Jika membayangkan ibu-ibu, barangkali kita akan membayangkan entitas yang memberikan sein kanan saat belok kiri. Ataupun manusia yang menggunakan baju Gucci berjoget di jembatan suramadu. Jika tidak, barangkali adalah video pemuda yang mengejar ibu-ibu di malam hari, sayangnya ibu-ibu itu menghilang di antara kegelapan dan pemuda berlari ketakutan.

Namun di masa depan, ibu-ibu akan dikenal sebagai Bu Tejo yang sepanjang jalan bergossip sambil berdiri tegak. Bu Tejo hanya berhenti bergosip ketika kebelet pipis atau dihadapkan dengan aparat represif negara (polisi lalu lintas yang nilang). Wujud Bu Tejo yang demikianlah akan menjadi representasi entitas ibu-ibu di masa depan. Hal ini sedikit banyak diakomodir oleh masyarakat dengan membuat artefak kebudayaan, berupa meme  yang menampilkan wajah ekspresif Bu Tejo.

Membahas Bu Tejo berarti membahas Tilik. Film beberapa waktu lalu muncul di Youtube. ‘’Tilik’’ sendiri menceritakan mengenai perjalanan ibu-ibu kampung untuk menuju rumah sakit demi menjenguk Bu Lurah yang dirawat. Selama perjalanan para ibu ini mengadakan diskusi sosio-kultural dan politik kampung mereka. Dengan kata lain, mereka bergosip sambil berdiri tegak.

Tidak seperti full feature film yang berdurasi lebih dari 40 menit, film pendek cenderung menaruh fokus pada cerita atau narasi sebagai penekanan tunggal. Sehingga establishing shot yang berpotensi menangkap keindahan alam selama perjalanan cenderung digantikan oleh penampakan para karakter, barisan ibu-ibu di atas punggung truk.  

Fokus kamera yang demikian harus dibahas karena merupakan upaya sutradara untuk membingkai narasi. Dengan kata lain, pemilihan fokus kamera adalah upaya sutradara untuk berdiskusi dengan penonton. Selama durasi film, fokus kamera terpusat pada sosok Bu Tejo. Sesekali menunjukan antagonisme antara Bu Tejo dengan Bu Yu Ning. Atau wajah para ibu yang terlibat konspirasi di atas truk itu.  Sehingga dapat dikatakan bahwa sutradara memberikan representasi ekslusif terhadap fenomena gosip.  

Setidaknya itulah yang tulisan ini coba untuk bahas, Gosip. Jika mengabaikan gejala sosial lainnya yang mungkin dibahas oleh penulis lain. Seperti ketimpangan pengetahuan ibu-ibu pelaku gossip dengan penonton yang tersinggung dengan ketajaman kata-kata Bu Tejo, konsekuensi modernitas berupa internet ke masyarakat desa, dan lain-lain.  

Iklan

Pembenaran untuk terus bergosip

Sejatinya gosip merupakan praktik harian yang dilakukan oleh semua orang tanpa memandang batasan kelas, gender, atau identitas lainnya. Artinya gosip telah diamalkan oleh bapak-bapak pekerja pabrik yang mendiskusikan manajemen jahat, ibu-ibu pasar yang mendiskusikan anak-anak mereka, pelajar di sekolah yang mencerca guru-guru mereka, sampai rapat tersembunyi pejabat merencakan korupsi selanjutnya. Meskipun begitu, gossip, pada umumnya, diatributkan pada perempuan.

Tidak sekedar itu, istilah gosip memiliki konotasi buruk. Seperti Bu Tejo yang cuap-cuap di depan layar mengumbar beragam benci. Sebagai penonton, kita di dihadapkan pada posisi yang berpotensi untuk kesal dengan Bu Tejo. Apalagi sepanjang durasi film kita hanya secuil mendapatkan informasi mengenai Dian, yang jadi bahan gosip Bu Tejo. Serta adegan resistensi dari Bu Yu Ning.

Konotasi buruk mengenai gosip ini sejatinya memiliki sebab musabab. Tidak muncul dari ruang hampa, seperti segala sesuatu hal. Silvia Federici, feminis Italia, menyebutkan bahwa gosip justru adalah wujud dari solidaritas sesama perempuan. Gossip sendiri merupakan istilah inggris kuno, yakni God yang berarti tuhan dan Sibb yang berarti keluarga atau persahabatan.

Istilah tersebut (gossip) digunakan dengan makna lebih luas. Pada masyarakat modern awal Inggris, istilah gossip merujuk pada orang yang menemani persalinan dan tidak terbatas pada bidan. Istilah ini juga merujuk pada teman perempuan, tanpa konotasi negatif. Dalam kasus tersebut, istilah ini memiliki konotasi emosial yang kuat. (Federici, 2018)

Akan tetapi, pada perkembangan masyarakat, khususnya saat kemunculan kelas borjuasi baru dan kapitalisme, gosip baru mendapatkan konotasi buruk. Hal ini merupakan salah satu upaya control terhadap gender perempuan, yang menurut Federici merupakan salah satu pra-syarat perkembangan kapitalisme. Bentuk kontrol lebih kejam, menurut Federici, terlaksana dalam bentuk tuduhan penyihir yang menguras banyak nyawa perempuan. Namun asumsi  Federici, tentu saja, tidak bersifat universal. Proses perkembangan masyarakat tempat kelahirannya, Italia, tentu berbeda dengan Indonesia.

Jikalau mengharapkan konsep yang cenderung lebih universal perihal gossip, maka jawabnya ialah sejarah perkembangan manusia. Jejak evolusi manusia berupa hasrat bertahan hidup tersisa dalam manusia, salah satunya, sebagai gossip.

Robin Dunbar, antropolog asal inggris, menyebutkan bahwa manusia memiliki kesadaran sosial yang amat rumit. Hal ini serupa dengan kesadaran yang terdapat dalam seekor kera. Dalam perkembangan makhluk hidup, suatu kelompok harus memiliki jumlah yang lebih besar agar dapat mempertahankan diri dari pemangsa. Namun, sebagai bagian dari kelompok, individu justru harus menghadapi persaingan dari kelompoknya sendiri. Dengan kata lain, ada persaingan luar kelompok dan persaingan dalam kelompok. Bagi manusia, bahasa berfungsi dengan baik karena membuka akses terhadap interaksi lebih luas dalam kelompok (Dunbar R. I., 1993)

Sebagai konsekuensi dari hidup dalam kelompok, individu harus terikat pada kontrak sosial. Kemudian, percakapan sejenis gossip muncul dari sini.  (Dunbar R. I., Gossip in Evolutionary Perspective, 2004). Gossip adalah perwujudan dari persaingan tersebut.

Konsekuensi kegagalan hasrat tersebut adalah kecemburuan sosial, lahan yang sempurna bagi berbagai gibah dan gosip untuk berkembang. Selain itu, ketakutan juga merupakan manifestasi dari persaingan tersebut. Maryam Jameelah, dalam resensi film Tilik, memetakan mekanisme pertahanan tubuh yang berupa proyeksi terhadap objek di luar dirinya. Dia menuliskan bahwa ketakutan Bu Tejo perihal suaminya dengan mudah diproyeksikan menjadi hantu gadis muda yang ganjen ke banyak suami.  

Iklan

Akan tetapi, sejatinya di bawah itu semua adalah dinamika kekuatan dalam struktur. Seorang individu dihadapkan pada kebutuhan untuk bertahan hidup sehingga ia harus berlomba demi mendapatkan akses terhadap sumber daya. Gosip dapat berfungsi sebagai metode kontestasi kekuatan. Obrolan-obrolan off-the-record yang mengandung informasi yang berguna.

Pada akhirnya, keberadaan gosip adalah salah satu upaya untuk bertahan hidup. Bahkan dalam jangka panjang adalah upaya manusia guna mempertahankan kekayaan.

Sehingga jika ada yang melarang gosip, maka dia bertanggung jawab menciptakan akses terhadap sumber daya lebih mudah. Atau biarkan saja dia melarang sesuka hati.

Referensi

Dunbar, R. I. (1993). Coevolution of Neocortical. Behavioral and Brain Sciences, 16, 681–735, 681–735.

Dunbar, R. I. (1996). Grooming, Cambridge, MA: Harvard.

Dunbar, R. I. (2004). Gossip in Evolutionary Perspective. Review of General Psychology Vol. 8, No. 2, 100–110.

Federici, S. (2018). Witches, Witch-Hunting, and Women. Common Notions/Autonomedia/PM Press.

*Judul tulisan telah diperbaiki. Sebelumnya ada kesalahan dalam penulisan tata bahasa pada judul.

=====

Penulis: Faisal Bahri

Editor: Uly Mega