“Kita sebagai manusia ikan (fishman) ingin berjalan bersama di atas matahari yang sesungguhnya dengan manusia,” ucap Ratu Otohime dari Kerajaan Ryugu, sebuah kerajaan yang terletak 10.000 meter di bawah permukaan laut ini dalam pidatonya. Tentunya baik Otohime maupun Kerajaan Ryugu bukan hal yang nyata, melainkan sebuah bagian dari cerita populer karangan Eiichiro Oda, One Piece.
Impian Otohime untuk menyatukan ras fishman dengan ras manusia mengingatkan pada tokoh Martin Luther King, Jr. yang merupakan aktivis hak asasi manusia Amerika Serikat dari ras Afro-Amerika yang hidup dalam rentang tahun 1929-1968. Ia dalam pidatonya menyatakan impian tentang persatuan masyarakat Amerika Serikat tanpa membeda-bedakan warna kulit. Memang, di Amerika Serikat pada era Luther King isu rasialisme sedang dalam puncaknya. Orang Afro-Amerika yang berkulit hitam dianggap ras rendah dan hina oleh orang Eropa yang berkulit putih, mereka diperlakukan seperti budak.
Reaksi masyarakat terhadap Otohime dan Luther King sama; hal yang sia-sia jika ide untuk menyatukan ras dilakukan. Otohime memandang masih banyak manusia yang baik dan ramah di permukaan laut, bukan seperti anggapan masyarakat fishman pada umumnya. Sementara Luther King juga sama pandangannya dengan Otohime, masih ada ras Eropa yang mempunyai hati nurani dan toleransi terhadap ras Afro-Amerika.
Otohime ingin membuktikan kepada World Government dengan cara menyuruh rakyatnya untuk menandatangani petisi. Petisi tersebut berisi tentang pemindahan Kerajaan Ryugu dan Pulau Fishman ke atas permukaan laut. Petisi tersebut akan dibawa dalam peristiwa Reverie, sebuah pertemuan besar antar kerajaan di bawah naungan World Government, mirip dengan Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) . Usaha penyampaian petisi ini mungkin menjadi tantangan, karena kerajaan lainnya bisa jadi tidak sepaham dengan pemikiran Otohime dan masih menganggap ras fishman lebih rendah daripada ras manusia.
Di sisi lain, Fisher Tiger mempunyai idealisme yang berbeda dengan Otohime. Tiger menginginkan sekat antara manusia dan fishman. Ia membuktikannya ketika menantang Tenryuubito (kaum bangsawan) di Mariejoa dan membebaskan budak-budak yang ada disana. Bukan hanya budak dari ras fishman, Tiger juga membebaskan budak dari ras lain, termasuk manusia.
Kisah Tiger ini membuat masyarakat fishman mengagumi sosoknya sekaligus menambah kebencian mereka kepada manusia. Idealisme Tiger ini diikuti juga oleh bajak laut dari ras fishman seperti Arlong dan Hody Jones, tetapi dengan cara ekstrim mereka memandang semua ras manusia bejat dan sampah sehingga harus dibunuh.
Tiger mengikut idealisme dari seorang tokoh Muslim Afro-Amerika bernama Malik El-Shabazz (Malcolm X) yang hidup dalam rentang tahun 1925-1965. Malcolm adalah tokoh yang menjunjung supremasi ras kulit hitam dan memperjuangkan pemisahan antara ras kulit hitam dan kulit putih. Malcolm juga mengusulkan ras kulit hitam di Amerika Serikat untuk membentuk negara sendiri.
Tiger bukan tanpa alasan menyerang Mariejoa. Ia mengalami perbudakan juga dan penyiksaan manusia terhadap dirinya. Tiger dalam idealismenya juga memendam kebencian yang besar terhadap manusia. Namun, Tiger tidak ingin membalas kekejaman tersebut. Ia tidak ingin disamakan perilakunya dengan manusia yang baginya dianggap bejat dan sampah.
Sama halnya di Indonesia. Belanda membagi sekat sosial dan menempatkan masyarakat pribumi di posisi paling bawah. Bahkan, pribumi dianggap hina dan pribumi menjadi komoditas budak dan kuli rendahan bagi Belanda.
Dari struktur kota Batavia periode pemerintahan kolonial (1800 1900), masyarakat Belanda totok menempatkan diri secara eksklusif di dalam benteng, sementara masyarakat pribumi ditempatkan di luar benteng yang daerahnya kumuh dan tidak layak untuk kesehatan. Hal yang sama juga diterapkan Belanda totok kepada masyarakat lainnya, seperti Indies (masyarakat Hindia atau Belanda campuran), Arab, Cina, dan Mardijker (masyarakat Portugis campuran).
Sama halnya dengan konsep Mariejoa di One Piece, dimana kaum bangsawan ditempatkan eksklusif dan tidak ingin menghirup udara yang sama dengan manusia dan ras lainnya yang dianggap rendah. Kaum bangsawan ini menganggap semua ras dibawahnya pantas untuk diperbudak. Hal inilah yang dianggap Tiger merupakan suatu kebejatan dalam diri manusia, berlainan dengan pandangan Otohime yang menganggap manusia tidak semuanya bejat.
Walaupun politik etis telah diberlakukan oleh Belanda kepada masyarakat pribumi dan diperbolehkannya masyarakat pribumi untuk menyuarakan aspirasinya, tetapi Belanda masih menganggap pribumi sebagai masyarakat yang tidak setara dengan mereka. Dalam politik etis, Belanda menempatkan pendidikan untuk pribumi bukan menjadikannya cerdas secara intelektual, namun menjadikannya sebagai pekerja yang siap dipakai di instansi-instansi Belanda. Pada praksisnya, masyarakat pribumi menggunakan momentum politik etis sebagai perlawanan terhadap Belanda.
Volksraad (Dewan Rakyat) menjadi arena untuk kaum intelektual yang berasal dari kalangan pribumi untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, Belanda tetap merendahkan usaha pribumi dalam menyampaikan aspirasi. Hal ini dibuktikan dengan salah satu anggota Volksraad, Bergmeyer yang menantang Agus Salim mencari makna dari kata ekonomi dalam Bahasa Melayu. Bahasa Melayu masih dianggap rendah bagi sebagian kalangan Belanda. Selain Volksraad, arena lainnya yang dipakai oleh kaum intelektual adalah surat kabar dan mimbar bebas yang dipakai sebagai penumbuh semangat masyarakat pribumi untuk bisa setara dengan masyarakat Belanda.
Saat ini, di Indonesia masih banyak masyarakat yang memandang perbedaan aliran, agama, etnis, dan ras dengan tajam. Misalnya, pada saat pemilihan umum, masih banyak sebagian orang yang tidak ingin menerima pemimpin yang tidak seatribut dengan mereka. Jika ada pemimpin dari agama, aliran, etnis, atau ras yang berbeda dengan mayoritas penduduk di daerah itu, maka akan terjadi protes serta penolakan dari masyarakat mayoritas. Bukan hanya lewat demonstrasi massa, lewat social media segala aspirasi masyarakat mayoritas terhadap pemimpin dari kalangan minoritas ditumpahkan dengan cara negatif, bahkan menjurus ke arah artikel atau berita hoax.
Bukan hanya masyarakat mayoritas yang ikut andil dalam hal rasialisme ini, di Indonesia Pemerintahan Orde Baru juga membangun dinding bernama rasialisme kepada masyarakat tertentu. Masyarakat dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai penyokong aliran Marxisme-Leninisme salah satu contohnya. Orang-orang penganut aliran Marxisme-Leninisme juga dikucilkan oleh Pemerintahan Orde Baru dan dijadikan tahanan politik, termasuk etnis Tionghoa yang benar-benar menganut Marxisme-Leninisme.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa tidak diperbolehkan menunjukkan atributnya seperti agama dan budaya sehingga sebagian besar masyarakatnya rela melepas nama Tionghoa-nya dan menggantinya dengan nama yang lebih Indonesia. Tidak banyak juga masyarakatnya yang pindah haluan ke kepercayaan lain atau ke negara lain.
Puncaknya, pada pertengahan tahun 1998 saat terjadi peristiwa reformasi di Indonesia, etnis Tionghoa menjadi sasaran rasialisme dari masyarakat mayoritas. Pembunuhan, penjarahan, dan pemerkosaan yang dilakukan kepada etnis Tionghoa menjadi pelampiasan masyarakat atas gagalnya pemerintah dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Orang-orang dari etnis Tionghoa dianggap bukan lagi sebagai subjek yang setara, namun menjadi objek pada peristiwa tersebut.
Rantai rasialisme tidak akan berakhir dan masih banyak manusia yang memandang manusia lainnya rendah dan pantas untuk ditindas sampai saat ini hanya karena berbeda. Hal itu hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang kolot dan tidak mau menerima perbedaan.
Muhammad Rizky Suryana