Beberapa pasal dalam RUU Sisdiknas dianggap bermasalah. Mahasiswa UNJ meresponnya dengan unjuk rasa.

Massa aksi yang tergabung dari Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA), BEM FT, dan BEM Prodi Elektro UNJ menggelar unjuk rasa sebagai reaksi atas Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) tepat di depan halte UNJ, pada Jumat (09/09/2022).

Diawali dengan berkumpulnya massa pada pukul 15.00 sore, aksi tersebut diisi dengan orasi yang dilakukan oleh perwakilan dari tiap organisasi secara bergiliran. Orasi tersebut berisi keresahan dan refleksi mengenai nasib kesejahteraan guru dan masa depan pendidikan Indonesia. Rentetan orasi terus digaungkan walaupun rintik hujan mulai turun membasahi massa aksi.

Diiringi oleh lalu lalang para pejalan kaki dan kendaraan, aksi bertajuk “Menyambut RUU Sisdiknas Dengan Penolakan” tersebut didorong oleh keresahan terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah. “Tolak RUU Sisdiknas, bagaimana nasib anak kita yang harus dihadapi dengan mahalnya biaya pendidikan,” terdengar seruan dari orator yang disambut gemuruh oleh massa aksi di tengah bising kendaraan. Di penghujung aksi, massa aksi menyanyikan Indonesia Raya, kemudian meninggalkan spanduk-spanduk aspirasi di sisi-sisi pagar pembatas JPO.

RUU Sisdiknas yang disusun oleh Kemdikbud Ristek, akan dibuat dalam bentuk omnibus law karena menggabungkan UU No.20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

Pasal-pasal yang menjadi keresahan menyangkut Pasal 40 ayat 3, di mana kebijakan tersebut mengisyaratkan agar setiap PTN mengubah statusnya menjadi lembaga berbadan hukum dalam kurun waktu maksimal delapan tahun. Selain itu, Pasal 104 yang mengatur Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dinilai masih abu-abu dalam menerapkan sistem gaji guru yang wajib dibayarkan.

Iklan

Baca Juga: Panggung Pendidikan Mengupas Tuntas Virus Pendidikan

Taufik Nugroho, selaku koordinator mengatakan bahwa aksi tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, terutama mahasiswa. Kaitannya dengan isu-isu pendidikan yang sebetulnya, seringkali menemui persoalan. Termasuk dalam RUU Sisdiknas, ia menyebutkan kalau masih banyak kecacatan.

Nugroho atau akrab disapa Oho juga menyatakan, RUU Sisdiknas mengindikasikan bahwa pemerintah seakan ingin lepas tangan dari tanggung jawabnya dengan menjadikan PTN sebagai lembaga yang otonom dalam pengelolaannya terhadap biaya operasional.

Masalahnya, ketika perguruan tinggi menyandang status sebagai PTN-BH, bukan tidak mungkin besaran biaya kuliah yang harus dibayar akan dinaikkan. Hal ini dilakukan, dengan maksud menambah pemasukan universitas. “Biaya kuliah yang mahal, artinya mempersempit akses masyarakat terhadap pendidikan,” ucapnya saat ditemui oleh tim Didaktika.

Di samping itu, sikap penolakan PTN-BH di UNJ bukan tanpa alasan. Ia menambahkan bahwa UNJ belum siap untuk mengelola anggaran secara otonom. Hal ini bukan hanya mengakibatkan kerugian bagi kampus, tetapi juga dapat membebani mahasiswa dalam bentuk kenaikan UKT dan sumbangan pembangunan.

Adanya fenomena kenaikan biaya kuliah, berbanding terbalik dengan nasib lulusan sarjana pendidikan UNJ yang mayoritas hari ini masih berpenghasilan rendah. “RUU Sisdiknas tidak menjawab dengan jelas besaran gaji guru, padahal penghasilan tenaga pendidik hari ini masih bisa dikatakan cukup miris,” ujarnya.

SPORA bersama BEM FT dan BEM Prodi Elektro UNJ menyatakan sikap yang dituangkan melalui rilis persnya, yaitu untuk menolak RUU Sisdiknas, menolak PTN-BH di UNJ, serta tingkatkan kesejahteraan guru.

 

Penulis: Ezra Hanif

Editor: Ragil Firdaus

Iklan