Di 2018 ini Shell Eco-Marathon (SEM) kembali menggelar kompetisi di Asia. Tepatnya, di Changi Exhibition Centre Singapura pada 8—11 Maret. Kompetisi ini memang diadakan setiap tahun di Asia sejak 2010. Para peserta ditantang membuat kendaraan dengan bahan bakar yang paling efisien.

Di tahun ini, ada sekitar 121 tim dari 20 negara di Asia yang turut berpartisipasi di SEM. Salah satunya Tim Batavia Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tim ini berhasil mendapat peringkat ke-5 pada ajang prototype battery-electric dan peringkat ke-8 di UrbanConcept Internal Combustion Engine. Di tahun sebelumnya, tim ini juga berhasil memperoleh peringkat ke-10 pada ajang mobil prototype.

Tak Lepas dari Kendala

Meski beberapa kali membuat UNJ bangga, komunitas ini tak selalu memperoleh kemudahan dalam pendanaan. “Kendala utama kita itu dana,” tutur Okda Muharom dari Tim Batavia.

Maret saat mengikuti SEM, dana yang dikucurkan kampus tak begitu besar. UNJ hanya mengucurkan dana 25 juta rupiah. Dari Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan 15 juta rupiah dan dari Fakultas Teknik (FT) 10 juta rupiah. Beruntungnya, tim ini mendapat bantuan dana sebesar 50 juta rupiah dari Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Dirjen Belmawa) Intan Achmad—yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Harian UNJ.

Selain itu,  mereka juga mengusahakan mencari sponsor ke luar kampus. Akan tetapi, ada beberapa sponsor yang memutus hubungan, seperti Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) dan TDR. Lalu, JNE yang tahun lalu memberi 10 juta rupiah, di tahun ini hanya menyalurkan 3 juta rupiah. Okda mengaku tak tahu alasan pastinya. “Kita kehilangan sponsor banyak mungkin gara-gara kasus plagiariame dan nepotisme di UNJ,” tuturnya.

Iklan

Berdasarkan keterangan Okda, tim ini hanya dapat kucuran dana dari kampus jika ada acara. Jadi, tak ada dana dari kampus untuk riset. “Tim ini suka melakukan riset. Itu (riset) juga pakai dana sendiri,” tambahnya.

Meski pernah menjuarai perlombaan di tingkat nasional dan internasional, Okda merasa UNJ kurang mendukung timnya untuk lebih berprestasi. Dana dari UNJ tak kunjung naik untuk perlombaan.

Okda juga menuturkan bahwa tim ini kekurangan dana untuk ekspor dan impor atau shipping. Oleh karena itu, kendaraan—sekaligus hasil riset—di perlombaan SEM masih ditahan di Singapura.

Selain terkendala dana, tim ini juga memiliki kendala untuk menyimpan peralatan. Selama ini, mereka hanya bisa mengandalkan rumah anggota tim dan kos-kosan untuk menaruh peralatan. Sebab, tak punya sekretariat tetap. Hal ini juga berpengaruh pada kualitas perangkat.

“Kalau mobil disimpan di luar ruangan, nanti bisa rusak. Nanti terkena hujan—panas. Kita harus bikin lagi, ngeluarin uang lagi,” keluh Okda. Menurutnya, jika mereka punya bengkel dan ruangan, ada kemungkinan produk yang mereka buat lebih terjaga.

Catur Setyawan Kusumohadi, selaku dosen pembimbing Tim Batavia,  mengakui bahwa dana merupakan kendala utama. “Membuat satu mobil  saja bisa sekitar 20 juta atau lebih,” katanya.

Menurut Catur, hal yang lebih bermasalah itu biaya ekspor dan impor atau shipping. Ini membutuhkan biaya tiket pengiriman barang dan lainnya sehingga butuh banyak dana. “Beberapa tahun lalu ikut SEM  di Filipina shipping-nya sekitar Rp200juta. Sedangkan, dari Singapura shipping-nya itu sekitar Rp100juta,” ujarnya.

“Kampus memang ngasih dana, tapi tidak meng-cover semuanya,” tutur Catur.  Maka dari itu, tim ini mengusahakan sponsor dan mencari sumbangan, misalnya dari alumni.

Terkait tidak adanya  ruangan untuk tim Batavia, Catur memaklumi. “UNJ ‘kan kurang ruangan,” katanya. Menurutnya, memang sulit jika tim ini menuntut ruangan.

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Sofyan Hanif mengiyakan bahwa UNJ mendanai tim ini sebesar 25 juta rupiah. Ia justru menyarankan pengajuan proposal ke luar kampus demi penambahan dana.

Iklan

Ketika ditanya soal ruangan, ia merasa itu bukan wewenangnya untuk memfasilitasi kegiatan mahasiswa. “Tugas saya hanya mengajak mahasiswa untuk ikut kegiatan kemahasiswaan. Fokus saya itu di pembinaan kemahasiswaan,” pungkasnya.

 

Sisi Komunitas Lain

Keluhan serupa pun dialami komunitas lain, seperti Robotic dan Automatic Racing Team (ART). Ketua Tim Robotic, Ferdy Triyuandika, merasa timnya tidak diprioritaskan. Sejak Januari 2018 mereka mengajukan permohonan dana ke WR III, akan tetapi baru cair di April. Rencananya, dana tersebut akan digunakan untuk Kontes Robot Indonesia pada 12 Mei mendatang. Ia berspekulasi mungkin tim mereka tidak diprioritaskan karena belum tersohor.

“Pak Pras (Staff WR III) bilang, dana itu terpakai untuk acara mawapres,” katanya.Tim ART bahkan menggalang dana melalui usaha atau ngedanus demi mendapat dana untuk riset. “Kita jual baju Teknik Mesin. Jual gelang dan stiker juga,” ujar Yoganantya Setiawidi, ketua Tim ART.

Padahal, di 2013 hingga 2015, tim ini secara berturut-turut menorehkan prestasi pada Event E-Shark di Sentul untuk tingkat nasional. Di event ini, Tim ART mendapat  peringkat ke-3 di 2013, ke-5 di 2014, dan ke-4 di 2015. Akan tetapi, pagu dana tim ini justru turun di tahun ini.

Ketiadaan ruang yang tetap juga menjadi persoalan bagi kedua tim ini. Memang, Tim ART memiliki ruangan. Akan tetapi, hanya sebatas untuk  menaruh barang. Demikian pula Tim Robotic.

“Belum ada tempat yang tetap dan legal. Selama ini, hanya mengandalkan ruang kelas. Nanti (ruangan ini) juga akan dipake buat kelas lagi,” ujar Ferdy. Padahal peralatan tim ini harus terjaga kualitasnya. Terlebih lagi harga tiap komponen robot mahal.

 

Penulis : Luthfia Harizuandi

Editor    : Muhamad Muhtar