Pemerintah Indonesia akhir-akhir ini menghadapi banyak polemik. Kritik tajam terus bermunculan dan menyeruak tak henti-henti. Mulai dari mahasiswa, pelajar, buruh, tani dan berbagai elemen lainnya mengkritisi Rancangan Undang-undang buatan pemerintah lewat demonstrasi, yang sampai saat ini belum ada tanggapan serius dari pemerintah.
Masalah pembantaian orang-orang Papua juga tak kunjung diselesaikan. Bahkan pemerintah seakan mengabaikan dan terus merepresi para pejuang demokrasi dan pejuang kemanusiaan. Seperti penanganan kasus Papua dengan militerisme, menimbulkan puluhan korban jiwa serta penangangan polisi terhadap demonstran yang mengakibatkan lima korban jiwa. Belum selesai sampai di sana, Eka Kurniawan, sastrawan asal Tasikmalaya, Jawa Barat juga menginterupsi pemerintah dengan menolak Anugerah Kebudayaan 2019.
Rabu, (16/10) saya menemui Eka di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Eka menjadi salah satu pembicara dalam acara Mendesak Tapi Santuy Volume 2 yang bertajuk Tangsel Memanggil, Ngobrol Asik , Musik Apik, Doa Bersama Untuk Korban, dan Nonton Bareng Bersahaja. Acara tersebut merupakan upaya gerakan lanjutan dari aksi Reformasi Dikorupsi. Setelah selesai acara tersebut, saya memutuskan untuk berbincang-bincang lebih banyak dengan Eka. Tak disangka, Eka menyambut hangat ajakan saya. Akhirnya kami berjalan sekitar seratus meter dari kampus UIN dan memutuskan untuk berbincang-bincang di sebuah café.
Hal yang saya tanyakan pertama kali kepada Eka ialah, apakah semangatnya ketika menolak Anugerah Kebudayaan 2019 merupakan semangat yang ditularkan oleh gerakan-gerakan sebelumnya yang sudah mencuat?
Eka tersenyum lebar lalu matanya seakan menerawang ke atas. Ia mengatakan, lebih tepatnya karena ada kegelisahan bersama di situasi yang hampir bersamaan. Eka mengaku sudah dihubungi oleh staff Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tiga bulan lalu. Namun, ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam dirinya, ia belum bisa menerjemahkan itu, ia masih terus menerjemahkan.
Ia melanjutkan, bahwa ia baru pulang dari luar negeri kala itu. Staff Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) memintanya untuk melakukan wawancara untuk membuat profil Eka. Nantinya wawancara tersebut akan ditampilkan dalam acara Anugerah Kebudayaan. “Aku ikutin alurnya dulu, walaupun aku aku ulur-ulur,” ujar Eka. Setelah itu, Eka diminta untuk memberikan nama-nama untuk diberikan lima bangku VIP dalam acara kebudayaan tersebut. Tetapi, Eka mengatakan ia akan hadir sendiri. “Aku gak mau melibatkan orang lain untuk sesuatu yang masih aku pikirkan. Aku tidak ingin mengambil resiko,” pungkasnya sambil sesekali tersenyum hangat dan menatap ke langit-langit café tempat kami berbincang-bincang.
Akan tetapi, tekad Eka sepertinya mulai membulat, tepat empat hari sebelum acara Anugerah Kebudayaan, yaitu tanggal 6 Oktober ia mengirim surat ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam surat itu, ia menyatakan menolak Anugrah Kebudayaan yang akan diberikan kepadanya. Alasan yang ia tulis dalam surat tersebut sama halnya dengan yang ia tulis di halaman Facebook-nya.
Alasan ia memposting di Facebook-nya, karena sampai setelah ia mengirimkan surat penolakan tersebut, Kemendikbud tidak juga membalas ataupun menanggapi suratnya. “Jadi pada Rabu, tepat sehari sebelum acara tersebut, saya memposting itu di facebook. Agar masyarakat tahu, alasan saya menolak dan pemerintah sampai saat ini masih abai terhadap permasalahan kerja-kerja kebudayaan,” tutur Eka sambil meminum jus melon pesanannya.
Hal yang mebuat Eka makin geram lagi ialah sehari setelah ia mengeluarkan kritiknya terhadap Kemendikbud. Kemendikbud, mengeluarkan pernyataan: ‘gaji guru kecil, nikmati saja nanti masuk surga’.
“Itu kan gila, aku jadi mikir, apa pegiat kebudayaan juga dipandang seperti itu oleh pemerintah? Yaudah gapapa, yang penting masuk surga aja,” seru Eka dengan sedikit ada raut marah dari garis wajahnya. Namun, ia masih dengan senyumannya.
Eka juga menceritakan bagaimana tanggapan pemerintah setelah tulisannya viral dan dibagikan oleh ribuan orang. Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid dan salah satu dosen UI, kata Eka mengatakan bahwa ia harusnya berterima kasih dengan pemerintah karena pernah memfasilitasi dan membantu Eka ke Frankfurt Book Fair sehingga buku-bukunya bisa diterbitkan di penerbit luar Negeri. Bagi Eka hal itu lucu, karena bukannya tugas negara adalah mengakomodasi warga negaranya?
Selain itu, faktanya, dua bukunya yang diterbitkan oleh penerbit Verso anak organisasi Jurnal New Left Review, itu kontraknya pada tahun 2012 dan diterbitkan Agustus 2015 sedangkan Frankfurt Book Fair itu Oktober 2015. Bagi Eka itu tidak ada hubungannya dengan Frankfurt Book Fair.
Tetapi, yang paling mengecewakan bagi Eka ialah mengapa poin-poin yang ia ajukan kepada pemerintah sama sekali tak digubris.
Perbincangan kami makin hangat, sedang di luar hujan. Kepada Eka, saya menanyakan mengenai gerakan rakyat yang baru-baru ini mencuat dan bagaimana kerja-kerja kebudayaan dapat berperan menjaga nafas panjang gerakan. Eka mengatakan, narasi-narasi yang dibagun saat ini terpolarisasi menjadi dua, yaitu ultra-nasionalis dan konservatif-religius. Bagi Eka narasi-narasi tersebut datangnya sama-sama dari ‘kanan’.
Selain itu, ia mengatakan di Indonesia sedang dalam kondisi pseudo-liberal. Ia mencontohkan, “kita boleh membuat partai politik apapun, tapi kita tidak boleh membuat partai politik itu (baca : sosialis atau komunis). Kita boleh membaca buku apapun, tapi tidak boleh membaca buku itu (baca : sosialis atau komunis),” katanya. Ia menyarankan agar kita terus melakukan counter gagasan, lewat sosial media misalnya atau hal lainnya. “Ya, kita tahu buzzer itu gila-gila, tapi kita harus tetap melawan dan jangan pernah letih,” ucap Eka.
Sama halnya seperti gerakan ini, terus saja maju dan jangan pernah letih. Eka membaca, jika sudah terjalin koordinasi lintas elemen sebagai maneuver politik, maka mungkin untuk menciptakan suatu partai revolusioner.
Sebelum menutup tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan kata-kata Eka yang terngiang-ngiang dalam pikiran saya setelah berbincang-bincang dengannya. Ia mengutip seorang fisikawan yang mengatakan segala yang bisa terjadi di dunia akan terjadi. Selain itu saya juga masih terbayang senyum hangat Eka yang mau menerima obrolan dari mahasiswi planga-plongo dari Rawamangun.
Penulis/Reporter: Uly Mega S.
Editor: Annisa Nurul H.S.