Sejak awal kemerdekaan, pendidikan guru sudah menjadi sorotan pemerintah. Ada Sekolah Guru B (SGB ), Sekolah Guru A (SGA), Institut Pendidikan Guru (IPG) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Kursus B1, Kursus B2, Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dsb. dibentuk oleh pemerintah demi mendidik dan menyiapkan guru-guru.

Pada 1967, lulusan SPG sudah bisa menjadi guru. Namun, pada 1989, pemerintah mengubah ketentuannya, karena tuntutan kualifikasi guru tidak cukup lagi hanya dengan ijasah SPG.

Akhirnya,  kualifikasi guru SD ditingkatkan dari yang hanya lulusan SPG menjadi D2,  guru SMP menjadi D3, dan guru SMA menjadi S1 plus akte mengajar. Lalu, tantangan terus semakin meningkat hingga kualifikasi guru SD pun minimal berijazah S1.

Kualifikasi guru semakin hari semakin meningkat, hingga pada  2013, pemerintah mulai melaksanakan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Perkembangan itu terus berkembang karena banyaknya tuntutan guru yang harus benar-benar mapan dalam mengajar. Apalagi, kita sekarang mulai memasuki era digitalisasi pendidikan secara global.

Oleh karena itu, IKA UNJ mengadakan Forum Diskusi Pedagogik (FDP) yang bertemakan “Mendesain Kembali Pendidikan Guru Menjawab tantangan Era Digital” pada Rabu (24/2). Forum ini bertujuan untuk mengkaji bersama bagaimana seharusnya guru di era pendidikan digital.

Screenshot kegiatan FDP “Mendesain Kembali Pendidikan Guru Menjawab Tantangan Era Digital” Rabu (24/2), melalui aplikasi Zoom. (Foto: Istimewa)

Tian Belawati, Master of Education di Simon Fraser University Canada. Ia telah mengabdikan diri dalam bidang Pendidikan Jarak Jauh selama 30 tahun di Universitas Terbuka. Ia membawakan gagasan tentang “Guru seperti apa yang harus dipersiapkan”. Ia menyatakan bahwa sebelum kita mendidik guru, kita harus terdahulu mengetahui karakteristik mrurid generasi sekarang dan setelahnya.

Iklan

Ia mengingatkan, bahwa guru-guru akan menghadapi generasi Alpha. Generasi yang sudah tidak asing lagi dengan teknologi modern dan dunia digital.

Sejak kecil, generasi Alpha telah akrab dengan dunia digital. Terampil menggunakan gawai bahkan telah bergantung kepadanya. Bahkan, mereka mampu bergaul secara global, dengan  orang yang tinggal sangat jauh dari tempat mereka. Bahkan, generasi Alpha dapat memiliki tren yang sama walau bebeda pulau.

Generasi Alpha bukan lagi menggunakan gawai sebagai style. Namun dalam kehidupan, generasi ini juga bergantung kepadanya. Sehingga psikomotorik mereka kurang terlatih.

“Karakter-karakter seperti inilah yang perlu diperhatikan oleh para guru,” terang Tian. Sehingga, teknik pengajaran yang mereka beri menjadi tepat sasaran.

Lalu, selain mengenal karakteristik murid. Tian mengatakan, “guru juga harus mengantisipasi bahwa dengan perkembangan yang kian canggih, murid mengharapkan nantinya sistem pembelajaran akan lebih berfokus kepada minat mereka”. Murid-murid generasi alpha selalu ingin dilibatkan dalam pengembangan rute pembelajaran.

Pengetahuan, lanjut Tian, sudah sangat mudah terjangkau. Alhasil, murid mempunyai akses yang luas tehadap informsi apapun. Namun tetap, guru harus bisa mengarahkan alur pembelajaran yang murid minati.

Tian meneruskan, setelah kita mengenali karakteristik, ada beberapa kompetensi lain yang harus guru kuasai. Pertama, para guru hendaknya paham teknologi. Karena kedepannya metode pembelajaran akan lebih banyak menggunakan platform-platform digital. Serta, generasi Alpha yang cenderung sangat bergantung dengan gawai. Maka, kemampuan menguasai platform digital menjadi sangat krusial.

Kedua, memiliki pemahaman dan keterampilan mengajar Heutogogy. Maksudnya guru harus bisa mengajar dengan pembelajaran yang ditentukan secara mandiri oleh pembelajar. Karena, menurut Tian,  murid yang akan diajarkan adalah murid yang lebih suka menentukan sendiri pembelajarannya. Mereka juga suka dengan pembelajaran yang lebih kontekstual dan kurang suka dengan pembelajaran yang teoritis.

Tian melanjutkan, pemahaman konsep pembelajaran digital menjadi keterampilan yang ketiga. Pembelajaran ini sangat erat dengan pedagogik connectivism. Yaitu, memercayai bahwa pembelajaran bukan hal yang terjadi di dalam diri. Namun hal yang terjadi dari hubungan antara satu informasi dan informasi lainnya. Karena, sekarang informasi sangat banyak dan lebih terjangkau.

Terakhir, memiliki keterampilan membangkitkan deep learning. Pembelajaran yang terfokus dan lebih mendalam. Sehingga dapat memicu murid berpikir kritis dan kompetensi penyelesaian masalah.

Iklan

Penulis/Reporter: Asbabur Riyasyi

Editor: Ahmad Qori