Pelanggaran kode etik politik elektoral membuat demokrasi Indonesia semakin berjalan jauh ke dalam koridor yang gelap. Ketiadaan kompas moral yang meloloskan oligarki dan politik transaksional menjadi alasan.
Dalam acara “Dialog Kebangsaan: Mengawal Demokrasi untuk Pemilu Jujur, Bersih, dan Damai,” (7/2), poin pelanggaran kode etik Pemilu tahun ini didiskusikan oleh berbagai kalangan intelektual kampus. Acara ini diisi oleh Hafid Abbas, Bivitri Susanti, Ubaedilah Badrun, Tsabit Syahidan, dan dimoderatori oleh Robertus Robet. Selain itu, Rektor, Wakil Rektor 1 sampai 4, Dekan Fakultas, Ketua LP2M, Dosen, dan Mahasiswa turut meramaikan acara ini.
Robertus Robet, Dosen Sosiologi FIS UNJ membuka jalannya diskusi. Menurut Robet, politik elektoral Indonesia hari ini tidak berpihak pada sistem negara yang demokratis. Fenomena ini diakibatkan dari penyalahgunaan kekuasaan berlebihan oleh presiden.
“Terdapat satu kesamaan hari ini dengan rezim Orde Baru. Reproduksi elit cenderung berpihak untuk memenangkan salah satu pihak,” katanya.
Selain itu, Hafid Abbas, Guru Besar dan Ketua Senat UNJ berujar elit politik Indonesia hari ini kehilangan arah dalam menentukan kompas moral. Baginya, hal ini berimbas pada sunyinya penerapan kultur keteladanan etika politik di dalam demokrasi.
Menyambung Hafid Abbas, Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menjelaskan hukum Indonesia hari ini digunakan oleh elit politik sebagai perisai legitimasi tindakan. Bivitri mencontohkannya dengan kasus pernyataan dukungan Presiden RI, Joko Widodo terhadap salah satu Paslon (25/1). Menurut Bivitri, Jokowi tidak sahih dalam pembelaannya karena hanya mengutip satu ayat pasal di dalam UU No. 7 Tahun 2017.
“Beberapa kampus yang bereaksi menyatakan sikap dan kritik dalam Pemilu tahun ini memiliki privilege atau tanggung jawab intelektual mengemban kompas moral,” ujarnya.
Kemudian, Ubaedilah Badrun, Dosen Pendidikan Sosiologi UNJ, menuturkan dibangunnya negara demokrasi harus mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Pria yang akrab disapa Ubed mengingatkan elit politik diwajibkan melayani rakyat, bukannya malah menutup kuping ketika dikritik.
Lebih lanjut, Tsabit Syahidan, Ketua BEM UNJ, memandang kondisi hari ini merupakan momentum untuk hadirnya gerakan mahasiswa. Baginya, hal itu bisa diwujudkan lewat pembangunan konsolidasi, hingga gerakan.
Penyakit itu Bernama Oligarki dan Politik Transaksional
Ubed juga mengatakan indeks demokrasi kita memburuk dan masuk ke dalam kategori cacat. Faktor tersebut diakibatkan banyak elit politik yang dikendarai oleh oligarki. Menurutnya politik prosedural adalah pintu masuknya oligarki untuk mengendalikan kekuasaan.
Adapula tutur Ubed, indeks demokrasi tahun kemarin merupakan yang paling buruk selama 13 tahun terakhir. Akibatnya para investor asing enggan menanam modal dan berimbas pada stagnasi ekonomi negara yang terus 5 persen.
Menambahkan Ubed, Hafid Abbas yakin sistem politik Indonesia hari ini berantakan karena dipengaruhi logika transaksional. Ia menerangkan ketika pejabat negara mau tidak mau harus terjebak membangun kerajaan bisnisnya. Kata Hafid Abbas, faktor seperti ini terjadi agar elit politik dapat balik modal.
“Laporan KPK menunjukan ongkos politik Bupati atau Walikota mendekati 50 sampai 100 Miliar, sedangkan DPRD 6 Miliar. Tapi kalau dia bekerja hanya mengandalkan gaji dari negara, dibutuhkan waktu 171 tahun”, ujarnya.
Setali tiga uang dengan Hafid Abbas, Bivitri membuka realita prosedur politik demokrasi Indonesia hari ini banyak ditempuh lewat kesepakatan gelap. Bivitri mengumpamakan ketika salah satu Calon Legislatif ingin namanya ada di urutan paling atas, maka diharuskan membayar. Strategi seperti ini menurut Bivitri dipakai untuk mempengaruhi psikologis pemilih yang malas untuk melihat partai-partai di urutan terbawah.
“Padahal politik bukan hanya alat untuk meraih kekuasaan. Di dalam politik ada sebuah adab menjalankan nilai-nilai publik agar kekuasaan tidak diduduki dengan cara-cara kotor,” pungkasnya.
Penulis/ Reporter: Arrneto Bayliss
Editor: Ezra Hanif