Pada tahun 1693, kaum pejabat Belanda menjadi pelopor pembangunan gereja Protestan pertama di Indonesia. Pembangunan gereja berlangsung di Batavia (sekarang Jakarta) dalam kurun waktu 2 tahun. Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn membuka secara resmi tempat ibadah ini pada tahun 1695 dan diberi nama “Gereja Sion”.
Gereja Sion dikenal juga dengan nama Gereja Portugeesche Buitenkerk yang berarti gereja luar Portugis. Maksud dari gereja luar Portugis adalah lokasi Gereja Sion tidak berada di wilayah area orang Portugis, yaitu wilayah dalam tembok Batavia. Gereja Sion berada di bagian luar tembok Batavia yang didiami oleh masyarakat kelas bawah saat diburu oleh kaum elit Portugis.
Perburuan kaum kelas bawah menyebabkan mereka tidak bisa memasuki wilayah dalam tembok Batavia. Para kaum kelas bawah pergi ke luar tembok Batavia untuk mencari perlindungan. Melihat kesempatan ini, para pejabat Belanda menggaet pendeta untuk bekerja sama memberi kebebasan kepada kaum kelas bawah dengan syarat, yaitu mereka harus menganut Agama Protestan dan melakukan ibadah atau pembelajaran agama (katekisasi) di Gereja Sion.
“Pada waktu itu, orang dimerdekakan karena yang bersangkutan setuju untuk masuk ke Agama Protestan dan belajar katekisasi atau pendidikan agama,” ucap salah satu pemerhati Gereja Sion, Nayoan.
Pembangunan Gereja Sion menggunakan kayu gelondongan yang menancap kuat. Pemilihan bahan dasar gereja dipengaruhi oleh lokasi gereja yang berada di dekat laut. Kayu gelondongan memiliki kelebihan untuk menahan bangunan gereja dari terkena erosi laut. Selain itu, lantai gereja terbuat dari bahan dasar batu alam yang kuat dan tidak mudah goyah.
Pada tembok bagian depan Gereja Sion terdapat sebuah lonceng yang berusia 20 tahun lebih tua dari gereja. Lonceng yang terbuat dari besi tuang ini memiliki ukiran bertuliskan ‘Godt Allein De Eere’ yang berartikan kemuliaan untuk Tuhan. Masyarakat sekitar akan berkumpul dan melakukan ibadah atau katekisasi apabila suara lonceng terdengar. Lonceng juga dibunyikan saat hari kebaktian.
Benda-benda yang berada di dalam gereja juga memiliki sejarah yang menarik. Untuk mimbar gereja sendiri, para pendiri gereja meminta orang asal Jepara untuk membuatkannya. Cara pembuatan mimbar dilakukan dengan cara menempelkan dan menambal kayu hingga bentuknya terlihat seperti cawan perjamuan. Bentuk tersebut sebagai pengingat mengenai Yesus yang memberikan cawan perjamuan terhadap murid-muridnya. Pada bagian bawah mimbar, terdapat gambar 8 malaikat Tuhan yang memiliki makna bahwa individu yang akan membacakan firman Tuhan akan dijaga oleh malaikat-malaikat Tuhan.
“Mimbar ditutupi oleh kanopi (atap) yang diberikan oleh Gereja Kuba setelah dibongkar pada tahun 1800-an,” cerita Nayoan.
Terdapat meja berisi peralatan untuk proses baptis dan teko cangkir untuk perjamuan pada bagian depan mimbar. Meja tersebut ditutupi oleh kain berlambang tahun gereja.
Kain yang berada di Gereja Sion memiliki 5 warna yang disesuaikan dengan makna dan suasana ibadah gereja yang diselenggarakan serta hari besar yang akan datang. Warna-warna tersebut adalah putih, merah, ungu, hijau, dan hitam.
“Warna kain berbeda sesuai dengan perayaan yang akan datang. Untuk saat ini, kain berwarna ungu karena hari paskah akan segera datang,” ungkap salah satu pengurus Gereja Sion lainnya, Rolly Tumanung.
Pada dinding-dinding gereja terdapat beberapa plakat yang berisi bahasa dutch dan lambang keluarga kaum terpandang pendiri gereja. Lalu di bagian bawahnya, terdapat tiga susun kursi pemberian Tentara Belanda, Johannes Cole, yang digunakan oleh pejabat-pejabat gereja yang tidak mendampingi pendeta saat khotbah. Sementara untuk pejabat-pejabat gereja yang mendampingi pendeta khotbah dapat duduk di 2 kursi yang berada di samping mimbar.
Pada tahun 1697, Gereja Sion membuat 4 buah lampu gantung atau kadela bra untuk penerangan gereja. Kadela bra terbuat dari logam kuningan dan terdiri dari 16 buah tangkai. Masing-masing berhiaskan tiga buah lempengan perisai dengan lambang kota Batavia.
Para pejabat gereja dahulu sering berkumpul dan berdiskusi mengenai Gereja Sion atau negara. Para pejabat gereja memfasilitasi hal tersebut dengan menaruh sebuah meja persekutuan yang terdapat di bagian depan kanan Gereja Sion. Meja persekutuan memiliki 8 buah kursi kecil dan 1 buah kursi besar dengan bahan dasar kayu jati. Untuk pejabat atau pendeta gereja yang memimpin jalannya diskusi bisa mendudukkan dirinya di kursi besar.
“Terdapat kursi besar yang diukir dengan malaikat dan Alkitab terbuka di bagian atas sehingga siapapun yang duduk harus memutuskan sesuatu berdasarkan Alkitab,” jelas Nayoan.
Gereja Sion menjalin hubungan yang baik dengan banyak pihak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian banyak hadiah untuk gereja ini, salah satunya dari seorang putri Pendeta Yosemore yang memberikan organ musik. Organ musik ditempatkan dan dimainkan dari bagian belakang gereja.
Pendeta Gereja Sion berada di bawah kuasa pemerintah. Pemerintah yang memutuskan kapan pendeta bekerja dan kapan pendeta berhenti. Karena hal ini, terdapat masa dimana gereja berhenti beroperasi karena tidak memiliki pendeta. Vakum gereja pertama terjadi di tahun 1807 dan kembali beroperasi di tahun 1816. Bukan hanya saat itu saja, Gereja Sion kembali tutup dengan alasan yang sama. Vakum kedua kalinya gereja memakan waktu yang jauh lebih lama, yaitu mencapai 92 tahun, sejak tahun 1850 sampai dengan tahun 1942.
Semenjak kembalinya Gereja Sion beroperasi, gereja terus melakukan kegiatan ibadah dan katekisasi hingga dewasa ini. Berdasarkan buku yang ditulis oleh Nayoan, jumlah pendeta gereja dari awal pembangunan hingga saat ini mencapai 56 pendeta. Saat ini Gereja Sion memiliki pendeta bernama Ellen.
Gereja Sion memiliki 13 sektor pelayanan pada tahun 1982. Seiring berjalannya waktu, sektor pelayanan terus berkurang hingga tersisa 4 sektor. Pengurangan sektor disebabkan jemaat awal sudah menyebar ke berbagai wilayah. Untuk saat ini, gereja memiliki jumlah jemaat sekitar 330 orang.
Nayoan berharap Gereja Sion tidak hanya menjadi tempat ibadah, namun dikembangkan menjadi tempat pernikahan jemaat dan melakukan Konser Keroncong Tugu. Ia juga berpendapat gereja bisa membangun museum kecil untuk melihatkan kepada masyarakat mengenai perkembangan gereja sejak awal dibangun hingga sekarang.
“Saya berharap gereja bisa melaksanakan pernikahan dan mengadakan Konser Keroncong Tugu. Lalu membangun museum kecil di sekitar gereja untuk melihat perkembangan gereja. Tujuan perkembangan ini agar semakin banyak masyarakat yang mengetahui Gereja Sion,” tutup Nayoan.
Banyaknya jumlah orang yang menjadi anggota jemaat menentang asumsi bahwa Gereja Sion berfungsi sebagai museum. Hingga kini, Gereja Sion hanya dioperasikan sebagai tempat ibadah untuk pemeluk agama Kristen Protestan.
Penulis: Syarifah ‘Arasy
Editor: Siti