TIkatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) mengadakan Diskusi Pendidikan dengan tema “Perspektif Pedagogik: Historitas Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) ke Universitas”. Rabu, (27/2/2019).

Menurut Sutjipto selaku pembicara dalam diskusi tersebut, ada tiga hal yang melatarbelakangi perubahan IKIP menjadi universitas. Pertama, IKIP dinilai sebagai institusi kelas dua di kalangan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan karena penguasaan materi dari program studi yang ada di IKIP sangat lemah.

Sutjipto menyatakan, di kalangan perguruan tinggi, pendidikan itu harus mengacu kepada competitive base. Artinya pendidikan didasarkan kepada kompetensi yang akan dilakukan mahasiswanya setelah lulus nanti. Maka dari itu, perlu adanya pemfokusan untuk menghasilkan  lulusan yang kompeten di bidang pengajarannya yang ditekuninya. “Lulusan IKIP tidak perlu bisa mengajar di SD, SMP, juga SMA,” tuturnya.

Kedua, tahun 1999 karena keterbatasan biaya, akhirnya pemerintah memberi mandat kepada IKIP untuk mengubah dirinya menjadi universitas alih-alih membuat universitas baru. IKIP harus membuka program studi non-kependidikan tanpa menghilangkan program studi kependidikannya.

Ketiga, kesadaran mengenai kakhawatiran kepada calon-calon guru yang nantinya hanya berkembang pada satu kultur, yaitu kultur pendidikan saja. “Calon guru harus bisa berkembang di kultur yang berbeda supaya nantinya bisa saling berkembang,” tutur Sutjipto.

Problematika IKIP menjadi UNJ

Iklan

Mantan rektor UNJ ini pun menjelaskan, dengan bertransformasinya IKIP, khususnya IKIP Jakarta, menjadi universitas bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan. Kultur ilmu pendidikan akan tetap berkembang dimana pun tempatnya. “Baik itu universitas, institut, maupun sekolah tinggi. Pendidikan akan tetap berkembang,” tegas Sutjipto.

Selain itu, UNJ memiliki fakultas yang mendalami ilmu pendidikan. “Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) bisa menjadi ciri khas UNJ,” lanjut Sutjipto.

Menaggapi pernyataan Sutjipto, Jimmy Ph. Paat, salah seorang peserta diskusi memaparkan, bahwa anggapan mengenai IKIP sebagai institusi nomor dua adalah kurang tepat. “Saya tidak pernah merasa (IKIP) kelas dua. Karena hanya di sinilah saya bisa belajar tentang pendidikan,” ujar Jimmy.

Jimmy juga setuju perihal FIP yang menjadi ciri khas UNJ sebagai kampus pendidikan. Ia mengatakan FIP sebagai “roh” dari UNJ. Mengutip pidato H.A.R Tilaar, lanjut Jimmy, sebetulnya FIP dijadikan sebagai landasan universitas (UNJ). FIP dijadikan sebagai tempat untuk belajar para mahsiswa yang mengambil program studi non-kependidikan untuk belajar tentang landasan kependidikan.

“Seperti saya yang kuliah kebahasaan, untuk ilmu pendidikannya, saya harus belajar di sana (FIP). Namun dalam pelaksanaannya, FIP dianggap belum mampu mengembangkan ilmu pendidikan itu sendiri. Hal-hal mendasar dalam ilmu kependidikan seperti historis pendidikan dan psikologi pendidikan tidak dikembangkan di FIP,” ungkapnya.

Sejalan dengan Jimmy, Yana Priyatna, peserta diskusi lainnya menyatakan selama menjadi mahasiwa IKIP Jakarta, ia belum pernah merasakan atmosfir pedagogik yang kental. Dalam hal penguasaan materi, sudah tentunya mahasiswa IKIP menguasai betul apa yang dipelajari. Namun, bagaimana cara mendidik itu yang tidak ia dapatkan.

Mahasiswa IKIP Jakarta pada saat itu hanya mendapatkan sebagian kecil dari ilmu pedagogik. “Kita (mahasiswa) ngga dapat filsafat pendidikan, sosiologi pendidikan. Yang kita dapat hanya sebatas evaluasi pembelajaran,” tutur Yana.

Yana menambahkan peranan FIP di UNJ, seharusnya tidak hanya sebagai ciri khas, namun FIP juga menjadi tempat pengembangan ilmu kependidikan. Menurutnya FIP-lah yang bertanggung jawab agar ilmu pendidikan bisa dikembangkan dan diminati karena banyak sekali masalah di dalamnya yang harus diselesaikan.

Yana juga berpendapat kalau transformasi IKIP Jakarta menjadi UNJ masih menyisakan ketanggungan. Menurutnya, lulusan-lulusan UNJ dari non-kependidikan masih kalah saing dengan universitas lain. “Contohnya sarjana ekonomi yang UNJ hasilkan masih kalah saing dengan lulusan Universitas Indonesia (UI),” tambahnya.

Budiarti, salah satu dosen Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK) menilai, bahwa dosen FIP sendiri pun masih kurang memahami konsep sejarah kependidikan. “Menjadi seorang pengajar haruslah menjadi pengajar yang benar, yang mengetahui ilmu-ilmu pendidikan,” ungkapnya.

Iklan

Selama mengampu MKDK, Budiarti banyak menanyai mahasiswanya tentang alasan memilih UNJ. Mayoritas, jawabanya tidak betul-betul memilihnya atau disebut dengan istilah “tergelincir”.

Ia memandang, seharusnya yang diterima menjadi calon guru, itu adalah orang-orang yang memang berkeinginan menjadi guru. Sebab menjadi guru harus mengajarkan kembali apa yang sudah dipelajari. “Mengajar itu suatu kesenangan, bukan keterpaksaan,” ungkapnya.

Maka dari itu, Budiarti mengharapkan adanya kualifikasi yang tepat untuk menerima mahasiswa yang memang sudah mempunyai niatan yang mulia untuk menjadi seorang guru.

Penulis: Siti Qoiriyah

Editor: Muhamad Muhtar