Sumber gambar: Rakyat News
Aksi simbolik berujung intimidasi. Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Pers Mahasiswa Catatan Kaki menghadapi represi dari kampus dan aparat kepolisian.
Tidak pernah terbayangkan bagi Ayu (bukan nama sebenarnya) bahwa ia akan mengalami insiden penangkapan oleh pihak kampus dan kepolisian. Mahasiswi program studi Sastra Inggris Unhas tersebut harus menderita karena mendekam di kantor polisi selama kurang lebih 17 jam.
Mulanya pada Kamis sore (28/11), Ayu berangkat ke kampus untuk melaksanakan rapat kepanitiaan di Gedung Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tepatnya di sekretariat himpunannya. Sehabis maghrib, Makassar diliputi hujan cukup deras, ia memutuskan untuk menunggu hujan reda di sekretariat Catatan Kaki.
Tidak berselang lama, terdengar suara kerusuhan berasal dari luar gedung. Ternyata suara tersebut berasal dari sekelompok orang tidak dikenal (OTK) yang melakukan tindakan pengrusakan di gedung FIB.
Ayu tidak melihat secara jelas kejadiannya seperti apa. Namun, ia sempat melihat adanya tindakan vandalisme dan pembakaran fasilitas umum. Sebab, merasa takut dan kondisi tidak aman, ia memilih untuk tetap berada di dalam sekretariat.
Tidak berselang lama setelah insiden kerusuhan, sekumpulan satpam berteriak menyuruh mahasiswa untuk keluar dari Gedung FIB. Awalnya hanya satpam kampus saja, namun tiba-tiba datang segerombolan polisi yang turut memaksa mahasiswa untuk keluar.
“Kami diteriaki untuk keluar, dipaksa berbaris dan digiring untuk ke Rektorat. Di sana kami dimintai keterangan mengenai identitas pribadi dan dilakukan pendataan, sebelum akhirnya dipindahkan ke kantor polisi,” ungkap Ayu via telepon WhatsApp pada Senin (02/12).
Mahasiswa laki-laki diangkut menggunakan mobil polisi, sementara mahasiswa perempuan dibawa dengan mobil pribadi. Sesampainya di kantor polisi, mereka dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Total mahasiswa yang ditangkap sebanyak 21 orang, dengan rincian enam merupakan perempuan dan lima belas lainnya laki-laki.
Ayu dan mahasiswa lainnya pun langsung dipaksa mengeluarkan gawai mereka untuk kemudian disita oleh polisi. Sesudahnya, dilakukan juga pendataan mengenai informasi pribadi korban. Lalu, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu dan cemas atas apa yang terjadi.
Ayu mengungkap, ia dan mahasiswi lain mencoba bernegosiasi dengan polisi agar gawainya bisa dikembalikan, sehingga mereka bisa menghubungi orang tua. Namun, permintaan tersebut ditolak. Selain itu, mereka juga tidak diperkenankan untuk mengetahui jam selama dalam tahanan.
Setelah cukup lama didiamkan, korban satu per satu dipanggil polisi untuk dimintai keterangan mulai sejak pukul 05.00 WITA. Telepon genggam diberikan, tetapi korban dipaksa membuka beberapa aplikasi tanpa surat perintah dari kepolisian.
“Kami dipaksa membuka WhatsApp, galeri dan media sosial, kemudian diperiksa apakah ada hal-hal yang mencurigakan,” ungkapnya.
Baca juga: Merawat Ingatan Mahasiswa atas Kasus Pelanggaran HAM yang Belum Mendapat Keadilan
Polisi juga beberapa kali melontarkan pertanyaan mengenai keterlibatan aksi simbolik dengan kerusuhan yang terjadi. Menurut Ayu, polisi menuduh bahwa kerusuhan merupakan bagian dari aksi simbolik yang diadakan sebelumnya. Meskipun Ayu sudah menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara aksi simbolik dengan kerusuhan, tetapi pihak kepolisian meragukan keterangannya
“Saya memang tahu bahwa sebelum penangkapan ada aksi simbolik untuk merespon kampus yang hanya memberikan sanksi terhadap dosen pelaku kekerasan seksual berupa skorsing saja. Namun, aksi simbolik tersebut hanya diisi kegiatan seperti teatrikal, pembacaan puisi, hingga pameran seni. Pun aksi simbolik sudah berakhir sebelum maghrib,” ujarnya.
Selain itu, tambah Ayu, polisi malah melontarkan pertanyaan tidak relevan, seperti menggali informasi mengenai identitas korban kekerasan seksual. Ayu merasa geram karena pertanyaan tersebut. Ia menegaskan bahwa identitas korban adalah hal yang harus dilindungi.
“Sudah saya bilang bahwa identitas korban itu dilindungi, bahkan saya saja yang turut mengadvokasi tidak mengetahui identitasnya,” jelasnya.
Setelah 17 jam berlalu, mahasiswa akhirnya dibebaskan pada pukul 19.00 WITA. Tidak ada upaya mengembalikan korban ke kampus atau rumah masing-masing, mereka hanya dibiarkan lepas begitu saja.
Seusai insiden tersebut, Ayu mendapat kabar dari teman-temannya kalau pihak kampus mencoba untuk mencari tahu informasi dan kontak orang tuanya. Ia merasa heran, bukannya meminta maaf dan memberikan klarifikasi, pihak kampus malah mencari tahu kontak orang tuanya tanpa ada tujuan yang jelas.
“Saya berharap kampus, terutama Rektor Unhas meminta maaf atas tindakan represifitas yang dialami mahasiswa. Selain iu, Unhas juga harus mendapat teguran bahkan sanksi dari kementerian atas apa yang terjadi pada kami,” tutupnya.
Pengekangan Pers Mahasiswa
Jurnalis pers mahasiswa Unhas, yakni Catatan Kaki juga menjadi korban penangkapan dan kriminalisasi. Berdasarkan terbitan “Tidak Ada Dialektika di Kampus Unhas-sebuah catatan penangkapan jurnalis pers mahasiswa” yang dipublikasikan di laman catatannkaki.org, disebutkan sebanyak lima orang jurnalis Catatan Kaki menjadi korban.
Tidak jauh berbeda dengan yang dialami Ayu, mereka juga dipaksa untuk memperlihatkan isi gawainya ke polisi. Namun lebih buruk, para jurnalis juga mengalami tindakan intimidasi berupa pertanyaan dengan lontaran pertanyaan bernada sinis, diancam dipukul dan ditelanjangi. Korban juga dipaksa menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dihadapan para penyelidik.
Selain itu, ada juga pemaksaan korban penangkapan untuk mengaku sebagai pelaku pengrusakan. Tambah lagi, ada beberapa kali upaya pemaksaan untuk membuka akun Instagram milik Catatan Kaki.
Pun, mereka juga baru mengetahui bahwa terdapat upaya pelaporan pencemaran nama baik terhadap Catatan Kaki oleh pihak kampus. Jurnalis Catatan Kaki dilaporkan oleh Ilham Prawira. Diketahui Ilham Prawira merupakan Staf dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Unhas. Ilham melaporkan Catatan Kaki atas kasus pencemaran nama baik kampus.
Polisi memperlihatkan beberapa judul tulisan Catatan Kaki. Beberapa judul tertera yang dianggap sebagai upaya mencemarkan nama baik kampus, seperti “Eksperimen Penghancuran Tokoh Bangsa”, “Kenaikan Ukt; Melindungi Rektor, Mengintimidasi Mahasiswa”, “11 Mahasiswa dijemput Paksa oleh Kepolisian”, dan masih banyak judul berita lainnya.
Menurut keterangan Dewan Pers Catatan Kaki, Sulaiman, saat ini keadaan lima jurnalis Catatan Kaki sudah aman dan baik-baik saja. Walau begitu, mereka mengalami sedikit trauma. Hal itu menurutnya dipengaruhi juga oleh kemungkinan penyadapan terhadap telepon genggam jurnalis Catatan Kaki yang ditangkap.
“Rasa-rasanya kuliah di Unhas seolah-olah terjun ke medan perang, bukannya mendapatkan ilmu kami malah dapat rasa trauma dan intimidasi,” terangnya via pesan WhatsApp pada Senin (02/12).
Sulaiman juga bercerita, sempat tersiar kabar pihak kampus berusaha mengumpulkan nomor kontak orang tua semua mahasiswa yang sempat ditangkap. Ia juga tidak tahu menahu mengapa pihak kampus melakukan hal tersebut.
“Untuk memastikan keadaan jurnalis dan anggota lain, kami sempat didampingi oleh LBH Makassar. Selain itu, kami sedang berkomunikasi dengan Safenet untuk melindungi keamanan digital para jurnalis dan anggota,” tambahnya.
Baca juga: Lingkaran Setan Partisipasi Politik Perempuan
Sulaiman menilai, kasus di Unhas hanyalah sebagian kecil dari banyak kasus pengekangan mahasiswa oleh kampus. Ia mengecam respons Unhas dan pihak kepolisian, seraya menegaskan pentingnya merebut kembali ruang aman untuk kritik dan bebas dari pelecehan seksual.
Sementara itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Makassar telah mengeluarkan press release. Mereka mengecam segala tindakan yang dilakukan kampus dan pihak kepolisian terhadap mahasiswa dan anggota pers mahasiswa Catatan Kaki.
Lewat postingan Instagram, mereka mendesak Rektor Unhas, yaitu Jamaluddin Jompa mencabut laporan terkait produk jurnalistik Catatan Kaki yang dianggap sebagai pencemaran nama baik di Polrestabes Makassar. Mereka juga mendesak pemecatan terhadap dosen pelaku kekerasan seksual dan mengevaluasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Unhas.
Terkait upaya sewenang-wenang kepolisian terhadap awak media Catatan Kaki, PPMI mendesak Kapolrestabes Makassar untuk menghentikan proses hukum yang berjalan. Termasuk dugaan penyadapan telepon genggam yang terjadi saat pemeriksaan oleh penyidik.
Anggota PPMI Kota Makassar, Kifli, mengaku bahwa dirinya dan tim menunggu langkah dan strategi yang akan dilakukan oleh Caka untuk kedepannya. Sejauh ini, PPMI Makassar masih berkoordinasi perihal bantuan yang bisa diberikan.
“Kami mengecam keras represifitas yang diterima awak media Catatan Kaki. PPMI Makassar merupakan bentuk konektivitas antar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang ada di Makassar. Setiap ada LPM yang mendapatkan intimidasi, intervensi bahkan dilaporkan ke polisi. PPMI akan selalu bersolidaritas,” pungkasnya via pesan WhatsApp pada Selasa (03/12).
Penulis/reporter: Zahra Pramuningtyas
Editor: Andreas Handy