Teater Zat UNJ mengadakan acara pementasan drama dan monolog dengan tajuk “Kilau Karya 28”, Jumat (10/3). Acara ini diselenggarakan di Aula Latief, Lt 2, Gedung Dewi Sartika, UNJ. Salah satu tema yang di angkat dalam acara ini adalah persoalan hak asasi manusia.

Penampilan monolog “Aku yang Membunuhnya”, membahas sekelumit permasalahan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dari sudut pandang pelaku. Monolog ini bercerita tentang pelaku kejahatan HAM yang telah mengaku pernah membunuh orang. Para korban pembunuhannya terpampang jelas dari tempelan poster di meja, kursi, dan papan tulis.

Pelaku menggambarkan bagaimana para korban dapat terbunuh, namun pembunuhan paling keji dijatuhkan kepada Marsinah dan Munir. Marsinah, seorang buruh wanita dibunuh keji pada 1993. Sedangkan Munir, seorang aktivis, diracun dalam pesawat di tahun 2004.

Baca juga: Ulang Tahun ke-28, Teater Zat Meluruhkan Ego Melalui Sabeni

Sang sutradara Aditya Nugraha, menyatakan alasan ia mengangkat tema pelanggaran hak asasi manusia dalam pementasannya. Menurutnya, ia mendapat ide dari aksi Kamisan yang masih memperjuangkan hak asasi manusia sampai sekarang.

“Saya merasa tertarik dengan aksi kamisan karena masih memperjuangkan HAM sampai saat ini. Saya mencoba mengambil tema untuk naskah dari rentan waktu 1993 sampai 2004. Selain itu, masih banyak juga orang yang belum paham arti perjuangan dalam aksi tersebut,” ujarnya.

Iklan

Kemudian, ia juga menerangkan kendala yang harus dihadapi saat menggarap drama ini, khususnya saat membuat naskah pementasan. Baginya, hal paling sulit adalah menentukan sudut pandang tokoh sebagai pelaku dan menerka-merka kejadian sebenarnya saat pelanggaran hak asasi terjadi.

“Kendalanya ada pada sudut pandang tokoh yang dipakai dalam pementasan ini, karena saya tidak mengetahui kejadian aslinya seperti apa,” tuturnya.

Adit berharap pesan moral dalam naskahnya dapat tersampaikan dengan jelas ke para penonton. Tetapi, baginya yang paling penting teater garapannya itu dapat menjadi pengingat akan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

“Saya harap dari pementasan ini, penonton bisa menangkap pesan moral, mengingat, dan melek akan kasus pelanggaran hak asasi manusia,” tutupnya.

Tidak hanya itu, dalam Kilau Karya juga terdapat pementasan drama lain. Seperti “Symphaty of the Devil”, “Sang Penyintas dan Pergeseran Paradigma”, puisi “Tangan”, “Sajak Tafsir”, dan “Perempuan yang Terbelenggu.”

 

Penulis: Chika

Editor: Arrneto