Malam itu (9/12), di perempatan Pasar Malam Sekaten terlihat seorang lelaki yang telah renta tengah duduk. Ia mengenakan jaket yang dipadukan dengan celana bahan dan sebuah kopyah pada kepalanya. Sesekali ia berdiri dan berjalan kecil menjajakan dagangannya kepada orang-orang yang berlalu lalang. Terlihat sekilas senyum dari lelaki tersebut saat tim Didaktika lewat di hadapannya.

Ialah Bandono, seorang lelaki berusia enam puluh empat tahun. Ia terlahir di Yogyakarta. Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dengan alun-alun utara, tempat diadakannya pasar malam sekaten. Hal ini membuatnya memilih untuk berjalan kaki menuju pasar malam itu.

Bandono mengungkapkan bahwa ia memulai usahanya sejak 2001. Dengan bermodal kacang yang diambil dari kebunnya, ia menjajakan kacang rebus di pasar malam sekaten. Tiga ribu rupiah adalah harga yang ia tawarkan untuk sebungkus kacang rebus dan lima ribu rupiah untuk setiap botol air mineral. Bersama sang istri, ia berjualan dengan cara berpencar. Selama sebulan penuh, ia menyiapkan keranjang sebagai wadah kacang rebus dan air mineral yang akan ditawarkannya pada pasar malam sekaten.

Pada perayaan maulid yang biasa diadakan setiap satu tahun sekali, pasar malam sekaten menjadi lahan untuk para pedagang sekitar Yogyakarta membangun standnya. Lain halnya dengan Bandono, ia merasa tidak perlu menyewa stand untuk ia berjualan. Menurutnya dengan hanya menjajakan dagangan secara berkeliling saja sudah cukup. Ia juga menambahkan bahwa berjualan di pasar malam sekaten hanyalah sebagai hiburan semata.

Berbanding dengan penampilannya, Bandono ternyata memiliki lima anak dengan segi ekonomi yang cukup. Anak pertamanya bekerja di salah satu Bank swasta daerah Yogyakarta. Anak keduanya berprofesi sebagai polisi yang bekerja di Polres daerah Yogyakarta. Anak ketiganya bekerja di toko pada salah satu mall. Anak keempatnya membuka warung di rumah. Dan anak kelimanya membuka stand pada pasar malam atau biasa disebut panggungan. Ia juga mengungkapkan bahwa karena anak-anaknya tersebutlah ia memiliki rumah, kebun, sawah, dua mobil dan mesin penggilingan padi.

Bandono mengungkapkan bahwa pendidikan berperan dalam menjadikan hidupnya yang sekarang. Berlatar sebagai lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), ia kemudian menjadi guru olahraga di salah satu Sekolah Dasar (SD) daerah Yogyakarta. Namun karena faktor usia yang terus bertambah, kini Bandono sudah pensiun dari profesinya sebagai seorang guru olahraga.

Iklan

Dengan memandang pentingnya pendidikan, maka Bandono juga ingin memastikan bahwa anak-anaknya harus dapat memperoleh pendidikan –minimal tingkat SMA, seperti dirinya. Bandono juga mengungkapkan sekarang dirinya telah merealisasikan keinginannya tersebut. Ia menyebutkan bahwa kelima anaknya ialah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia kemudian menyatakan bahwa sekarang ia hanya memetik buah manis dari pendidikan.

 

Penulis : Annisa Nurul Hidayah Surya