Perbincangan perihal pendidikan tak akan kunjung usai. Dalam konteks kekinian, tantangan menghadapai revolusi industri 4.0 menjadi perbincangan hangat. Terlebih, perihal Artificial Intellegence (AI) yang digadang-gadang akan mengganti tenaga manusia.
Akan tetapi, hal itu (AI), menurut Haedar Baghir tidak akan bisa menggantikan semua potensi manusia. “Terdapat potensi manusia yang terbesar, yakni imajinasi,” ujar Haedar dalam seminar “Pendidikan dalam Kehidupan Termesinkan”, Jum’at (15/11) di Bentara Budaya.
Ia melanjutkan, penemuan sains terbesar pun berawal dari imajinasi manusia. Sayangnya, sekolah gagal mengembangkan potensi terbesar itu.
Komputer sudah pasti berguna di bidang pendidikan. Namun, kata Haedar, jangan sampai gadget itu menjadi alat keseharian di dalam kelas, yang berpotensi mengurung imajinasi. Ia beralasan, “anak-anak (peserta didik) sudah banyak menggunakannya di luar sekolah.”
Guna mengembangkan imajinasi, perlu adanya pendekatan anak dengan alam. Sebab, kini proses pembelajaran lebih banyak dihabiskan di dalam kelas. Imajinasi inilah, lanjut Haedar, yang menghantarkan anak menuju spiritualitas.
Spititualitas tidak akan tercapai jika proses pembelajarannya hanya melalui wacana. Ia mencontohkannya dengan pendidikan karakter yang belakangan ini berkembang. Menurutnya, pendidikan karakter semacam itu tidak efektif. Pendidikan karakter harus melalui cara-cara praktis.
Mengedepankan pendidikan berbasis masalah, kata Haedar, menjadi salah satu cara. Anak (peserta didik) belajar dengan masalah yang ada di sekitarnya, dan mengimajinasikan penyelesaiannya.
Berbeda dengan Haedar, Iwan Pranoto, Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), turut mengomentari pendidikan di era termesinkan ini. Katanya, dalam beberapa aspek teknologi dapat mengembangkan kecerdasan dan keterampilan manusia.
“Contohnya Virtual Reality (VR). Pelatihan pemadam kebakaran menjadi lebih intens dengan VR ini,” ujarnya yang juga menjadi pembicara dalam seminar.
Manusia, akan menjadi lebih manusia dengan perkembangan teknologi ini. Hal itu bisa terjadi jika ilmu kemanusiaan kita sudah mapan, yakni melalui nalar berpikir manusia. Ia menegaskan, “Kemanusiaan dan teknologi harus berjalan dengan keseimbangan.”
Lain hal, yang disoroti dalam sistem pendidikan kini, bahwa sistem pendidikan menginginkan peserta didik seperti malaikat. Iwan melanjutkan, pembentukan manusia yang bersahaja -dapat menerima perbedaan pendapat- harus dikembangkan. “Sehingga, kita semua memahami adanya peluang perbedaan pendapat,” pungkasnya.
Penulis/Reporter: Ahmad Qori H.
Editor: Uly Mega S.