Senin (16/09) Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan Demokrasi menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR), dengan tuntutan menolak disahkannya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Massa aksi hadir dari berbagai elemen masyarakat. Ada dari Badan Eksekutif Mahasisiwa (BEM) Universitas Indonesia, mahasiswa Trisakti, mahasiswa Bisnis Nusantara, mahasiswa Universitas Veteran Negeri (UPN) Jakarta, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mahasiswa STH Jentera, Himpunan Mahasiswa Muslim (HMI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Arus Pelangi, Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) , dan Study and Peace (SPACE) UNJ. Berbagai elemen hadir dengan keresahan yang sama, yaitu menolak disahkannya RKUHP.
Riska Charolina selaku Wakil Koordinator Lapangan aksi tolak RKUHP mengatakan, ada kira-kira 700 pasal yang terdapat di RKUHP dan meliputi 17 atau 18 isu yang menurutnya terlalu terburu-buru untuk disahkan. Terlebih lagi menurutnya, DPR sama sekali tidak melibatkan dan mendengarkan aspirasi rakyat dalam perumusan RKUHP. “Kami berdemonstrasi di depan gedung DPR dari siang, mereka malah rapat diam-diam di hotel,” ujarnya.
Selain itu, bagi Riska hal yang paling fatal ketika RKUHP disahkan, terdapat Pasal 219, Pasal 281, Pasal 305, Pasal 262, dan Pasal 354 yang mana pasal tersebut memuat aturan melindungi institusi pemerintah dari apa yang disebut “penghinaan.” Ia melanjutkan, jika itu disahkan, maka kita tidak akan bisa mengkritik presiden, bahkan aksi demonstrasi bisa pukul mundur dengan dalih penghinaan dan bisa dikatakan makar. “Ini sama dengan membunuh demokrasi, Indonesia bergerak mundur lagi seperti pada rezim otoriter Suharto,” ucap salah satu anggota
SGRC tersebut.
Senada dengan Riska, Lini Zurlia Koordinator Aksi mengatakan DPR terlihat membahas RKUHP secara terburu-buru. Sangat terlihat bahwa mereka merumuskan ini memang hanya untuk kepentingan mereka saja. “Pembahasan diam-diam, aspirasi rakyat tidak dipedulikan, bagaimana kita tidak marah dengan DPR,” ucapnya.
Lini juga mengatakan, ia tidak menolak untuk merevisi KUHP, ia juga punya semangat untuk mereformasi KUHP. Tapi untuk merevisi dan menghidupkan kembali pasal-pasal kolonial, itu bukan mereformasi tapi itu membunuh demokrasi menggunakan hukum pidana.
Menghidupkan pasal kolonial yang dimaksud oleh Lini, ialah pasal melindungi institusi pemerintah dari apa yang disebut “penghinaan.” Baginya, RKUHP membunuh kebebasan warga negara untuk berekspresi, beropini, dan berserikat.
Untuk aksi penolakan selanjutnya, yang terpenting bagi Lini ialah meningkatkan kepedulian publik terhadap isu ini. Lini mengatakan, “kita akan terus aksi turun ke jalan sampai tanggal 24 September. Jika tanggal 24 September pada sidang paripurna DPR RKUHP ini disahkan, kita akan terus melawan, DPR akan melihat kemarahan rakyat. ”
Nauval Auliady, salah satu peserta aksi yang juga merupakan mahasiswa UNJ, mengatakan alasan ia hadir dalam aksi ini karena menurutnya RKUHP selain akan membunuh demokrasi, juga akan menyengsarakan rakyat kecil.
Ia mengambil contoh pasal Pasal 432 mengenai setiap orang yang bergelandangan di tempat umum dan menganggu ketertiban umum akan dikenakan denda maksimal satu juta rupiah. Baginya, itu telah mencederai Undang-undang dasar dimana gelandangan kaum miskin harusnya dipelihara oleh negara.
Selain itu banyak sekali pasal yang akan membuat mematikan demokrasi di Indonesia. Bagi Nofal, jika kita tidak menolak sekarang, maka Indonesia akan melihat matinya demokrasi dan menyaksikan kesengsaraan rakyat. “Tidak ada kata lain selain Tolak dan Lawan” ujarnya.
Atas dasar keresahan tersebut, aksi ini menurut :
1. Menghentikan seluruh usaha pengesahan RKUHP, karena masih memuat banyak permasalahan.
2. Meminta pemerintah untuk mengkaji RKUHP dan membaca ulang dengan berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu dengan melibatkan seluruh pihak, lembaga terkait, masyarakat sipil, dan DPR harus mengamati setiap proses tersebut, serta setiap rapat substansi di pemerintahan juga harus dapat diakses oleh publik.
3. Menolak RKUHP yang saat ini dipaksa pengesahannya. Karena itu akan membawa kemunduran demokrasi Indonesia dan berpotensi menginjak-ijak kemanusiaan. Kami kelompok masyarakat sipil, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menyerukan tunda RKUHP, tunda demi semua, hapus pasal ngawur!
Penulis : Uly Mega Septiani
Editor : Faisal Bahri