Unit Kegiatan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Hindu Buddha (UKM KMHB) mengadakan Seminar Lintas Agama (SELAMA) pada Sabtu, 25 November 2017. Acara ini berlokasi di Aula Daksinapati, Kampus A Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Acara Seminar ini dibagi menjadi beberapa sesi. Sesi pertama yaitu pembukaan yang dibuka oleh Ketua Umum KMHB UNJ, Nyoman Agung Swastika dan sambutan Ketua Pelaksanaan Acara Jesslyn Metta. Kemudian acara dilanjutkan dengan sesi materi yang dibawakan oleh empat pembicara mengenai toleransi dari sudut pandang keagamaan masing-masing pembicara, dan diakhiri dengan sesi tanya jawab.
Berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya menghadirkan tiga agama yakni, Khonghucu, Buddha, dan Hindu. Tahun ini, KMHB menghadirkan pembicara yang merupakan tokoh Agama Islam, Agus Supriyatna, pengajar Amsec (Asean Moslem Youth Secretariat). Hadir pula Putu Sariati yang merupakan Penyuluh Agama Hindu Kementrian Agama, Isyanto yang menjabat sebagai ketua umum Institut Nagarjuna (Lembaga Kajian Buddha), dan Peter Lesmana, Sekretaris Umum Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia).
Acara ini merupakan bagian dari program KMHB yang bertujuan untuk menyatukan masyarakat dengan meningkatkan toleransi dalam pluralisme kebudayaan dan agama. Tujuan itu selaras dengan tema yang diusung, yakni “Peran Nilai Agama dalam Membangun Moral Khebinekaan”. Nyoman selaku Ketua umum KMHB menyatakan bahwa melalui acara ini, toleransi antar umat beragama bisa terwujud.
Pada 2016, acara ini bertema “Melalui Darma Tingkatkan Moralitas Generasi Muda dalam Kehidupan Masyarakat”. Pengambilan tema tiap tahun mengalami perubahan, yang dipilih berdasarkan isu mencakup keagamaan. Menurut Nyoman, tema ini diangkat berdasarkan kondisi Indonesia, khususnya ibu kota yang rawan konflik mengenai agama. Ia juga menuturkan, melalui acara ini, kesadaran masyarakat akan meningkat.
Banyak peserta yang menghadiri acara ini. Nyoman pun berharap acara ini bisa berlanjut tahun depan. Selain itu, bisa diperluas dengan bekerja sama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UNJ, Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK).
Menanggapi Pluralisme Indonesia
Peter Lesmana menyatakan bahwa sesungguhnya semua agama bernilai baik dan membimbing. Ia menjabarkan masalah yang ada adalah kurangnya komunikasi antar penduduk Indonesia. Ada pula jalur informasi yang keliru terhadap kelompok tertentu membuat stigma buruk.
“Jangan sampai ada pemikiran bahwa agama itu masalah yang seharusnya sebagai solusi karena nilai agama itu baik, gara-gara komunikasi buruk jadi gagal paham apa itu kebersamaan,” kata Peter yang membawakan materi agama Konghucu.
Ia menegaskan bahwa Pancasila tidak dibuat untuk satu golongan saja tapi berbagai penduduk Indonesia. Oleh karena itu, pluralisme seharusnya bukan membeda-bedakan tapi mengharmoniskan.
Selaras dengan Peter, Putu Sariati mengutip Vasudaiva Kutumbakam, yang bermakna semua manusia itu bersaudara. “Masalah lain yang diderita oleh masyarakat adalah sifat tidak adil dan mengutamakan kepetingan golongan,” ujarnya. Menurut Putu, ada cara untuk menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, dari menghargai perbedaan pendapat sesama manusia sampai memberikan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan sesuai kemampuan.
“Asal kata saudara itu sebenarnya, se-udara. Manusia menghirup udara yang sama jadi kita bersaudara,” kata Peter saat mendiskusikan persoalan kesaudaraan. Ia juga mengibaratkan dengan persaudaraan perbedaan itu ibarat taman bunga, satu bunga melengkapi bunga yang lainnya.
Isyanto melalui materi agama Buddha sependapat bahwa syarat persatuan adalah komunikasi yang terjaga. Sebaliknya, apabila perbedaan makin ditonjolkan, maka bisa melahirkan konflik. Melalui forum yang digagas KMHB, peserta berkumpul dari berbagai latar belakang dan menjalin komunikasi.
Menurutnya keadaan agama tidak bisa dipisahkan dari faktor ekonomi dan budaya. “Karena itu, peran negara harus hadir,” ujar Isyanto dalam sesi tanya jawab.
Pemateri terakhir adalah Agus Supriyatna, yang membawakan materi toleransi dari sudut pandang Islam. Bagi Agus, cara terbaik menunjukan kebaikan adalah memberi contoh. Sebab, Islam bukanlah soal simbolistik, melainkan perbuatan.
Sosok yang akrab dipanggil ustadz ini tidak setuju saat ditanyai bagaimana bentuk pluralisme yang ideal. Menurutnya, bentuk ideal itu tergantung dari pendapat masing-masing; subjektif. Namun, ia memberikan contoh keadaan pluralisme islami yakni kelahiran Piagam Madinah di Jazirah Arab yang bisa mempersatukan perbedaan agama dan budaya masyarakat Madinah kala itu.
Faisal Bachri