Presiden Joko Widodo menantang perguruan tinggi untuk membuka program studi baru, di tengah berubahnya pola perindustrian. Sebab, presiden Jokowi menilai, program studi di Indonesia terbilang usang dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Presiden Jokowi mendorong perguruan tinggi agar tidak monoton. Di banyak kesempatan, ketika berpidato mengenai perguruan tinggi  kerap disinggung usulan  pembukaan fakultas dan program studi (prodi) yang sesuai dengan industri besar di Indonesia. Seperti kopi dan kelapa sawit.

Masih dalam semangat menjawab tantangan demikian, Jum’at (02/08/2019). Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melaksanakan sosialisasi terkait pembukaan prodi baru di kantor Kemenristekdikti, Jakarta Pusat.

Sosialisasi tersebut berisi pemaparan mekanisme percepatan perizinan pembukaan prodi baru. Hal itu dilakukan agar perguruan tinggi mendapatkan kemudahan akses untuk berkreasi dan membuka prodi-prodi baru sesuai tuntutan zaman.

Dijelaskan oleh Mohammad Nasir, bahwa mekanisme izin pembukaan prodi baru akan terbit kurang dari 15 hari. Prosesnya, melalui kelembagaan, izin maksimum 5 hari. Lalu, ditinjau dalam Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) sekitar 5 hari. Selanjutnya, proses pembuatan Surat Keputusan (SK) sekitar 3 hari. “Dulu, untuk pengusulan prodi perlu menunggu sampai 4 tahun, sekarang bisa kapan saja,” jelasnya.

Untuk pengusulan pembukaan prodi baru pun, kini perguruan tinggi tidak perlu lagi datang ke Jakarta, sebab cukup melalui daring. Meski begitu, Nasir menjanjikan kualitas tetap perlu dijaga. Sehingga, dibuat rancangan teknis agar efektif.

Iklan

Pertama, relaksasi aturan dengan mengurangi syarat lama yang mengharuskan minimal enam dosen tetap. Sekarang cukup lima. Dengan komposisi minimal tiga dosen tetap dan dua sisanya boleh dengan dosen pinjaman.

Kedua, melaksanakan percepatan proses evaluasi. Evalusi untuk aspek dosen dan nondosen. Maka, dilakukan penambahan evaluator dan pelatihan kelembagaan evaluator lama dan baru. Sementara, untuk aspek non dosen akan diserahkan pada LLDikti.

Ketiga, peningkatan digital. Dengan melakukan upgrading sistem informasi. Di antaranya, penambahan fitur baru, notifikasi-notifikasi dan penambahan digital signature.

“Untuk itu, dikembangkan tanda tangan digital. Supaya tidak ada yang namanya pemalsuan tanda tangan,” terangnya.

Terkait pembaruan prodi baru, diakui Nasir, sudah dilakukan penyesuaian tertentu. Menurutnya, ada beberapa prodi yang meskipun menggunakan nama lama, namun masih relevan dengan zaman ini.

Beberapa program studi lain, dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. Selain itu, ada pula nama prodi yang perlu dilebur karena memiliki kesamaan. “Contohnya sistem komputer dan ilmu komputer,” katanya.

Di sisi lain, beberapa prodi bahkan perlu dimoratorium karena sudah terlalu banyak. Seperti prodi-prodi pendidikan dan sosial. Untuk prodi keperawatan, dilakukan pula moratorium, namun tidak berlaku pada semua daerah. Sebab, beberapa daerah masih membutuhkan banyak tenaga keperawatan.

Di luar dorongan penggalakkan pembukaan prodi baru. Sebetulnya perguruan tinggi sudah menerapkan paradigma menyesuaikan jurusan kuliah dengan kebutuhan dunia industri. Hal itu, dapat dilihat di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ketika prodi Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial (FIS), dibuka pada 2017.

Menurut Muhammad Zid, dekan FIS, pembukaan prodi tersebut karena masih dibutuhkan oleh industri di zaman ini. Sehingga, dibukalah prodi yang direncanakan sejak tahun 2015 tersebut. Dengan SK Kemenristekdikti nomor 355/KPT/1/2017.  

Permasalahan Belum Tersentuh

Iklan

Perguruan Tinggi, di sisi lain, masih dilingkupi dengan sekelumit tantangan yang ada. Salah satunya angka pengangguran yang terus meningkat di tataran lulusan perguruan tinggi. Mengutip publikasi katadata.id, angka pengangguran meningkat 25 persen untuk program sarjana dan 8,5 persen untuk program diploma, sejak Februari 2017 hingga Februari 2019.

Namun, izin percepatan pembukaan prodi pun perlu diperhatikan efektifitasnya. Sebab jika melihat rata-rata penyebab meningkatnya pengangguran tersebut, hal yang melatarinya adalah lapangan kerja yang terbatas. Selain itu, ada dua penyebab lain seperti ekspektasi penghasilan dan status lebih tinggi. Juga keterampilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Sesuai dengan hal itu, Satriyo Wibowo, Strategic Planner Berakar Komunikasi, mengungkap bahwa lulusan Perguruan Tinggi tidak cukup memenuhi kualifikasi pekerjaan. “Berapa orang yang bisa presentasi? Atau ditambah, yang bisa presentasi bahasa inggris. Itu aja belum terpenuhi,” tuturnya.

Diakuinya, dalam industri kreatif yang sedang tren hari ini, latar belakang pendidikan memang diperlukan. Karena dalam industri kreatif yang ruang lingkup organisasinya relatif kecil, atasan perlu mengenal setiap karyawanya lebih dekat. Paling mudah melalui latar belakang pendidikannya. Sehingga mudah untuk memetakan di mana karyawan tersebut efektif untuk dipekerjakan. Namun, tambahnya lagi, kenyataan bahwa lulusan Perguruan Tinggi kebanyakan tidak memenuhi kualifikasi, membuat kecenderungan industri kreatif lebih memilih orang yang sudah dikenal. “Kalau anaknya tidak bisa kerja, ya mau ngapain? Yang penting kan, bisa kerja apa? Kami biasa rekrut teman dari teman. Administrasi dicuekin,” ucap praktisi agensi periklanan tersebut.

Penulis/Reporter: Muhamad Muhtar

Editor: Annisa Nurul