Persyaratan pemilihan mahasiswa berprestasi (pilmapres) UNJ mengacu pada pedoman yang diatur Kemenrisetdikti hanya dominan pada urusan akademik.

Pilmapres merupakan sebuah acara nasional yang rutin dilaksanakan setiap tahun di pelbagai universitas. Dikutip dari pilmapres.risetdikti.go.id, acara pilmapres telah dimulai sejak 1986. Acara tersebut didukung oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisetdikti).

Pemilihan tersebut berlangsung dari Program Studi (Prodi), kemudian mengirimkan perwakilan ke fakultas dan selanjutnya akan diseleksi kembali untuk menjadi perwakilan di universitas. Pilmapres dijadikan ajang untuk bersaing bagi mahasiswa yang dianggap memiliki prestasi, baik di bidang akademik maupun non-akademik.

Dalam proses pemilihannya, terdapat beberapa persyaratan bagi calon mahasiswa berprestasi. Persyaratan tersebut antara lain rekapitulasi Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) per semester, karya tulis ilmiah dalam bahasa Indonesia serta ringkasannya (bukan abstraksi) ditulis dalam bahasa Inggris, dan sepuluh prestasi (akademik maupun non akademik) dilengkapi dengan dokumen sebagai bukti.

Prasetyo Wibowo, selaku staf Wakil Rektor (WR) 3 memberi tanggapan mengenai persyaratan pilmapres. Ia menjelaskan bahwa semua indikator tersebut memang sudah diatur oleh kemenrisetdikti.

Selain IPK, Prasetyo menambahkan bahwa terdapat penilaian untuk kepribadian calon mahasiswa berprestasi. Kepribadian yang dinilai ialah mereka yang mampu untuk menyalurkan prestasinya dan menjadi contoh sebagai mahasiswa yang baik, seperti low profile serta mau membagikan ilmunya ke yang lain.

Iklan

Ayu Wulandari mahasiswi Psikologi 2018, memberikan pendapatnya mengenai persyaratan menjadi mahasiswa berprestasi. Menurutnya, pilmapres terlalu fokus hanya pada bidang akademiknya saja.

Ayu menambahkan, ada kemungkinan mahasiswa yang memiliki prestasi di bidang tertentu tetapi tidak memenuhi standar IPK dari pilmapres. “Harus lebih diperhatikan juga tentang itu jangan cuma fokus di IPK, karena IPK tinggi belum tentu punya skill yang tinggi juga,” ujarnya.

Senada dengan Ayu, Umi Kulsum, mahasiswi Pendidikan Agama Islam 2016 mengatakan bahwa IPK tinggi tidak menjamin kecerdasan yang tinggi pula. ”Dapetin nilai IPK itu kan relatif, mungkin hanya karena dia rajin datang ke kelas atau ngumpulin tugas,”ujarnya.

Berbeda dari pendapat di atas, menurut Bima Dewanto pemenang pilmapres 2019, penilaian pilmapres tidak hanya berkutat pada IPK saja, tetapi setiap indikator persyaratan punya nilainya masing-masing. Bima mengungkapkan bahwa dari setiap persyaratan, IPK memiliki nilai yang paling kecil dibanding persyaratan lain. Selain itu, perihal syarat IPK 3,00 yang harus dimiliki oleh mahasiswa berprestasi, Bima pun menambahkan, “IPK itu kan nilai akademis, untuk IPK 3,00 mahasiswa berprestasi seharusnya bisa mendapatkannya.”

Tita Desyara Wijaya selaku panitia pilmapres 2019 tingkat universitas, membenarkan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa IPK hanya 20% dari penilaian.

Tita mengungkapkan bahwa IPK adalah bukti kuantitatif akademik mahasiswa. Ia pun menambahkan, seseorang mahasiswa berprestasi harus seimbang antara akademik dan non-akademik, “walaupun mereka berprestasi di luar, tetapi harus tetap diseimbangkan dengan nilai akademik yang dibuktikan melalui IPK.”

Ia juga menyebutkan prestasi tersebut mencakup menang perlombaan minimal tingkat wilayah jabodetabek sampai internasional dan memiliki bukti atas itu. Selain itu, Tita juga menyebutkan bahwa aktivitas non akademik seperti berorganisasi, menjadi volunteer, dan mampu berbahasa asing pun masuk penilaian. “Itu termasuk dalam kriteria non akademik,” ujar Tita.

Rakhmat Hidayat, dosen Sosiologi ikut menanggapi mengenai persyaratan pilmapres. Menurutnya, standar pilmapres masih dominan pada urusan akademik. Sementara itu, prestasi non akademik hanya menjadi suplemen pendukung dari akademiknya.

Menurutnya, harus ada revisi pada standar pilmapres, seperti membangun jejaring, punya advokasi, kewirausahaan sosial, dan kemampuan beranalisa untuk permasalahan yang ada.

Selain itu, dosen sosiologi tersebut mengungkapkan bahwa pilmapres hanya menjadi simbol untuk mereka yang menjuarai ajang pilmapres, sebab belum ada kontribusi yang nyata di lingkungan kampus, seperti pengembangan atau ide-ide baru untuk  komunitas. “Pilmapres ini hanya menjadi persyaratan bagi kampus untuk menggugurkan kewajiban bahwa sudah melaksanakan program kemenristek,” tuturnya.

Iklan

Penulis: Tri Sulastri dan Bimo Andrianto

Editor: Faisal Bachri