“Kalian (mahasiswa-red) silakan mengkritik Jokowi, tapi jangan kritik pimpinan (rektorat-red).”

Kalimat itu dilontarkan oleh salah satu pembantu rektor kepada penggawa didaktika pada 23 Oktober lalu. Aneh dan terkejut ketika mendengar kalimat tersebut. Kampus yang katanya dunia akademik semestinya sangat terbuka dengan kritik, sebab banyak ilmu pengetahuan lahir dari kritik. Akan tetapi, kini kampus justru malah alergi dengan kritik.

Mungkin kampus jengah dengan segala bentuk kritik yang dilakukan oleh mahasiswa, mulai dari masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tak kunjung selesai hingga kasus pemerkosaan oleh  oknum dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS). Tak hanya itu, seorang birokrat lain pun mengucapkan, “jangan mengkritik kampus, sebab UNJ sudah mendapat akreditasi “A” dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi  (BAN-PT).” Alasan klasik yang digunakan oleh kampus untuk mengimbau mahasiswa tidak melancarkan kritik ialah “nama baik”.

Tak cukup sampai di situ, pihak kampus pun melakukan pengetatan transparansi bagi semua kegiatan mahasiswa—meski hal sebaliknya tidak dilakukan kampus terhadap mahasiswa. Tak terkecuali, penyortiran terbitan bagi majalah didaktika. Jika ada tulisan yang menyinggung rektor, langsung dilarang untuk naik cetak— meski itu hanya surat pembaca. Alibi yang digunakan oleh kampus adalah demi terciptanya sinergi antara kampus dan mahasiswa.

Dengan demikian, kampus membatasi kebebasan akademik bagi mahasiswa untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Intinya menolak kritik. Jika sudah menolak kritik, artinya sistem yang dijalankan oleh kampus mirip dengan sistem yang dijalankan penguasa fasis dalam suatu negara.

Neo-fasisme yang dijalankan oleh Orde Baru, memang sudah runtuh pada 1998. Akan tetapi, sistem yang dijalankan oleh Orde Baru masih tersisa, termasuk di dunia pendidikan. Baru-baru ini kita pasti tahu pembredelan yang terjadi pada LPM Lentera, Univesritas Kristen Satya Wacana (UKSW). Meski pemberitaannya bukan mengkritik kampus, pihak kampus ikut terlibat dalam pemberedelan tersebut. Tepat tahun lalu, terbitan LPM Ekspresi, Universitas Yogyakarta pun dibredel oleh rektoratnya sendiri.

Iklan

Tak cukup sampai di situ, biasanya kampus juga membuat sistem agar mahasiswa tidak bisa mengkritik. Biasanya, kegiatan pembungkaman potensi kritis mahasiswa mulai dibentuk dengan diwajibkannya mahasiswa baru mengikuti pelatihan penanaman karakter jongos yang dibernama “pendidikan karakter”. Mahasiswa mesti memiliki kriteria yang diinginkan oleh kampus. Mahasiswa mesti patuh terhadap aturan, memiliki Indeks Prestasi (IP) besar, menguatkan semangat dan hasrat untuk berkompetisi.

Paradigma bahwa kampus merupakan wahana pendidikan untuk memanusiakan manusia harus dipertanyakan. Tidak diperbolehkannya pemikiran lain, selain pemikiran kampus merupakan pencederaan bagi kemanusiaan. Sebab, manusia satu tidak sama dengan manusia lain. Keberagaman pemikiran, termasuk kritik merupakan sebuah keniscayaan di dalam kampus.

Jika kampus tidak ingin diusik dengan kritik, artinya ada indikasi kampus memiliki masalah. Oleh sebab itu, kampus menciptakan mahasiswa sebagai One Dimentional Man,  semua mesti sama dan harus patuh, agar tidak mengganggu kepentingan penguasa di kampus. Pengkritik dianggap pembuat onar dan tidak berprestasi.

Jika kampus sudah sangat anti dengan kritik maka pendidikan Indonesia dalam masalah besar. Di bidang akademik, seperti yang sudah disinggung pada paragraf pertama, jika tidak ada kritik di dalam kampus maka tidak akan ada pengetahuan baru yang tercipta. Pendidikan di Indonesia akan jalan di tempat, atau bahkan mundur.

Terlepas dari hal itu semua, rektorat di kampus mana pun yang antikritik mesti ingat. Kalian bisa menikmati keadaan ini, bisa menjabat di perguruan tinggi dengan tenang, merupakan hasil dari kritik. Indonesia lahir dari sebuah kritik. Kritik yang dilakukan oleh pendiri bangsa terhadap penjajahan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Bukankah masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis saat ini?

 

VRU