oleh Idris Muhammad*
Senjakala media cetak, begitu beberapa pakar menyebut. Mulai matinya sejumlah koran dan majalah kenamaan di zaman digital saat ini. Mereka kehilangan pembacanya setianya, tapi alasan utama yang membuat media cetak kehilangan darahnya tentulah raibnya uang dari pendapatan iklan yang terus tergerus. Mungkin karena media online atau orang yang kini lebih percaya berita dari medsos.
Nah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sebuah kampus negeri di ibu kota, rupanya juga terjadi fenomena senjakala media. Majalah Didaktika, sebutan koran kampus di kampus tersebut, rupanya sudah tak bisa terbit lagi. Penyebabnya hampir serupa, ketiadaan uang. Tapi bukan karena kehilangan pengiklan sebagaimana koran-koran besar yang gulung tikar. Usut punya usut, dana penerbitan majalah mereka diputus rektorat.
Majalah yang dibagikan ke mahasiswa secara cuma-cuma alias gratis ini memang mengandalkan hidupnya dari dana penerbitan yang rutin tiap tahun. Setiap tahun kampus UNJ mengalokasikan dana yang diambil dari uang kuliah mahasiswa yang masuk PNBP, sebagai dana kegiatan kemahasiswaan, salah satunya untuk penerbitan Majalah Didaktika yang persisnya mau terbit di edisi yang ke-47.
Sesuai namanya, dana kemahasiswaan sendiri dipakai untuk pengembangan bakat minat mahasiswa. Meminjam istilah yang sering diucapkan HRD perusahaan, katanya mahasiswa yang ikut beraktivitas di luar kelas lebih mumpuni ketimbang yang hanya keluar masuk ruang kelas kuliah. Nah Majalah Didaktika ini yang jadi wadah pengembangan diri penghuni kampus di UNJ, untuk yang hobi menulis.
Disebut penghuni, karena menulis di ruang Didaktika bukan terbatas pada anggota pers kampus ini saja. Melainkan juga dosen, mahasiswa, bahkan pengamat dari luar, silakan menulis di Didaktika yang jadi wadahnya. Apalagi kehidupan akademis, tak bisa dipisahkan dari tulis menulis. Wajar pula majalahnya gratis, karena memang untuk mahasiswa.
Kabar buruknya saat ini, yang disebut penghuni kampus ini sudah tak bisa corat-coret di Didaktika. Karena tak ada lagi dana kemahasiswaan yang dialokasikan untuk biaya cetak majalah. Alasan pihak kampus, dana dipakai untuk pembangunan. Logikanya kalau dipikir-pikir alasannya kurang masuk akal. Seuprit ketimbang pengadaan pagar kampus yang mungkin nilainya miliaran di tender LPSE.
Informasi bagi lingkungan akademis itu ibarat sarapan pokok. Mau cari informasi UNJ yang lebih melokal ya baca Didaktika. Tak mungkin mencari informasi peristiwa di UNJ dari media online mainstream. Yang dicari sumber beritanya sesuai selera pembaca kampus pastilah macam Didaktika.
Kalau pengalaman sebagai pembaca Didaktika dulu pas masih mahasiswa, sajian informasi dari pers kampus ini jauh lebih informatif dan berbobot, kertasnya jadi bungkus kacang rebus pun isinya masih enak dibaca, ketimbang newsletter terbitan Humas UNJ yang terbit bulanan yang oleh rektorat disebut Kabar UNJ, biaya cetaknya kalau dari kualitas kertasnya jauh lebih mahal dari Didaktika.
Isinya Kabar UNJ hanya seputar penghargaan-penghargaan rektor atau seremonial. Bedanya, dana penerbitannya tidak dicabut seperti nasib Didaktika yang terbitnya setahun dua kali. Apesnya nasib Didaktika, sudah irit, dananya raib pula.
Kembali ke permasalahan inti, setelah dipingpong soal kejelasan dana penerbitan, kru Didaktika diberi opsi menerbitkan majalah lewat Wakil Rektor III. Tapi syarat dan ketentuan berlaku, pihak kampus meminta beberapa artikel dihapus karena kontennya dianggap tak sesuai. Sempat beralasan tak ada uang penerbitan, kok sekarang tiba-tiba ada dana buat membantu penerbitan? Lagi-lagi alasan yang tak masuk logika.
Setelah ditelisik lagi, ternyata cuma Didaktika saja yang dananya dihilangkan. Beberapa unit kegiatan mahasiswa lainnya, nyatanya masih mendapatkan uang untuk kegiatan di luar dana operasional. Setelah benang kusut ditarik, berbagai alasan disorongkan, tapi agendanya mulai terungkap, meniadakan Majalah Didaktika. Atau tetap bisa terbit, asalkan keredaksiannya sesuai selera rektorat.
Pembredelan dengan memutus dana penerbitan sebenarnya bukan hal baru, banyak pula terjadi di kampus lain. Namun setidaknya, itu membuka mata kita kalau UNJ mulai anti-kritik dengan bertindak represif.
*Penulis merupakan alumni LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta; Reporter di detik.com