Pers, terutama media cetak mengalami pertumbungan dan perkembangan pesat setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan banyaknya media cetak baru yang terbit. Hal ini bukan tanpa sebab, pendirian pers saat ini tak memerlukan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) seperti zaman Orde baru. Artinya, semua orang bisa membuat medianya sendiri. Dengan banyaknya rakyat Indonesia, ditambah berkurangnya angka buta huruf menjadikan pers sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Sebab, semua orang butuh informasi.
Keinginan manusia untuk mendapatkan informasi secara cepat menjadikan tantangan tersendiri bagi pers. Keinginan tersebut setidaknya dapat terpenuhi dengan adanya internet. Untuk itu, banyak perusahaan pers membuat media online. Menurut HAR Tilaar dalam buku Pengembangan Kreativitas dan Entrepeunership dalam Pendidkan Nasional, keadaan ini merupakan konsekuensi logis akibat adanya globalisasi. Dalam era keterbukaan informasi yang sangat bebas dan kapitalistis, semua orang menginginkan segala sesuatu dengan sangat cepat.
Ketika semua terkoneksi internet, manusia hanya cukup duduk di kamar dan semua informasi dari belahan dunia langsung tersedia di depan mata. Orang tak perlu lagi membaca koran, jika sekadar ingin membaca berita terbaru. Alhasil, oplah Koran juga akan menurun, karena orang-orang beralih ke media online. Bukan hanya masalah kecepatan berita, ongkos produksi cetak yang terus meningkat membuat media online jauh lebih menguntungkan bagi pemilik perusahaan pers.
Faktanya, di Amerika Serikat, seperti disampaikan Gene Mater, jumlah Koran terus menurun sejak 1959. Tercatat, sebanyak 300 ribu lebih koran sudah tutup sejak itu. Penyebabnya, tak lain karena keuntungan dari Koran yang terus menurun, sejak lahirnya media online. Maka bukan tak mungkin apa yang diperkiran oleh Philip Meyer dalam The Vanishing Newspaper bahwa media cetak baik itu koran mau pun majalah akan mati pada 2043, lebih tepatnya pada September 2043.
Di Indonesia menurut hasil penelitian Media Care, sepanjang tahun 2000-2014, 1.300 penerbitan sudah gulung tikar. Media-media berguguran, selain tidak mampu bersaing dengan media online yang menjamur juga karena harga kertas yang terus naik. Menurut data Dewan Pers, gempuran media sosial digital dan media online, cukup membuat industri cetak terpengaruh. Hal ini tercatat dari rendahnya pertumbuhan sirkulasi oplah dari 1.100 media di Indonesia pada akhir 2013, yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen.
Akan tetapi, “musuh” media cetak bukan hanya media online. Adanya media sosial seperti twitter, facebook, blog, instagram atau path membuat semua orang dengan mudah menyampaikan informasi saat itu juga dan dapat dilihat oleh semua orang. Hal tersebut sering disebut dengan Citizen Journalism atau jurnalisme warga. Contohnya ialah kasus Florence Sihombing, berawal dari postingannya di path, satu Indonesia mengetahui keluhannya. Tak hanya itu, secara cepat dirinya mendadak menjadi sorotan pers nasional.
Kita tidak dapat menyalahkan internet atau media mainstream mengenai kasus ini. Internet dan media massa adalah kita. Sebab, manusia adalah pembuat suatu kebudayaan. Perkembangan internet dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat, di sisi lain, gaya hidup masyarakat berubah dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan internet. Pun demikan dengan media massa. Media mainstream dipengaruhi berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, di sisi lain, pandangan masyarakat juga terpengaruh dengan pemberitaan media mainstream sebagai media massa.
Menolak Mati Media Cetak
Jika semua peristiwa dapat seketika langsung disebar dan dapat diakses oleh masyarakat saat itu juga melalui media sosial atau media online. Lalu bagaimana nasib media cetak, apa kita dengan begitu saja meyakini tesis Philip Meyer? Tentu saja tidak.
Meyer tidak memperhitungkan aspek ekonomi konsumen. Daya beli masyarakat yang semakin meningkat juga akan mempengaruhi keberlangsungan media cetak. Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyatakan, bisnis media cetak di Indonesia akan terus tumbuh mengingat banyak peluang yang bisa digarap oleh pengusaha media massa. Media cetak yang dikhawatirkan akan bangkrut, seperti di Amerika Serikat, beberapa tahun belakangan ini justru mengalami kenaikan tiras.
SPS merilis data, pada 2000, di Indonesia baru ada 290 judul media cetak dengan tiras sekitar 14,5 juta eksemplar. Namun, pada 2011 jumlah media cetak melonjak menjadi sekitar 1.000 judul dengan total tiras 25 juta eksemplar. Media cetak yang memiliki tiras paling banyak adalah surat kabar harian, disusul berturut-turut majalah, tabloid, dan surat kabar minggu.
Tak cukup sampai disitu, media cetak masih tetap menjadi pilihan utama masyarakat disebabkan beberapa hal seperti kedalaman berita dan disiplin verifikasi. Sebab, jiwa sebuah karya jurnalistik terletak pada validasi informasi yang membutuhkan waktu verifikasi berkali-kali. Hal ini yang sering dilewatkan oleh media online, hanya berorientasi pada kecepatan dan mengesampingkan validitas. Sajian isi berita media cetak yang menekankan kedalaman dan kekuatan melalui laporan investigatif dan liputan mendalam merupakan syarat penting untuk keberlangsungan hidup media cetak. Media cetak mesti memiliki politik keredaksian memberi arah dan tuntunan kepada wartawan untuk menggali apa yang ada di balik berita.
Syahdan, poin-poin tersebut yang akan membuat media cetak khususnya di Indonesia akan tetap ada. Merujuk, hasil rekapitulasi Dewan Pers 2014, jumlah total media cetak yang terbit di Indonesia tercatat 567 media cetak. Rinciannya, 312 media cetak harian, 173 media cetak mingguan dan 82 media cetak bulanan. Jakarta, menjadi provinsi dengan jumlah media cetak terbanyak di Indonesia. Tercatat ada 130 media cetak yang terbit di ibukota dengan rincian 32 media cetak yang terbit harian, 65 media yang terbit mingguan, dan 33 media cetak yang terbit bulanan.
Virdika Rizky Utama
Tulisan ini meraih peringkat 1, lomba menulis artikel di IISIP 6 Mei 2015