Mesin tak boleh berhenti…..

Maka mengalirlah tenaga murah…..

Mbak ayu kakang dari desa……

disedot…..

sampai pucat…. 

Wiji Thukul namanya, penulis dari penggalan bait puisi di atas. Wiji menasbihkan puisinya itu dengan judul “Buruh-Buruh.” Ditulisnya di Solo bulan April tahun 1986. Kata-katanya lugas dan terang memposisikan buruh serta tenaganya yang dihargai murah oleh sang majikan pemilik pabrik. 

Iklan

Wiji hilang. Tepatnya, belum ditemukan hingga hari ini. Sudah barang tentu negara abai. Senapas dengan samarnya nasib sang penyair yang hilang bak ditelan angin, buruh sebagai kelas diperjuangkannya pun mengalami nasib sama. Kesejahteraan tak kunjung datang, tenaganya dihargai murah, jam kerja bertambah, dan semakin dicekik lehernya dengan kenaikan harga bahan pokok.

Jika sudah begini apakah buruh harus tunduk dan menerima nasibnya? Dirasa-rasa tidak. Jangan lupa, Wiji memberikan sebuah memoar pada kita yang sudah sering kali diulang-ulang dalam setiap aksi massa, “Maka hanya ada satu kata: lawan!”

Satu pertanyaan mungkin timbul di antara sebagian pembaca yang notabene adalah mahasiswa. “Apakah kita harus turun ke jalan membersamai kaum buruh?” Jawabannya sudah pasti iya. Bukan tanpa alasan, suatu saat kita pun akan melepas almamater dan menjadi dari bagian kaum buruh. Bahkan dalam definisi paling radikalnya, mahasiswa tak ubahnya seorang buruh yang dieksploitasi di dalam pabrik bernama universitas.

Sekali lagi, May Day datang di pelupuk mata kita semua. Hari di mana buruh turun memenuhi jalan-jalan utama menuntut haknya yang selama ini diabaikan oleh penguasa dan pemilik modal. May Day bukanlah tanggalan merah meliburkan diri, namun merupakan tanggal keramat yang menjadi pengingat bahwa buruh harus dipenuhi hak-haknya sebagai manusia.

Rezim oligarkis hari ini tak ubahnya setan-setan berjas yang menampilkan agenda kesejahteraan kaum buruh dan semua orang. Sendi-sendi penguat eksploitasi buruh kian dikukuhkan dengan hadirnya UU Cipta Kerja. Akibatnya, sektor publik diprivatisasi secara serampangan, kesehatan dan pendidikan sebagai hak seluruh warga negara dikebiri subsidinya hingga tak bisa diakses oleh semua orang. 

Jika tak percaya bagaimana praktik eksploitatif ini berjalan secara brutal, lihatlah data BPS tahun 2023. Data ini menyajikan gambaran kelam rata-rata upah buruh di Indonesia hanya di angka 2,94 juta rupiah. Belum lagi jika bicara jam kerja fleksibel dan semboyan Gen-Z yang memimpikan work-life-balance, nyatanya 25,14 persen buruh masih bekerja lebih dari 49 jam dalam seminggu.

Baca juga: Kotak Kosong untuk Demokrasi 

Satu sisi buruh tersiksa akibat praktik eksploitasi ini. Di sisi lain, penguasa dan pemilik modal kongkalikong memikirkan cara akumulasi kapital semaksimal mungkin. Jangan pernah berpikiran baik terhadap penguasa dan pemilik modal, sebab barang sedikitpun mereka memang tak pernah memikirkan nasib rakyatnya sama sekali.

Lenin di dalam selebaran May Day tahun 1896 sudah menuliskan secara gamblang bagaimana eksploitasi pemodal ke kaum buruh dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Ia menulis, “Majikan kita menekan gaji, memaksa kita untuk bekerja lembur, dan dengan semena-mena mendenda kita. Dalam kata lain, mereka menindas kita dengan segala cara, dan bila kita tidak puas mereka dengan segera memecat kita”.

Sebersit suara nyinyir pasti mempertanyakan tulisan tahun 1896 di atas masih relevan atau tidak dengan kondisi hari ini. Pertanyaan ini cukup dijawab dengan fakta pemecatan 249 tenaga kesehatan di Manggarai, NTT. Mereka dipecat bukan karena berbuat kriminal, melainkan karena menuntut negara untuk membayar upahnya secara layak dan diangkat statusnya menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

Iklan

Syahdan, hal-hal di atas bukanlah kisah-kisah eksploitasi di negeri dongeng antah berantah. Eksploitasi itu nyata terjadi dan negara melegalkannya seolah tanpa ada rasa bersalah. Bukannya menjadi pelindung, negara hari ini hanya jadi kaki tangan pemilik modal saja. Sampai di sini apakah kita masih ingin percaya kehadiran negara sebagai pelindung rakyat?––cukuplah pertanyaan ini dijawab pembaca dalam hati.

Sepertinya sudah cukup jelas apa yang harus kita lakukan dalam momentum May Day kali ini, yaitu turun ke jalan menyuarakan hak kaum buruh dan kita sebagai warga negara. Ingatlah siapapun itu, pekerja pabrik, pekerja ojek online, pekerja lepas, buruh sortir barang, kurir, akademisi, dosen, mahasiswa, pelajar: Selama tidak memiliki kepunyaan alat produksi, kita adalah buruh bukan lainnya. 

Redaksi