Pada 20 Mei 2024, otonomi daerah sempat kembali menjadi tema yang dibicarakan saat Ma’ruf Amin — yang kala itu menjadi wakil presiden dan ketua harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) — menyampaikan sambutan pada acara Anugerah Adinata Syariah 2024. Pada sambutannya, ia berpendapat otonomi daerah bisa menjadi modal membangun ekonomi syariah nasional. Baginya, otonomi daerah berpotensi mewujudkan pembangunan yang inklusif, merata, dan berkelanjutan.
Dalam mengoptimalkan ekonomi syariah di daerah, KNEKS membuat Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS). KDEKS kini sudah tersebar di 31 provinsi di Indonesia. Dengan menggandeng prinsip otonomi daerah, ekonomi syariah akan dijalankan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
Namun dalam tataran pelaksanaannya, program yang dijalankan KDEKS seringkali tidak tepat sasaran. Dari program KDEKS di berbagai provinsi, secara umum mereka berfokus sekadar membantu sertifikasi halal dan Nomor Izin Berusaha (NIB) para pelaku usaha lokal.
Padahal yang perlu menjadi fokus KDEKS adalah memanfaatkan komoditas lokal daerah agar masyarakat setempat dapat mengembangkan hilirisasi produk unggulannya. Selain itu, KDEKS dapat memberikan edukasi kepada masyarakat supaya dapat mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam tataran produksi hingga distribusi produk bisnis kecil-menengahnya.
Dari langkah yang coba dilancarkan oleh KNEKS melalui KDEKS, nampaknya otonomi daerah adalah sebuah “alat” penting dalam membangun ekonomi daerah. Lalu bagaimana kondisi otonomi daerah yang sedang berjalan di negara kita kini?
Baca juga: Demokrasi Omon-Omon dalam Pilkada
Pertama-tama, menurut UU No. 23 Tahun 2014, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini kemudian menjadi acuan otonomi daerah di berbagai sektor, baik sektor ekonomi ataupun tata kelola pemerintahan.
Desentralisasi menjadi penting ketika membicarakan lokalitas daerah. Dengan adanya otonomi, sebuah daerah yang beraneka ragam, bisa mengembangkan potensinya sesuai dengan kondisi geografis dan sosialnya sendiri.
Sebagai gambaran, di pulau Jawa, tanaman padi menjadi komoditas pangan primer bagi masyarakat setempat. Berbeda halnya dengan di Papua, di mana tanaman sagu menjadi komoditas pangan utama bagi masyarakat mutiara hitam. Oleh karena itu, bila merujuk ke Papua, tanaman sagu dapat dikembangkan untuk mendongkrak ekonomi lokal dengan membuat hilirisasi produk sagu yang memiliki daya jual lebih.
Otonomi daerah sendiri dijalankan oleh gubernur/bupati dan walikota sebagai kepala daerah, hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif. Untuk mengembangkan ekonomi syariah di daerah, diperlukan kerja sama yang baik antara pelaku usaha lokal, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
Paradoks Desentralisasi
Melihat realita hari ini, tampaknya praktek pemincangan otonomi daerah masih terjadi di beberapa daerah. Misalnya di Rempang, Batam, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah dilancarkan sejak Juli 2023 berpotensi mengancam kehidupan penduduk pesisir lokal. Alih-alih membangun industri berbasis hasil laut, pemerintah lebih memilih membangun pabrik kaca dan industri lain yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah daerah pun seakan gelap mata terhadap potensi daerahnya.
Perppu No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja pun turut mengebiri kewenangan pemerintah daerah. Lewat pasal 91, pemerintah pusat mengatur standar, norma, prosedur, dan kriteria jenis usaha untuk pembuatan NIB. Padahal, pemerintah daerah memiliki badan legislasinya sendiri, yaitu DPRD yang bisa merancang hal-hal di atas. Pola kebijakan ini biasa disebut top down. Di mana pemerintah pusat membuat satu kebijakan tanpa mendalami kebutuhan masyarakat lokal dan melibatkannya dalam perumusan regulasi.
Pun, jika masyarakat daerah ingin memulai sebuah bisnis, memperoleh izin usaha cenderung sulit, sehingga membuktikan otonomi daerah tak berjalan efektif. Sebagaimana data Doing Business Archive pada tahun 2020, dari 190 negara, Indonesia menempati urutan ke-140 dari segi kemudahan memulai sebuah usaha. Jauh dari Thailand yang berada di peringkat 47, atau Singapura pada posisi ke-4. Ini dikarenakan proses birokrasi yang tidak efektif. Urusan perizinan berusaha yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah malah menjadi urusan pemerintah pusat.
Pengambilan kebijakan yang dikenakan ke para pelaku usaha lokal acap kali ditentukan dari pusat, bukan berasal dari apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Dengan serangkaian kebijakan yang terkesan tersentralisasi, tentu pada ujungnya pelaku usaha di daerah hanya akan mengekor pada pusat dalam hal standar, prosedur, dan kriteria. Padahal, untuk membangun usaha, perlulah melihat keunggulan komoditas daerah masing-masing.
Baca juga: Menyelami Gerakan BTI: Ketika Negara Bergantung kepada Petani dalam Memperluas Akses Pendidikan
Pada akhirnya, yang dibutuhkan masyarakat daerah untuk menumbuhkan ekonomi bukanlah sekadar pendampingan sertifikasi halal atau edukasi ekonomi syariah. Karena apa guna sertifikat halal bila produknya gagal di pasaran? KDEKS perlu menciptakan industri berbasis komoditas lokal. Misalnya seperti hilirisasi hasil laut yang berupa ikan laut mentah, lalu diolah dan dikemas menjadi makanan kaleng. Tentu ini akan meningkatkan nilai jual dari suatu produk.
Otonomi daerah tentu akan sulit terwujud jika wewenang pemerintah daerah masih menjadi urusan pemerintah pusat. Undang-undang otonomi daerah hanya sebatas hitam di atas putih. Maka diperlukan debirokratisasi dan deregulasi. Pemisahan wewenang dalam undang-undang perlu dibuat tegas, agar tak terjadi penyerobotan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah.
Perlu juga untuk menguatkan fungsi pemerintah daerah, terkhusus DPD. Ia harus kembali pada marwahnya menjadi penyeimbang DPR. Setelah DPD difungsikan sebagai lembaga penyampai masalah, mereka juga perlu dilibatkan dalam pemutusan kebijakan. Dengan produk hukum berupa peraturan daerah ini lah para permasalahan pengusaha yang berbeda di tiap daerah bisa terakomodasi.
Penulis: Fadil B. Ardian
Editor: Lalu Adam Farhan Alwi