Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) telah disahkan pada 24 September 1960. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Namun sejak diterbitkannya undang-undang tersebut, petani masih berada di atas jalan terjal.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar acara peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2021 pada Jumat (24/9/2021). Acara yang berlangsung secara daring via Zoom Meeting dan Youtube tersebut, dibuka dengan pemutaran lagu Indonesia Raya, dilanjut dengan menyanyikan Mars Reforma Agraria oleh Paduan Suara Serikat Petani Pasundan (SPP).
Meskipun peringatan HTN tahun ini tidak seperti tahun lalu, dimana terjadi aksi di beberapa titik di Indonesia, peringatan HTN yang digelar secara daring ini tetap melibatkan beberapa serikat petani untuk berorasi. Seperti, Serikat Tani Independen (SEKTI) Jember, Persatuan Petani Kelapa Sawit, Serikat Tani Konawe Selatan, Serikat Petani Buleleng, Teluk Palu, Serikat Petani Indramayu.
Dewi Kartika, Sekjend KPA, dalam pidatonya mengatakan, nasib kaum tani saat ini masih tak kunjung membaik meskipun UU PA sudah disahkan sejak 60 tahun lalu. Ia mencontohkan, adanya kemiskinan di pedesaan yang semakin meluas, ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah yang semakin tajam, bahkan disertai konflik agraria yang tak kunjung diselesaikan.
Dewi juga menyebutkan beberapa tantangan dan ancaman yang dihadapi kaum tani saat ini. Pertama, food estate yang digalakkan pemerintah saat ini dijalankan dengan cara merampas tanah-tanah petani dan masyarakat adat. Hal ini guna membuka lahan-lahan pertanian agar produksi pangan oleh korporasi dapat dijalankan.
Padahal, lanjut Dewi, krisis kesehatan akibat pandemi yang juga melanda masyarakat pedesaan, seperti petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan telah membuat pendapatan masyarakat menurun.
“Sesungguhnya, tiada yang lebih ironi di negeri ini ketika pemerintah berdalih sedang melakukan pembangunan pertanian dengan cara merampas tanah petani,” ucapnya.
Kedua, masifnya perampasan tanah yang menandakan hilangnya kedaulatan kaum tani. Dewi mengatakan, perampasan tanah mengakibatkan berkurangnya produksi pangan, sehingga hal ini menjadi dalih negara, pengusaha, dan politisi bersekongkol untuk terus melakukan impor pangan, berupa beras, gandum, daging, garam, susu, dan buah-buahan.
Ketiga, kriminalisasi rakyat, terutama para pejuang pembela hak atas tanah yang semakin merajalela. Padahal, lanjutnya, tujuan berdirinya negara ini adalah untuk melindungi segenap warga negaranya. Namun, alih-alih melindungi, rakyat yang mempertahankan hak miliknya justru mengalami kriminalisasi.
“Kriminalisasi kepada rakyat yang mempertahankan hak-haknya adalah tantangan terbesar ke depan seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Cipta kerja (UU Ciptaker) yang telah membabat semua hambatan kelompok pemodal dalam mendapatkan tanah dan sumber daya alam di tanah air,” ujarnya.
Menyoal kondisi tersebut, Dewi mengatakan, penyebabnya dikarenakan UUPA 1960 tak kunjung dijalankan. Padahal, dalam UUPA 1960 terdapat beberapa prinsip pokok untuk merealisasikan reforma agraria sejati.
Pertama, orientasi reforma agraria harus ditujukan untuk menata ulang kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah di seluruh wilayah Indonesia. Kedua, penataan ulang struktur agraria yang timpang dan proses redistribusi tanah, atau land reform, harus disertai dengan program penunjang, seperti sarana dan prasarana pertanian, perkreditan, infrastruktur, penunjang, irigasi, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, teknologi, dan mekanisme pasar yang melindungi petani sebagai produsen utama.
Selain itu, subjek utama reforma agraria seharusnya ditujukan kepada kepentingan petani kecil, petani gurem, penggarap, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, dan golongan ekonomi lemah lainnya, termasuk perempuan sebagai subjek hukum dari reforma agraria.
Dewi Kartika melanjutkan, reforma agraria juga harus menyasar pada tanah-tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh badan usaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara di semua sektor.
Terakhir, bagi Dewi, reforma agraria haruslah sejalan dengan perubahan sistem ekonomi politik agraria dan orientasi pembangunan nasional yang selama ini dijalankan. Menurutnya, jika kelima prinsip pokok tersebut tidak dijadikan landasan untuk mengatasi masalah agraria saat ini, sangat mustahil untuk memperbaiki struktur agraria yang timpang dan penyelesaian konflik agraria.
“Mari perluas dan perkokoh gerakan reforma agraria sejati agar semakin kuat mengakar untuk memutus rantai kapitalisme agraria,” tutup Dewi.
Selain Dewi Kartika, Cion Aleksander dari Persatuan Petani Kelapa Sawit Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, turut menyampaikan beberapa permasalahan yang terjadi di wilayahnya. Sejak 2010, ungkap Cion, masuk perusahaan tambang di Kabupaten Sanggau dan tambang bauksit. Persoalannya, terjadi tumpang tindih hak-hak wilayah adat dan hutan lindung di wilayahnya tersebut. Sehingga, sebagian besar wilayah adat dan hak-hak kaum tani, dicaplok oleh perkebunan skala besar.
“Kami tidak menolak investasi, tapi polanya, atau sistemnya, tidak berpihak pada rakyat dan lebih berpihak kepada investasi skala besar. Itu yang kami tidak setujui,” ungkapnya.
Selain banyaknya tanah-tanah rakyat yang dicaplok, lanjut Cion, juga terjadi kerusakan lingkungan, hutan, hingga lahan pangan. Sehingga, para petani dan masyarakat adat kehilangan lokasi lahan pangan karena tercemar oleh lokasi pertambangan.
Cion pun menuntut kepada pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, serta dinas-dinas terkait untuk segera menuntaskan masalah-masalah agraria yang menyebabkan pemiskinan kaum tani.
“Dengan ini, kami petani, masyarakat adat, mendesak kepada pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dengan mempercepat pengembalian HGU yang tumpah tumpang tindih dengan wilayah adat, HGU yang tumpang tindih dengan hak petani. Segera dikembalikan dan dibuat kesepakatan ulang dengan skema yang disetujui oleh bersama,” tegas Cion.
Kemudian, acara dilanjutkan dengan pembacaan hasil Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) yang telah dilaksanakan pada 7 – 10 dan 13 – 16 September 2021. Pembacaan hasil KNRA 2021 tersebut kemudian ditanggapi oleh Aliansi Petani Indonesia, Serikat Petani Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, Serikat Petani Kelapa Sawit, SPP, dan Ketua Dewan Nasional KPA.
Penulis : Hastomo Dwi Putra
Editor : Ahmad Qori Hadiansyah