Baru kali ini dalam sejarah Pemilihan Raya (Pemira) UNJ, calon ketua BEM UNJ berhadapan dengan kotak kosong. Sejauh lpmdidaktika.com menyusuri arsip tujuh tahun ke belakang, kami tidak menemukan catatan Pemira tingkat universitas yang hanya menghasilkan satu pasangan calon. 

Bila ditelisik lebih lanjut pun kebanyakan Pemira tingkat universitas hanya membuahkan dua pasangan calon saja. Setelah pemilihan selesai, kedua calon tersebut akhirnya berbagi piring dalam kekuasaan, serupa kontestasi politik nasional. Tahun lalu saja calon yang kalah mengisi pos di divisi Sospol dan Dagri. Rekonsiliasi semacam ini normal saja terjadi, dalihnya supaya tidak terdapat perpecahan. 

Tentu logika semacam ini amatlah absurd dalam konteks demokrasi. Pada kenyataannya, demokrasi selalu melahirkan pertentangan dan perselisihan. Jacques Ranciere, seorang filsuf asal Prancis mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah gangguan terhadap tatanan yang ada. Semapan apapun suatu tatanan, ia harus diganggu. 

Ranciere menganggap demokrasi terjadi ketika mereka yang terpinggirkan atau yang salah menurut Ranciere dalam tatanan mulai menyeruakkan dirinya. Bagi Ranciere, stabilitas, harmoni, maupun konsensus tak lebih hanya sihir untuk melanggengkan tatanan yang ada.

Maka bila pijakan demokrasi adalah stabilitas, pijakan tersebut sudah salah sejak awal. Tatanan harus terbuka akan segala gugatan akan perubahan. Sebab demokrasi tanpa pertentangan, selayaknya masakan tanpa garam.

Namun, bila kita menyempitkan makna demokrasi dalam tataran pesta pemilihan raya kampus, tentu demokrasi tanpa pertentangan adalah hal yang wajar. Karena sejak awal desain sistem Pemira memang tidak demokratis.

Iklan

Baik BEM maupun Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) menciptakan sistem di mana Ketua BEM hanya berasal dari kalangan mereka saja. Lewat pemagaran yang begitu tinggi pada persyaratan menjadi Ketua BEM membuat mereka yang bisa mengaksesnya makin terbatas. Sebut saja syarat pelatihan kepemimpinan dan penyerahan ratusan Kartu Rencana Studi (KRS) mahasiswa. 

Persyaratan demikian tinggi memang untuk memuluskan para anggota BEM saja guna naik pangkat. Tanpa menghiraukan mahasiswa dari kalangan lain. Secara sadar maupun tidak, mereka telah mengeksklusifkan diri. Menciptakan pagar antara mahasiswa BEM dengan non-BEM.

Secara langsung mereka menghina mahasiswa, bahwa bila tidak ikut pelatihan mereka Anda tidak layak menjadi pemimpin. Mereka juga menghina nalar mahasiswa lain, menganggap mahasiswa tidak akan bisa memilih pemimpin yang baik, maka dari itu harus saring lewat proses yang begitu berlapis.

Padahal bila tiap Pemira kita selalu dihadapkan pada kotak kosong di tingkat prodi, fakultas bahkan sekarang universitas, hal tersebut seharusnya menjadi refleksi bagi insan di dalam BEM untuk lebih membuka organisasinya secara struktural. Tentu kita jenuh bila Pemira hanya semacam pesta pemilihan tahunan yang dibalut dengan ilusi ‘demokrasi’.

Bila ditilik dari tahun ke tahun, jumlah pemilih Pemira pun amat jarang mencapai 50+1 persen. Kebanyakan berkisar antara 20 – 40 persen saja. Artinya Ketua BEM terpilih tidak memiliki legitimasi atas mayoritas mahasiswa. Namun, bukan membuat sistem yang lebih terbuka, mereka malahan menghilangkan syarat minimal pemilih. Jadi pemilihan akan tetap sah meski hanya dipilih 1 persen mahasiswa.

Mereka mengetahui permasalahan tersebut, namun perubahan hanya dilakukan pada tataran teknis. Sistem yang dijalankan selama lebih dari 10 tahun tersebut bak dogma, bahwa memang sudah seharusnya seperti itu. Mungkin mereka lupa atau tidak paham dalam politik yang demokratis, setiap orang berhak memimpin maupun dipimpin.

Maka dari itu dibutuhkan perubahan radikal pada keseluruhan sistem Pemira. Tidak mungkin menciptakan pemimpin yang baik di dalam proses yang buruk.

Bukan tahun ini saja LPM Didaktika menuntut perubahan sistem Pemira. Setiap tahun sejak pertama sistem tersebut dikenalkan, kami sudah mengkritiknya. Pada 2019 lalu kami menyerukan pemboikotan terhadap Pemira. Tahun-tahun sebelumnya juga seruan boikot kami gaungkan. 

Namun untuk tahun ini, guna mencapai perubahan sistemik, kotak kosong perlu dimenangkan. Pemilihan tidak hanya diulang, jajaran yang berkepentingan harus merubah sistem Permira yang ada, memastikan semua golongan dapat terlibat dalam pemilihan yang demokratis dan partisipatif. 

Redaksi

Iklan