Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar Aksi Kamisan terakhir di pemerintahan Joko Widodo (17/10). Aksi Kamisan tersebut dilakukan bertepatan tiga hari menjelang pelantikan presiden baru yaitu Prabowo Subianto.
Pada momentum ini, dilangsungkan juga kuliah terbuka oleh aktivis dan advokat hak asasi manusia, yaitu Asfinawati. Dimulai pada pukul 15.30, Asfinawati menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan dosa dengan tidak mengadili pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya kasus pembunuhan Munir Said Thalib maupun hilangnya aktivis 1998.
“Jika selama ini yang mengadili adalah pengadilan, maka sekarang saatnya rakyat sendiri yang mengadili,” ungkapnya dengan suara lantang.
Ketika ditemui selepas aksi, Asfinawati menjelaskan bahwa pada Aksi Kamisan ke-836 ini banyak yang mengusung narasi untuk mengadili Jokowi. Menurutnya, hal tersebut memang harus dilakukan. Sebab di pemerintahan Jokowi, reformasi telah gagal dan banyak janji yang dikhianati dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Baca juga: Kematian Periode Reformasi: Menuju Indonesia Cemas 2045
Selain itu, Asfinawati juga mengaku bahwa dirinya memiliki kekhawatiran terhadap demokrasi dan HAM di masa mendatang. Ia juga menyoroti beberapa tragedi yang telah terjadi, diantaranya seperti pembubaran beberapa diskusi dan serangan radio di Papua.
Asfinawati mengatakan hal-hal tersebut bisa jadi gambaran masa depan Indonesia. Apalagi menurutnya kekerasan hari ini seakan-akan bukan dilakukan oleh negara, melainkan oleh kalangan sipil.
“Meskipun aksi pembubaran dan kekerasan dilakukan oleh sipil, tapi kita tahu itu semua digerakan oleh negara. Persis seperti pada zaman Orde Baru,” tuturnya.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu menegaskan bahwa Aksi Kamisan akan terus berlangsung di pemerintahan Prabowo Subianto. Meskipun ia mengakui pasti akan ada tantangan yang baru di bawah rezim anyar.
Aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan juga turut hadir dalam Aksi Kamisan kali ini. Ia menegaskan bahwa ketidakadilan di rezim Jokowi semakin meningkat dibandingkan sebelumnya. Ia menyoroti semakin banyak kasus kriminalisasi dan penangkapan baik kepada aktivis maupun rakyat.
“Apakah orang-orang (pemerintahan) itu tidak berpikir bagaimana keturunannya kelak kalau lingkungan semakin rusak? Kayaknya mereka tidak berpikir dan menggampangkan semua itu. Kalau gitu mereka tidak usah berkembang biak saja,” ungkapnya sembari tertawa.
Kasus kriminalisasi pernah menjerat dirinya lantaran menolak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tambak udang raksasa. Alhasil, ia pun dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena mengunggah konten di media sosial terkait tercemarnya pantai di Karimunjawa.
“Saya masih menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA), kemarin mengajukan banding diterima dan sekarang tinggal menunggu putusan kasasinya saja. Tapi, memang belum sepenuhnya dinyatakan bebas,” ungkapnya.
Daniel menegaskan bahwa keikutsertaan gerakan rakyat hari ini sudah cukup baik. Namun, perlunya kesadaran yang lebih banyak lagi dari masyarakat mengenai pentingnya HAM dan demokrasi
“Tindakan-tindakan kecil dari masyarakat akan sangat membantu di masa depan. Tindakan kecil seperti komentar, upload postingan, membuat petisi itu semua hal kecil namun penting dan berdampak,” tegasnya.
Pada akhir wawancara, Daniel sempat mengutip kata-kata dari Munir yaitu, “Obat untuk rasa takut itu melawan.” Ia berharap akan semakin banyak masyarakat yang sadar dan tidak takut lagi.
Baca juga: Jokowi dan 10 Tahun Dosa Agraria
Mahasiswa Universitas Indraprasta sekaligus anggota Gerakan Mahasiswa Nasional (GMNI), Aprilia Yusri menyoroti kinerja Jokowi dalam melakukan revolusi mental. Menurutnya, revolusi mental ala Jokowi membuat rakyat semakin miskin dan sengsara.
“Hari ini negara semakin tidak mengakomodir pendidikan, akibatnya pendidikan semakin mahal dan sulit diakses oleh masyarakat bawah. Selain itu, revolusi kebudayaan tidak pernah dilakukan,” tuturnya dengan geram.
Aprilia juga menegaskan bahwa Jokowi harus diadili, karena tidak mengerjakan kerja-kerja yang diinginkan dan menihilkan mensejahterakan rakyat. Ia menyebut bahwa hal itu bisa dilakukan jika gerakan rakyat bersatu.
“Rakyat harus bersatu membentuk sebuah gerakan besar, dan lepas dari hegemoni penguasa hari ini. Kalau itu terjadi, pastinya kita bisa mengadili Jokowi di pengadilan rakyat,” pungkasnya.
Reporter/penulis: Shari Angelica dan Zahra Pramuningtyas
Editor: Lalu Adam F. A.