KPA menggelar diskusi guna membedah berbagai permasalahan struktural dari krisis agraria saat ini, setelah Jokowi mengajak generasi muda menjadi petani.
November 2014 lalu, pemerintah dan aparat menggusur warga yang mendiami Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Penggusuran yang meratakan 11 desa itu dimaksudkan untuk membangun bandara Kertajati oleh pemerintah provinsi, kabupaten, dan pihak Bandar Udara Internasional Jawa Barat (PT BIJB). Padahal, 11 desa tersebut merupakan sentra pertanian Jawa Barat, dan kini sudah berubah berkat hasrat para pejabat Jawa Barat yang ingin membangun bandara internasional sekelas Kualanamu di Sumatera Utara.
Pasalnya, Desa Sukamulya merupakan satu contoh dari ribuan kasus perampasan lahan di era Jokowi. Alih-alih mendorong generasi muda menjadi petani, permasalahan agraria yang masih nampak hingga saat ini pun masih belum terselesaikan, contohnya mengenai akses tanah. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 71 persen tanah di Indonesia telah dikuasai korporasi kehutanan, 23 persen lainnya dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar, para konglomerat, dan sisanya dimiliki masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas petani di Indonesia adalah petani gurem, atau petani yang hanya memiliki tanah kurang dari 1 hektar.
“Lahan-lahan pertanian yang ada di Sukamulya, hilang karena adanya bandara internasional. Uang kompensasi yang diterima para petani pun tidak maksimal untuk memulai kehidupan selain petani, karena harga tanah sudah semakin mahal,” ujar Sobirin, salah satu warga desa Sukamulya yang rumahnya direnggut paksa oleh bandara internasional tersebut.
Sobirin adalah salah satu petani yang tergabung dalam Serikat Petani Majalengka. Ia menyatakan hal tersebut dalam Diskusi Reforma Agraria dengan tema “Generasi Milenial: Siapa Mau Jadi Petani?”
Diskusi yang diselenggarakan KPA pada Rabu (18/8/2021) via YouTube dan Zoom Meeting ini, membedah pernyataan Jokowi yang tengah ramai diperbincangkan di jagad media sosial. Dalam pernyataannya, Jokowi mendorong generasi muda untuk menjadi petani, karena pentingnya sektor pertanian dalam membangun kemandirian pangan Indonesia. Diskusi mengarah pada relevansi pernyataan tersebut dengan melihat berbagai masalah yang dialami petani saat ini.
Diskusi pun dimulai oleh pembicara pertama. Endang, Staf Bidang Perempuan dan Anak di Serikat Paguyuban Petani Qariah Thoyyiban (SPPQT) Kota Salatiga menceritakan pengalamannya sebagai petani muda, dan ikut mengorganisir warga desanya, khususnya kelompok perempuan. Menurutnya, generasi Muda sulit untuk menjadi petani karena lekatnya stigma di masyarakat bahwa bertani itu sulit, dan kegiatan yang mengharuskan kerja keras. Hal ini membuat minat generasi muda untuk bertani pun minim.
“Generasi muda perlu untuk diajak berdiskusi dan pelatihan, guna menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bertani,” tuturnya.
Selain itu, petani yang berasal dari kelompok perempuan juga masih terbilang sedikit. Berdasarkan pengalamannya di lapangan, faktor utama yang mendorong perempuan desa untuk Bertani, hanya disebabkan oleh desakan kebutuhan. Namun karena kentalnya kultur patriarki, ia memiliki beban ganda yakni mengurus ladang sekaligus mengurus kerja-kerja domestik atau rumah tangga.
Perihal menurunnya minat masyarakat untuk menjadi petani, Rara Sekar membandingkannya dengan budaya di Selandia Baru, negara yang ia tempati demi mendapatkan gelar S2-nya. Menurut pengamatannya, bertani adalah hal yang dianggap wajar. Bahkan, aneh jika seseorang tidak mengerti soal pertanian. Akses pengetahuan tentang pertanian juga dibuka seluas-luasnya.
Perempuan yang juga aktif menyuarakan isu-isu lingkungan ini, skeptis akan pesan Jokowi yang mengajak anak muda untuk menjadi petani. Ia menampiknya dengan kenyataan di lapangan, bahwa lahan pertanian sudah semakin sulit didapatkan. Kalaupun ada lahan, ada kecenderungan lahan tersebut untuk dijadikan objek komersil, seperti mall, bandara, pabrik, dan lain-lain.
Ia melanjutkan, ajakan generasi muda untuk bertani adalah sikap naif untuk menyelesaikan masalah ekonomi nasional. Ajakan pemerintah ini dinilai terlalu menyederhanakan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh para petani saat ini.
“Ajakan seperti ini justru menjerumuskan generasi muda untuk menjadi petani gurem yang tidak berdaulat maupun sejahtera. Hal ini dikarenakan minimnya akses lahan yang telah dimonopoli oleh para tuan tanah,” jelas Rara.
Alih-alih mendorong generasi muda menjadi petani, Rara berharap masyarakat kota mengerti terlebih dahulu dengan kesenjangan dan realita yang dialami oleh petani, dan tidak sekadar menjadi konsumen dari hasil pertanian desa semata.
Selaras dengan Rara, Haryadi Propantoko dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), situasi pertanian saat ini tidak memberikan ekosistem yang nyaman untuk menjadi petani. Ditambah lagi, minat masyarakat untuk menjadi petani pun semakin pudar.
Menanggapi penurunan minat terhadap profesi petani, Haryadi mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan faktor kepemilikan lahan dan rendahnya hasil panen. Akses lahan yang semakin sulit, sehingga menimbulkan rendahnya hasil panen, mengakibatkan kecilnya keuntungan yang didapat. Hal ini memunculkan stigma bahwa menjadi petani itu sulit.
Haryadi mengharapkan adanya suatu instansi pemerintahan yang dapat mendukung tersedianya lahan pertanian untuk para petani muda dan petani pemula. Ia mengambil contoh Amerika Serikat yang menjadi sentral negara liberal namun memiliki Farm Service Agency, yakni sebuah institusi yang memfasilitasi lahan pertanian kepada anak muda, petani muda, ataupun petani pemula. Dengan adanya institusi tersebut, tanah-tanah yang asetnya dilepaskan oleh para petani, dialihkan kepemilikannya kepada para petani muda atau petani pemula. Sehingga, alih fungsi lahan menjadi minim.
Ia juga berharap, akses pasar pangan kepada para petani muda dan petani pemula harus lebih dimudahkan. Namun hal ini berbenturan dengan masalah struktural, dimana impor pangan semakin terbuka luas. “Hal ini membuat petani semakin terpinggirkan,” tutur Haryadi.
Benni Wijaya, dari Kepala Departemen Kampanye KPA yang menggantikan Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika sebagai pembicara, menyebutkan beberapa persoalan krisis agraria struktural yang dihadapi petani saat ini. Pertama, ketimpangan tanah yang disebabkan oleh kebijakan politik agraria yang serampangan. Pemerintah cenderung mementingkan industri-industri besar dalam hal penyediaan tanah. Menurutnya, hal ini juga menimbulkan konflik struktural, dimana dalam kurun waktu enam tahun terakhir, terdapat 2.291 letusan konflik akibat proyek-proyek pembangunan menurut data KPA yang disebutkannya.
Kedua, alih fungsi lahan kepada industri-industri besar. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ia katakan, 200.000 hektar tanah beralih fungsi. Di sisi lain, ada 5,1 juta rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian setiap tahunnya.
Ketiga, kemiskinan. Sebagian besar kemiskinan di Indonesia berasal dari kelompok petani. Ia mengatakan, kemiskinan tersebut merupakan kemiskinan struktural yang belum terselesaikan.
Menanggapi minat anak muda yang menunjukan tren penurunan, Benni melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, yakni tentang keuntungan yang tidak sesuai dengan ongkos produksi, kebijakan yang tidak berpihak pada petani, dan pendidikan yang tidak meluruskan stigma buruk tentang petani, seperti kemiskinan dan ketimpangan.
“Jika masalah-masalah ini terselesaikan, minat anak muda untuk menjadi petani tidak lagi surut,” pungkas Benni.
Penulis: Hastomo Dwi
Editor: Ihsan Dwirahman