Nur Hidayati merupakan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Wanita tersebut sudah 20 tahun menjadi bagian dari WALHI dari tahun 1999. Ditemui sehabis mengisi diskusi di kantor Lokataru tentang people power. Tim Didaktika berkesempatan mewawancarai tentang permasalahan lingkungan di Indonesia
Masalah perampasan lahan, kerap kali pemerintah membuat konflik horizontal antar warga, seperti yang terjadi di Kulon Progo dan lain sebagainya. Anda melihatnya bagaimana?
Ya, yang kebanyakan dilakukan pemerintah modus untuk suatu proyek seperti itu. Jadi yang tidak terjadi itu kan proses yang baik dan benar. Ketika pemerintah mau melaksanakan proyek di suatu wilayah, apakah pemerintah menghargai tanahnya masyarakat? Apakah pemerintah menghargai cara hidupnya masyarakat?, bahkan satu orang pun dia tidak boleh tertinggal. Pemerintah itu tidak boleh jadi “oh iya kan lebih banyak yang menerima, yang menolak lebih sedikit”. Itu gak boleh, karena di dalam undang-undang dasar haknya itu hak setiap orang, bukan hak yang lebih banyak.
Bagaimana anda melihat permasalahan tanah adat yang kerap kali dirampas pemerintah?
Ini permasalahan legalisasi. Kalau bicara adat, adat itu sudah ada di Indonesia sebelum Indonesia berdiri. Indonesia itu kan berdiri pada 1945. Tapi, adat itu sudah hadir ratusan tahun atau ribuan tahun jadi sebelum negara ini berdiri. Negara itu kan konsensus bangsa-bangsa, Indonesia itu konsensus dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Nah, jadi kalo ada suku adat tertentu jauh sebelum bangsa ini ada, haknya itu harus dilindungi oleh negara. Negara harus proaktif memberikan pengakuan itu, bukannya masyarakat adat yg harus susah payah bikin sertifikat.
Banyak permasalahan yang sering terjadi, ketika suatu bangunan disebut bangunan liar oleh pemerintah setempat, bagaimana menurut anda?
Kenapa dibilang liar? Orang ada RT/RW nya kok. Jadi kadang pemerintah akan membiarkan sesuatu selama itu tidak merugikan dia, tapi kalau dia berkepentingan dan sesuatu itu menghalangi kepentingan dia itu akan dengan mudah dikesampingkan. Kenapa misalnya warga di bantaran sungai itu lama sekali untuk membuat sertifikat? Padahal kalau dalam undang-undang agraria kalau dia sudah 20 tahun dia sudah otomatis dia punya hak dan itu kewajiban pemerintah memberikan sertifikat itu. Tapi kan yang selalu terjadi di Indonesia itu digantung, dibuat tidak jelas karena hal tersebut bisa dijadikan alat tekan, alat tawar, komoditas. Makanya, di negara kita itu yang paling nyata ketidakjelasannya.
Anda di WALHI melihat permasalahan lingkungan di Indonesia sudah separah apa?
Udah parah. Kalau kita liat indikator-indikator kualitas lingkungan bisa dilihat, ya, pencemaran udara. Kalian kan kalo keluar rumah pasti pake masker, ya itu memperlihatkan kualitas udara yang telah memburuk. Kita bisa liat longsor, banjir, kabakaran hutan, krisis air itu sudah parah semua di Indonesia. Jadi, itu yang menunjukan buruknya permasalahan lingkungan. Itu berpengaruh juga dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena manusia itu ketika dilahirkan melekat padanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, supaya dia bisa hidup yang bermartabat bebas dari sakit dan lain-lain. Jadi ketika lingkungan hidup sudah tercemar ada hak asasi dari si manusia itu yang hilang akibat rusaknya lingkungan, hak untuk menikmati udara yang sehat, dan hak untuk bebas dari pencemaran.
Apakah pencemaran yang terjadi karena efek industrialisasi yang begitu masif?
Pencemaran itu kan artinya ada ekses dari suatu kegiatan yang tidak bisa ditanggung lagi oleh alam. Kalau alam kita ibaratkan tubuh kita. Ketika kita memakan makanan yang gak baik itu menimbulkan penyakit. Artinya kalo manusia memakan zat-zat yang gak baik atau beracun tubuh kita gak bisa menenggang si racunnya akhirnya kita sakit. Nah, alam itu sama dia punya fungsi fisiologi yang sama. Jadi kalo terlalu banyak yang masuk pada satu waktu tertentu dia gak bisa merenggang. Akhirnya dia sakit dan gak bisa lagi melakukan pengolahan zat-zat yang ada di dirinya. Nah, proses industrialisasi yang masif dan yang dilakukan secara serampangan dan gak memperhatikan batas-batas tadi itu yang mengakibatkan pencemaran. Jadi industri boleh-boleh aja, tapi bagaimana industri itu dijalankan tanpa melakukan proses pencemaran, itu pertanyaannya. Nah, sekarang yang terjadi proses industrialisasi itu tidak peduli dengan dampak-dampaknya.
Reporter: Aditya Septiawan dan Fahmi Ramdhani
Editor: Uly Mega S.