Pada 12—13 Juli 2018, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memberi kesempatan pada mahasiswa jalur SBMPTN untuk menyanggah hasil penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dua hari sebelumnya, 10 Juli. Mula-mula, mahasiswa bersama walinya registrasi di Aula Maftuchah untuk dapat nomor antrian. Jika sudah dapat giliran, datang ke Aula Latief untuk klarifikasi UKT. Ada sekitar 20 verifikator yang siap mengklarifikasi UKT. Para verifikator ini merupakan perwakilan dari setiap fakultas.

Menurut Penanggung Jawab Verifikasi Agung, berkas untuk klarifikasi sama dengan ketika pengisian data UKT secara online. Ada pun berkas yang harus dibawa di antaranya: slip gaji Ayah dan slip gaji Ibu, keterangan penghasilan Ayah dan Ibu dari RT/RW (jika Ayah dan/atau Ibu adalah wiraswasta), fotokopi Kartu Keluarga (KK), tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terbaru (jika rumah milik sendiri atau milik bersama keluarga lain), tagihan listrik 3 bulan terakhir, dan fotokopi STNK kendaraan (jika ada).

Selama dua hari itu, ada sekitar 250 mahasiswa yang berupaya menyanggah. Satu di antaranya yakni Fauzi Ma’arif, calon mahasiswa baru Program Studi (Prodi) Pendidikan Seni Rupa 2018.

Sang Ayah, Yatna, merasa UKT Fauzi memberatkan yakni Rp4,5 juta—golongan III. Pendapatannya sebagai supir freelancer dan pedagang soto tidak pasti. “Setiap bulan, ya, paling rata-rata dapat Rp3 juta,” tutur Yatna.  Ia juga mengaku ada lima kepala yang harus ditanggung di rumah. Oleh karenanya, ia berharap agar UKT-nya diturunkan ke golongan I atau II.

Akan tetapi, upaya Fauzi dan ayahnya ini sia-sia: UKT Fauzi tidak bisa turun. Yatna mengaku mau tak mau harus menerima hasil klarifikasi. Ketika bertatap muka, Yatna bercerita, sang verifikator berkata bahwa UKT golongan I dan II hanya untuk mahasiswa yatim piatu. “Saya enggak mau ambil jatah untuk yatim piatu. Akhirnya, pasrah dapat Rp4,5 juta,” tambahnya.

Padahal di Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 12 Tahun 2012 dan No. 39 Tahun 2016 dituliskan bahwa biaya yang ditanggung oleh mahasiswa harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Akan tetapi, di peraturan ini tidak dijelaskan secara khusus bahwa penetapan UKT golongan I dan II hanya untuk yatim piatu.

Iklan

Masalah yang hampir serupa juga terjadi pada Alifia Amel, calon mahasiswa baru Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia 2018. Ia mendapat UKT golongan VIII Rp6,7 juta. Bersama ibunya, ia berupaya menyanggah agar UKT-nya bisa diturunkan. Ia merasa keberatan dengan UKT-nya. Terlebih lagi, hanya ibunya yang membiayai kuliah.

Meski di rumah hanya berdua (dengan Alifia), saya juga ada banyak tanggungan. Ada saudara lain yang harus dibiayai juga,” tutur Sang Ibu.

Alifia berasumsi bahwa ia melakukan kesalahan ketika meng-input data. “Saya masukin data pendapatan orang tua ketika ibu saya sedang lembur. Makanya, UKT-nya jadi gede,” aku anak tunggal ini. Setelah melakukan klarifikasi, UKT Alifia hanya turun menjadi Rp6,4 juta. Ia dan ibunya hanya bisa pasrah.

Menurut keterangan Wakil Rektor II Komarrudin, penetapan UKT berdasarkan data yang di-input ketika melakukan pengisian data UKT di 4—9 Juli.  “Itu dipertimbangkan atas dasar pendapatan, kepemilikan rumah, kepemilikan kendaraan, dan tagihan listrik,” tutur Komar.

Setelah input data, calon mahasiswa diminta menunggu hasil pengumuman UKT. Pihak UNJ, melalui system verifikasi online, yang memutuskan golongan UKT mana yang mesti ditanggung mahasiswa.

Komarrudin juga menegaskan bahwa golongan UKT I dan II untuk mereka yang kemampuan ekonominya sangat lemah. Jadi, bukan dikhususkan untuk yatim piatu. “Besaran UKT itu otomatis ditentukan oleh sistem ketika mengunggah berkas secara online. Itu kan berdasarkan data,” tambahnya. /Lutfia Harizuandini