Pada siang hari, Afif terlihat sedang sibuk berkutat dengan tugas kuliahnya. Ditemani dengan AC yang suhunya sudah diatur sangat rendah, rupanya belum sanggup untuk mengusir hawa panas yang dia rasakan. Afif menggaruk-garuk kepalanya, pusing memikirkan tugas statistika yang diberikan dosennya yang terkenal killer. Tidak lama kemudian dia memutuskan untuk bangun, mematikan AC, merampas handphone dari atas tempat tidurnya, dan pergi keluar rumah.

“Ah, sialan!” serunya gusar seraya melepaskan headset gaming dari kepalanya. Bukannya menjadi salah satu cara penghilang stres, bermain game online ternyata malah memperburuk mood-nya. Tepat saat itu juga handphone miliknya berdering. Afif melirik dengan malas, namun tatapannya seketika berubah menjadi girang setelah membaca nama kontak dari si penelepon ‘Raiq’, sahabat karibnya.

“Ada apa, Iq? Kebetulan sekarang aku lagi di warnet, cepatlah ke sini.” Afif diam sesaat, menanti jawaban dari seberang sana. Sambil sabar menunggu, kedua netranya tidak sengaja melihat jam di papan layar PC yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Buru-buru dia mengemasi barangnya, membayar tagihan kepada pemilik warnet, selepas itu keluar.

“Aku lagi ada di danau, tempat biasa. Kau bisa ke sini?” sahut Raiq dari ujung telepon, menyebabkan Afif berhenti meneguk minuman kaleng soda yang barusan dia dapatkan dari mesin penjual otomatis. Tanpa berpikir lama, Afif segera lari ke arah danau—perasaannya tidak enak.

Sembari berlari, otaknya berusaha memproses apa yang hendak sahabatnya lakukan di danau—tempat yang menyimpan kenangan buruk. Setelah beberapa saat, dia baru ingat hari ini bertepatan dengan hari itu.

Napasnya sudah terengah-engah, namun Afif masih belum menemukan batang hidung Raiq. Bahkan dia sudah mengirim pesan beruntun, tapi diabaikan. Awas saja nanti ku jewer anak itu pas ketemu, batin Afif.

Iklan

Baca juga: Nyai Ontosoroh Sekarang Banyak, tapi Minke Barunya Sedikit

Tidak lama kemudian, yang dicari datang menghampiri si pencari. Raiq berjalan dengan ekspresi sendu yang terpatri di wajahnya. Langkahnya santai—terlampau lamban. Afif menyadarinya, dia sampai tak tega hendak menjewer sahabatnya itu seperti yang sudah direncanakan sebelumnya.

“Abis dari mana kau, hah? Aku sudah memutari danau berkali-kali tahu! Pesan dariku pun tidak kau balas,” raut wajah Afif terlihat kesal. Raiq yang melihat itu malah menjawab dengan tenang, tidak ada perasaan bersalah sama sekali. “Habis dari toilet.”

Afif menganga. Dia mendekati Raiq sembari mengusap wajahnya gusar. “Handphone mu mana?” tanyanya. Si empunya menunjuk ke arah rumput yang tak jauh dari tempat mereka berpijak—tergeletak begitu saja.

“Sudah-sudah, sebenarnya kau suruh aku ke sini untuk apa sih?” yang bertanya sebetulnya sudah tahu, sangat tahu alasan mengapa dirinya diundang di tempat ini. Afif terduduk sila sementara Raiq tetap berdiri di sampingnya.

Suasana hening cukup lama, mereka berdua hanya memperhatikan danau. “Sudah berapa tahun, ya?” Raiq membuka percakapan. Pertanyaan tersebut membuat Afif agak tersentak, namun untungnya dapat dikendalikan. “Hampir tiga tahun.”

Raiq mengangguk. “Tak terasa sudah selama itu. Aku masih hafal sekali omongan dia beberapa tahun lalu.”

Raiq mendongak menghadap langit. “Warna merah itu kata dia adalah rasa panas dari sinar matahari. Merah adalah warna dari luka bakar karena panas, bisa juga perasaan malu, atau bahkan marah,” wajahnya dibiarkan disentuh terpaan sinar matahari sore. “Ya walaupun aku tak langsung paham apa yang dia maksud,” laki-laki itu terkekeh pelan, sedangkan Afif mendengarkan dengan baik.

“Kalau untuk warna biru, dia tiba-tiba memasukkan tanganku ke dalam air. Dia bilang sensasi yang ku rasakan itu adalah warna biru. Kesejukan dan ketenangan terasa amat biru. Entah dia tahu dari mana, tapi kali ini aku mengerti apa yang dia jelaskan.”

“Sementara hijau,” Raiq mengubah posisinya yang sebelumnya berdiri menjadi duduk. Kepalanya menunduk sambil menyentuh rumput di sekitarnya. “Aku disuruh pegang daun yang lembut dan rumput basah. Memang random, tapi entah kenapa waktu itu aku menuruti saja semua perkataannya. Katanya, sensasi yang aku rasakan adalah warna hijau. Dulu dia yang buat aku jatuh cinta dengan warna hijau, karena warna itu merepresentasikan kehidupan, sesuatu yang hidup.”

Iklan

Baca juga: Merawat Kesadaran Rakyat untuk Menolak Geothermal Gunung Gede

Laki-laki berambut hitam dengan kacamatanya tersebut terlihat membuang napas kasar. “Tapi dia juga yang bikin aku benci warna hijau, dia yang semakin lama semakin jauh dari kata hidup. Bukannya membaik, malah pergi untuk selamanya.”

Afif rupanya sejak tadi berusaha menahan air matanya yang memaksa keluar, hidungnya pun sudah memerah. Dia menoleh untuk melihat sahabatnya yang sudah tidak sanggup membendung kesedihan. Raiq menangis dalam diam.

Raiq membuka kacamata untuk mengusap kedua matanya—menghilangkan jejak air mata yang tersisa—dengan cukup kasar. Afif berusaha menenangkan dengan mengusap pelan punggungnya. “Iq—”

Belum tuntas Afif berbicara, Raiq memotong. “Fif, tolong panggil aku apapun selain itu. Rasanya tiap dengar panggilan itu selalu ada suara dia,” wajahnya suram, seperti tubuh yang kehilangan jiwanya.

“Besok peringatan tiga tahun kematian Rinjani dan kau sudah absen dua kali. Aku tak bisa membayangkan seberapa kesal dia kalau untuk tahun ini kamu tidak datang juga. Kau mau kena pukulan mautnya lagi seperti saat SMP dulu?” perkataan Afif membuat Raiq tersenyum.

“Jadi ikut, ya?” lanjut Afif, ajakannya tidak memaksa namun terdengar penuh harapan. Akhirnya yang diharapkan kedatangannya menyanggupi permintaan itu dengan mengangguk perlahan.

Keduanya menghabiskan sore dengan memandang langit senja di pinggir danau, merasakan kehadiran Rinjani di tengah-tengah tempat kosong mereka.

Senja tenggelam bersama kesunyian dan hangatnya memikul asa yang pernah pudar,

Penulis: Safira Irawati