Mohon maaf dengan tulus, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika sampaikan kepada pembaca, khususnya mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) karena Majalah Didaktika edisi 47 tidak terbit cetak.
Seperti yang kita ketahui, banyak media cetak yang gulung tikar dan beralih pada media daring. Beberapa alasannya adalah mahalnya biaya cetak yang tak sebanding dengan banyaknya pembaca dari media cetak itu sendiri di masa sekarang. Selain itu, pembaca media cetak juga beralih ke media online yang mudah diakses di mana saja dan dekat dengan masyarakat digital. Media cetak akan mati, banyak yang memprediksi seperti itu. Sebanyak 42 majalah dan tabloid di Indonesia tutup sepanjang tahun 2016-2017 (sumber: di sini). Hanya perusahaan media besar yang masih banyak menerima iklan dan masih bisa bertahan, koran harian Kompas misalnya.
Pendanaan LPM Didaktika
Tidak seperti media-media yang katakanlah media mainstream, LPM Didaktika sebagian besar kegiatannya dibiayai oleh mahasiswa. Dana untuk kegiatan publikasi yang dilakukan oleh LPM Didaktika berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dana PNBP sendiri berasal dari Uang Kuliah Tunggal (UKT), hibah, dan bisnis yang dilakukan oleh kampus. Dana tersebut, 60% dialokasikan untuk kegiatan tingkat universitas, sedangkan 40% untuk fakultas dan dikelola langsung oleh fakultas.
Setiap tahunnya LPM Didaktika menerima dana dari PNBP untuk mencetak majalah dan menunjang aktivitas publikasi, seperti diskusi dan pelatihan jurnalistik. Namun, 2017 dana untuk mencetak majalah dihilangkan dengan alasan pengalihan dana kemahasiswaan untuk pembangunan. Berdasarkan keterangan dari pihak Wakil Rekor III bidang Kemahasiswaan UNJ, kurang lebih Rp 1,1 milyar uang kemahasiswaan dialihkan untuk pembangunan. Dampaknya, beberapa kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dipotong dana kegiatannya, termasuk LPM Didaktika.
Penghilangan dana untuk penerbitan, menyebabkan Majalah Didaktika edisi 47 belum bisa naik cetak sampai sekarang. Majalah Didaktika merupakan salah satu produk jurnalistik yang diterbitkan setiap tahun oleh Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika. Bagi Didaktika, mengeluarkan Majalah adalah suatu kewajiban. Bukan hanya karena Majalah merupakan salah satu bentuk eksistensi LPM Didaktika sebagai lembaga pers mahasiswa, melainkan sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Sebagai media, tanggung jawab LPM Didaktika adalah memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi masyarakat, terutama mahasiswa kampus. Meskipun sudah ada website dan beberapa media sosial yang dapat kami gunakan untuk memberikan informasi, tetap saja produk cetak masih dibutuhkan. Produk cetak digunakan sebagai bahan diskusi serta membantu data untuk penelitian bagi mahasiswa. Selain itu, biasanya LPM Didaktika juga menjalin hubungan baik dengan LPM di seluruh Indonesia, majalah merupakan salah satu alatnya. LPM Didaktika juga melakukan studi banding produk jurnalistik ke LPM-LPM se-Indonesia.
Kegiatan publikasi yang dilakukan oleh LPM Didaktika menggunakan dana mahasiswa melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT). Oleh karena itu, majalah Didaktika diberikan secara gratis kepada Mahasiswa.
Selain itu, sebagian media kampus, Didaktika juga mempunyai fungsi sebagai watchdog. Pemantauan dinamika yang terjadi di kampus, pemasalahan kampus dan juga termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat. Meskipun kebijakan-kebijakan yang ada di kampus tidak ditetapkan oleh media, melainkan oleh para birokrat dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, media mempunyai kewajiban untuk memantau dan memastikan keputusan yang diambil berjalan dengan seharusnya. Mengutip pernyataan Ashadi Siregar, “media merefleksikan fakta kehidupan sekaligus perpanjangan publik dalam mengangkat wacana publik.”
Kronologis
Oktober 2017, LPM Didaktika menerima kabar dari Biro Akademik Kemahasiswaan dan Hubungan Masyarakat (BAKHUM) bahwa LPM Didaktika tidak mendapatkan dana penerbitan. Menurut salah satu petugas BAKHUM, Fitroh Ruhjayanti, tidak ada proposal yang masuk untuk penganggaran dana tersebut. Dia menyarankan agar kami menemui langsung pihak WR III untuk membicarakan perihal dana penerbitan.
Padahal, Februari 2017, LPM Didaktika telah mengunggah anggaran 2017 di google drive yang telah disediakan oleh pihak WR III. Dalam proposal tersebut, tercantum jumlah dana yang dibutuhkan untuk kegiatan sebesar Rp 25 juta dan penerbitan sebesar Rp 20 Juta. Pada Agustus 2017, LPM Didaktika menyerahkan proposal berbentuk fisik pada Fitroh.
Kami mengikuti saran petugas BAKHUM tersebut untuk menemui pihak WR III. Kami bertemu dengan salah satu staf WR III, ia menjelaskan bahwa ia tidak mengetahui bahwa anggaran untuk penerbitan LPM Didaktika tidak ada. Selain itu, kami juga baru mengetahui bahwa proposal asli pengajuan dana penerbitan pada bidang kemahasiswaan tidak ada. Setelah itu kami dialihkan lagi untuk menemui salah satu staf WR III lainnya yaitu Abdul Kholik untuk penjelasan peniadaan dana penerbitan LPM Didaktika.
Tidak adanya dana penerbitan dikarenakan adanya pemotongan anggaran untuk dialihkan ke pembangunan. Begitu penjelasan dari Abdul Kholik yang kami temui di acara pembagian komputer baru untuk beberapa unit kegiatan mahasiswa. Selain itu, ia enggan menjelaskan secara jelas alasan tidak adanya dana penerbitan LPM Didaktika dan malah menyuruh kami untuk menemui salah satu staff WR III lainnya lagi, yaitu Vera Maya Santi.
Kami segera bertemu dengan Vera. Kami menanyakan kepadanya bagaimana dana penerbitan LPM Didaktika bisa tidak ada. Jawaban yang dilontarkan sama dengan Kholik, dana dialihkan untuk pembangunan sebesar Rp 1,1 milyar. Ia menyarankan agar kami untuk berpuasa sebagai media penyampai informasi dengan menunda pencetakan majalah tersebut. Kami tegas menolaknya.
Akan tetapi, kami kemudian malah ditawari agar majalah LPM Didaktika edisi 47 dicetak oleh pihak kemahasiswaan. Kami masih bersikukuh agar dana penerbitan diserahkan kepada kami dan kami akan mencetaknya sendiri. Namun ia menolaknya.
Setelah peristiwa penawaran tersebut, mau tidak mau kami mempertanyakan uang dana penerbitan Didaktika 2017 kemana perginya. Di lain hari, kami kembali mendatangi Vera untuk menanyakan dana penerbitan Didaktika. Namun, kami belum mendapat penjelasan yang masuk akal mengenai tidak adanya dana tersebut. Akhirnya dia memutuskan untuk mengalihkan kami pada salah satu staff WR III yang lain (lagi dan lagi), Pras panggilannya.
Seperti halnya Vera, Pras juga menawari kami agar majalah LPM Didaktika edisi 47 dicetak oleh WR III. Kami masih mengklarifikasi perihal dana yang akan digunakan nantinya untuk mencetak majalah. Katanya dana LPM Didaktika dihapus karena pemotongan, tapi mengapa mereka menawarkan cetak lewat mereka? Uang mana yang mereka gunakan? Alih-alih menjelaskan dana itu berasal dari mana, dia menjawab, “kalian ini ngeyel ya, mau dibantu atau tidak ?” dengan nada yang tinggi sambil menggebrakan meja.
Kami kembali bertanya lagi, namun tidak mendapatkan penjelasan mengenai dana penerbitan yang hilang. Tidak ada transparansi, tak ada penjelasan. Kami bingung dengan kata “bantu” yang dia gunakan karena kami yakin dana untuk penerbitan bukanlah berasal darinya, atau bahkan dari rektorat, melainkan dari PNBP yang diterima kampus. Dana UKT dari mahasiswa.
Setelah dioper-oper seperti bola, ke sana, ke mari tanpa satu pun goal yang dihasilkan, kami memutuskan majalah 47 dicetak oleh pihak WR III dengan beberapa syarat yang telah kami tentukan, dari mulai teknis sampai substansi tidak ada campur tangan pihak rektorat. Mereka sepakat, kami sepakat. Jalan ini kami tempuh dengan pertimbangan penyerapan dana agar WR III tidak sembarangan lagi menghapus dana penerbitan di tahun berikutnya. Lagi pula, apabila tidak kami gunakan untuk mencetak majalah, lantas dikemanakan nanti dana tersebut?
Seminggu setelah kami memberikan dummy majalah LPM Didaktika edisi 47 dalam bentuk PDF, kami kembali dipanggil dan dimintai untuk mengedit kembali beberapa judul tulisan yang dianggap mereka provokatif dan meninjau kembali beberapa isi beberapa berita dan opini.
Mau tidak mau kecurigaan baru muncul kembali. Apakah dana penerbitan benar-benar dialihkan pada pembangunan atau hanya alasan saja untuk mengintervensi karya-karya jurnalistik dan tulisan yang diterbitkan oleh LPM Didaktika.
Represi dan Upaya Pembungkaman
Akhir Januari 2018 kami kembali mengirimi surat kepada WR III dengan tujuan yang ditulis di surat tersebut, memperkenalkan struktur organisasi LPM Didaktika yang baru dan audiensi dengan harapan surat tersebut bisa mempertemukan langsung LPM Didaktika dengan WR III, Sofyan Hanif. Entah karena terlalu sibuk mengurusi kampus atau apa, WR III sulit ditemui.
30 januari 2017, pengurus LPM Didaktika mendatangi kantor WR III untuk audiensi. Saat audiensi kami mulai menanyakan kembali mengenai peniadaan dana penerbitan. Lagi, lagi alasan pembangunan menjadi alasan mengapa dana penerbitan LPM Didaktika tidak ada. Achmad Sofyan Hanif mengatakan pemotongan dana kemahasiswaan tersebut didasarkan pada hasil rapat pimpinan. Namun, saat LPM Didaktika mengkonfirmasi perihal pemotongan dana tersebut kepada WR II Bidang keuangan dan Sarana Prasarana ia tidak mengetahuinya.
Jika pun dana kemahasiswaan dipotong dan dialihkan untuk pembangunan, apakah uang sebesar 25 juta saja tidak ada untuk menunjang kegiatan mahasiswa? Misalnya, dana penerbitan LPM Didaktika ditiadakan dan dialihkan untuk pembangunan itu membingungkan. Terlebih kita tidak mengetahui mekanisme dan transparansi dana karena mereka menolak untuk menjelaskan. Sejauh yang didaktika ketahui, dana penerbitan LPM Didaktika berasal dari PNBP, sedangkan untuk pembangunan dana yang digunakan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ada pun pada 2016 kedua dana APBN dan PNBP disatukan, tetap saja tidak menganggu dana kemahasiswaan. Jika alasan pemotongan dana kemahasiswaan adalah pembangunan, sudah sejak lama UNJ melakukan pembangunan. Bahkan, pada 2014 jumlah dana penerbitan Didaktika sempat naik.
Djaali, Rektor UNJ periode 2014-2017 saat konferensi pers pada 22 januari 2017 di Hotel Megaria menyatakan pendapatan (dari APBN) UNJ tiap tahunnya cenderung meningkat. Pada 2013, pendapatan UNJ sebesar 170 milyar, pada 2014 pendapatan UNJ sebanyak 223 milyar, pada 2015 pendapatan UNJ sebanyak 227 milyar, pada 2016 pendapatan UNJ sebesar 425, pada 2017 pendapatan UNJ dari UKT saja kurang lebih 250 milyar.
Kembali pada saat kami audiensi dengan pihak WR III, kami juga dipertemukan dengan staff WR III yang pernah kami temui sebelumnya untuk mengurus dana penerbitan, yaitu Pras dan Kholik. Saat membahas dana, berkali-kali pihak WR III menyinggung beberapa tulisan LPM Didaktika baik yang telah dipublikasi di website LPM Didaktika ataupun tulisan-tulisan majalah yang belum juga terbit cetak.
Salah satu tulisan yang dipermasalahkan adalah berita berjudul Mawapres Tidak Merepresentasikan Seluruh Mahasiswa UNJ. Menurut mereka, pemberitaan tersebut tidak berimbang. Padahal, dalam tulisan tersebut kedua belah pihak (antara mahasiswa dan mawapres) diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat dan mengikuti kode etik jurnalistik.
Selain itu, 3 tulisan mengenai kampus di majalah Didaktika edisi 47 diminta untuk dihapuskan oleh pihak WR III. 3 tulisan tersebut berjudul:
- Landasan Usang (Rubrik Kampusiana) bicara mengenai statuta UNJ*
- Pencopotan Rektor dan Sekelumit Masalah UNJ (Rubrik Kampusiana) bicara mengenai rekam jejak Djaali*
- Plagiarisme : Cermin Buruk UNJ (Rubrik Opini) bicara mengenai plagiarisme dengan alasan menjaga situasi kampus*
Seluruh karya jurnalistik Didaktika merupakan tanggung jawab Didaktika. Tulisan-tulisan tersebut yang telah diterbitkan tidak begitu saja bisa terbit melainkan melewati beberapa tahapan. Sehingga, kami tidak bisa menurunkan tulisan-tulisan tersebut.
Ancaman Langgar Kebebasan Berpendapat
Setelah Didaktika menolak untuk menurunkan 3 tulisan tersebut, mereka mengancam majalah Didaktika edisi 47 tidak cetak. “Itu uang kami, kami yang kelola,” ujar salah satu staff WR III. Dengan spontan salah satu penggawa Didaktika menyatakan ketidaksetujuannya atas pernyataan tersebut dan dijawab dengan tawa singkat oleh ketiga staf WR III. Jelas, tugas birokrat adalah mengelola uang tersebut bukan menjadikannya seakan-akan milik mereka.
Sebelumnya, ancaman-ancaman semacam itu sudah sering dilontarkan pada Didaktika. Polanya selalu sama, jika kami menerbitkan masalah kampus, maka kami akan dipanggil, lalu diancam secara lisan oleh pihak birokrat. Terakhir, sebelum dana penerbitan benar-benar ditiadakan, pemimpin redaksi Didaktika mendapatkan panggilan dari kepala sub bagian kemahasiswaan dan alumni. Pemanggilan tersebut membahas mengenai surat permohonan wawancara salah satu reporter Didaktika yang diajukan ke BAKHUM yang berujung pada ancaman penahan dana penerbitan buletin jika kita membuat berita mengenai permasalahan kampus. Bahkan, dia juga akan mengusulkan pada pimpinannya agar menutup Didaktika.
Ancaman dan represi seperti ini tidak hanya terjadi pada Didaktika, lembaga pers mahasiswa di beberapa kampus pun mengalaminya, seperti LPM Bahana dari Universitas Riau, LPM Ideas dari Universitas Negeri Jember, LPM Poros dari Universitas Ahmad Dahlan dan masih banyak lagi. Ternyata, hidup di lingkungan akademik seperti kampus tidak menjamin kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.
*Majalah Didaktika edisi 47 tetap terbit dalam bentuk digital dan dapat diakses di issue atau dapatkan versi pdfnya di
Didaktika