Beberapa waktu lalu dunia pendidikan digemparkan dengan kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyediakan skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) melalui pinjaman online (pinjol) Danacita. Adanya kebijakan itu membuat mahasiswa ITB melakukan demonstrasi.
Mereka menuntut skema pinjol untuk pembayaran kuliah dihapuskan karena kebijakan itu akan membuat mahasiswa terbebani oleh bunga pinjaman. Selain itu, mereka menuntut ITB untuk tetap melanjutkan kuliah mahasiswa yang belum melunasi pembayaran UKT.
Dilansir dari Kompas diketahui karena tingginya UKT ITB, puluhan mahasiswa tidak bisa melunasi biaya tersebut dan terancam tidak bisa melanjutkan studinya. Banyaknya mahasiswa yang terancam tidak dapat melanjutkan studi, membuktikan kegagalan negara dalam memberikan hak pendidikan kepada warga negara. Kegagalan itu bertambah parah ketika negara seolah berusaha lepas dari tanggung jawabnya dengan melibatkan pihak swasta, yakni Danacita untuk memberikan pinjaman kepada mahasiswa dalam membayar UKT.
Adapun adanya opsi pembayaran UKT melalui pinjol menunjukkan paradigma pendidikan sebagai komoditas, jamak diamini masyarakat, bahkan termasuk dalam sivitas akademika sendiri. Dalam paradigma ini, pendidikan tak ubahnya layaknya barang dagangan. Bagi orang yang punya uang bisa mengakses, semantara yang tidak ke laut saja.
Padahal, pendidikan merupakan hak bagi warga negara sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 31 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Negara bertanggung jawab atas pemberian hak tersebut kepada setiap warga negara.
Menjamurnya paradigma pendidikan sebagai komoditas tak lepas kaitannya dengan masifnya liberalisasi pendidikan di Indonesia. Pakar pendidikan, Darmaningtyas memandang liberalisasi pendidikan merupakan proses pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan maupun pengelolaan pendidikan, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara malah menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Bentuk nyata dari liberalisasi pendidikan adalah lewat hadirnya status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). PTN yang menyandang status ini mempunyai keleluasaan lebih dalam bidang akademik maupun non-akademik dibanding PTN berstatus Badan Layanan Umum (BLU) ataupun Satuan Kerja (Satker).
Negara berharap dengan adanya keleluasaan itu—terutama dalam bidang non-akademik— PTN-BH dapat mandiri, dalam artian sebagian besar biaya operasional suatu PTN-BH tidak berasal dari negara. Negara juga mengharapkan PTN-BH mampu mencari dana di luar biaya kuliah mahasiswa.
Namun, tulisan yang berjudul Otonomi Merogoh Kantong Mahasiswa dalam Majalah LPM Didaktika, menunjukkan bahwa pendapatan sejumlah PTN-BH masih didominasi dari uang kuliah mahasiswa. Universitas Diponegoro (Undip) misalnya, selama empat tahun sejak resmi menjadi PTN-BH pada 2015, pendapatan kampus itu dari jasa layanan pendidikan jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan dari pengelolaan aset dan unit usaha.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/kembali-ke-akar-jadilah-pakar/
Bahkan, pendapatan Undip dari layanan pendidikan meningkat tiap tahunnya. Kenaikan pendapatan itu sejalan dengan langkah Undip menaikkan UKT.
Dampaknya, UKT mahal menjadi makanan sehari-hari mahasiswa PTN-BH. Banyak mahasiswa kemudian kesulitan membayar UKT. Tidak jarang keringanan UKT diajukan oleh banyak mahasiswa. Namun, tak jarang juga permohonan tersebut ditolak oleh pihak kampus. Terpaksa terjerat pinjaman online menjadi pilihan terakhir mahasiswa untuk melanjutkan studi seperti yang terjadi di ITB.
Mari Menuntut Hak Itu!
Menjamurnya pendidikan sebagai komoditas semakin pelik ketika dibenturkan dengan akses pendidikan Indonesia yang masih minim. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat dengan pengeluaran terendah hanya mendapatkan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi sebesar 17 persen pada tahun 2023.
Selain itu, menurut OECD sebanyak 62 persen penduduk Indonesia masih lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Padahal, sekarang saja sudah sedemikian banyak lapangan kerja yang mensyaratkan lulusan sarjana bagi tenaga kerja.
Peliknya pendidikan hari ini, tidak seharusnya membuat negara melepaskan tangan dengan memberikan keleluasaan kepada swasta untuk mengurusi sektor pendidikan. Negara harus bertanggung jawab untuk menyediakan akses pendidikan kepada setiap rakyat.
Di Hari Pendidikan Nasional ini, hendaklah seluruh rakyat Indonesia merefleksikan bahwa pendidikan itu adalah hak, bukan komoditas semata. Marilah semua rakyat Indonesia untuk menuntut hak itu.
Penulis: Andreas Handy
Editor: Asbabur Riyasy