Dari Bank Sampah hingga Komunitas Mangrove, mereka yang peduli lingkungan dari Muara Angke
Minggu (28/11/2021) reporter Didaktika mengunjungi Gedung Sangkrini, yang terletak di Muara Angke, Pluit, Kecamatan Penjaringan. Gedung yang berfungsi sebagai balai warga ini digunakan oleh berbagai komunitas, termasuk komunitas lingkungan, seperti Komunitas Bank Sampah dan Komunitas Mangrove Muara Angke.
Mansur sebagai ketua Komunitas Bank Sampah menuturkan dirinya mempunyai keresahan terhadap kondisi lingkungan di Muara Angke sendiri. Mansur dan komunitasnya memiliki komitmen terhadap lingkungan, walaupun terdapat halangan dari masyarakatnya sendiri.
Komunitas Bank Sampah juga sering melakukan sosialisasi yang bisa dihadiri oleh 20-30 orang. Walaupun memang ada masyarakat yang masih tidak peduli dengan sosialisasi mereka bahkan menentangnya.
“Kadang ada orang yang bisa diajak ‘bener’ soal sampah, ada juga yang ngerasa lebih ‘pinter’ dari kita,” ujarnya.
Komunitasnya sendiri sudah memiliki 13 titik bank sampah di sepanjang Muara Angke meskipun karena pandemi hanya sekitar 5 bank sampah yang aktif. Dengan kurang lebih 50 orang relawan, beserta 485 nasabah.
“Sistemnya dari nasabah, terkumpul di bank lalu kita kirimkan ke pusat. Setelah itu diolah, baru dikirim ke industri,” ujar Mansur.
Olahannya dicacah menjadi plastik-plastik kecil, sehingga dapat didaur ulang menjadi produk-produk rumah tangga. Seperti tempat makan, tempat minum dan lainnya. Dalam kurun waktu satu bulan, Komunitas Bank Sampah dapat mengumpulkan sekitar 10 ton sampah. Nasabahnya pun dapat menarik dana setiap 3 sampai 6 bulan sekali.
“Kita juga sering melakukan sosialisasi, beberapa wilayah sudah mulai terlihat perubahan perilakunya,” katanya.
Harapan Mansur dan komunitasnya adalah menyadarkan dan mendidik masyarakat Muara Angke perihal sampah dan kebersihan lingkungan di wilayahnya.
Lain Mansur, lain juga Said sebagai ketua dari Komunitas Mangrove Muara Angke (KOMMA), bergerak dibidang budidaya mangrove di wilayah Muara Angke yang memiliki keresahan atas hilangnya pohon-pohon mangrove di wilayah pesisir Angke.
Komunitas yang sudah berdiri sejak 2008 itu, mulai melakukan penanaman pohon mangrove pada 2010, ketika mereka mendapat akses penggunaan lahan di wilayah pesisir Angke.
“Sampai hari ini, kita sudah berhasil menanam di lahan seluas 2 hektare dengan jenis pohon api-api, pidada dan bakau,” ujarnya.
Berawal dari keresahan bersama tentang berkurangnya mangrove di wilayah pesisir Muara Angke. Dirinya beserta pemuda sekitar akhirnya mencetuskan ide untuk menanam kembali mangrove-mangrove di sekitaran pesisir Muara Angke.
“Ya, berawal dari perhatian terhadap lingkungan dan keresahan. Kita juga mau menghindari abrasi,” ucap Said.
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pembangunan Besar-besaran, Hutan Makin Terancam
Selain melakukan penanaman dan perawatan mangrove, komunitasnya juga melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat setempat. Termasuk anak-anak Sekolah Dasar yang diajak dalam penanaman dan perawatan mangrove. Kiranya penting bagi Said mengedukasi anak-anak tentang pentingnya Mangrove.
Mereka juga mempunyai berbagai kerajinan makanan dari buah pidada, termasuk dodol, sirup dan selai. Juga ada tempat yang dijadikan tambak ikan di sekitar akar-akar mangrove. Rencana kedepannya pun akan ada kerajinan tangan berupa batik yang diolah dari mangrove sendiri.
Meskipun dirinya juga mengatakan sangat terkendala perihal sampah. Apalagi daerah penanaman komunitasnya merupakan kawasan muara sungai, yang sering sekali terjadinya penumpukan sampah.
“Mangrove tidak bisa hidup jika akarnya tertutup sampah, ini juga yang jadi kendala kita dulu karena banyaknya sampah,” ujarnya.
Komunitasnya sudah memiliki sekitar 30 relawan dengan berbagai ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang membantu saat membuat kerajinan atau hidangan dari hasil mangrove.
Harapan kedepannya, hutan mangrove tersebut dapat menjadi kawasan wisata yang dapat memajukan wilayah Angke sendiri.
Penulis: Izam Komarruzaman
Editor: Sonia Renata