang mengekang ekspresi gendernya akibat seksisme terinternalisasi ini. Perlu diingat, seksisme terinternalisasi ini kemudian menormalisasi seksisme di masyarakat, secara sadar maupun tidak sadar. Standar laki-laki dan perempuan dibentuk sedemikian rupa agar yang kalah dan tidak memenuhi standar menjadi tidak berdaya dan tidak percaya diri atas tubuh dan perilakunya. Tubuh dan perilaku manusia yang tidak sesuai standar dijadikan bahan perbandingan, hujatan, atau sebagai candaan. Akhirnya hidup hanya berada di seputar kompetisi untuk saling menjatuhkan orang lain dengan dalih “sekadar mengingatkan” dan “cara hidup saya sudah benar, Anda yang salah,” seperti yang terlihat dalam dua kasus tersebut.

Seharusnya, ekspresi gender tidak dibuat kaku dengan memasang standar ini-itu. Perlunya pemahaman untuk membiarkan manusia berekspresi dengan kemauan personalnya harus diutamakan. Bukan dengan memasang standar yang membunuh ekspresi manusia lainnya.

Penulis: M. Rizky Suryana

Editor: Danu Marta Yohana

Iklan