Dewan Kesenian Kepulauan Riau turut mengundang penyair kawakan Malaysia, Hamzah Hamdani, untuk ikut serta dalam diskusi buku “Aku Bukan Penyair Biasa” karya Husnizar Hood.
Dewan Kesenian Kepulauan Riau menggelar acara Malam Persembahan Seni dan Budaya Melayu (03/02). Diskusi buku kumpulan puisi Husnizar merupakan pembuka acara ini. Diskusi ini dimulai pada 14.00 WIB dan diselenggarakan di Gedung Aisyah Sulaiman, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tujuan kegiatan ini yakni untuk memperkenalkan sastra melayu kepada masyarakat Tanjung Pinang, seperti puisi, syair, dan gurindam.
Kegiatan tersebut turut mengundang penyair dari Gabungan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) dan penyair Indonesia yang tergabung dalam Dewan Kesenian Kepulauan Riau.
Buku yang didiskusikan merupakan karya seorang penyair ternama di Kepulauan Riau, yakni Husnizar Hood. Bukunya berjudul “Aku Bukan Penyair Biasa“. Buku ini berisi kumpulan puisinya yang ditulis pada 1999 hingga akhir 2017. Kumpulan puisi ini terbit pada Desember 2017. Sebelumnya, ia menulis kumpulan puisi yang berjudul Kalau Tiga – Racik Sajak (1996). Kemudian disusul Tarian orang Lagoi (1999). Dari hasil kedua karyanya tadi, Husnizar Hood, yang kini menjabat sebagai Wakil ketua II DPRD Provinsi Kepulauan Riau, mendapatkan dua anugerah yaitu, Anugerah Sagang (2004) dan Anugerah Jembia Emas (2016).
Pada diskusi ini dihadirkan dua pembicara. Pembicara pertama merupakan penyair kawakan Melayu, yaitu Hamzah Hamdani, selaku Bendahara GAPENA. Kedua, Rida K. Liamsi, tokoh penyair Riau.
“Karya puisi Husnizar tak biasa. Karyanya amat sarat berisikan tentang kritikan terhadap kotanya yaitu Kepulauan Riau,” ujar Hamzah. Mungkin seperti penggalan syair “pada sejarah kota ini, mereka selalu tersesat jika ditanya”. Husnizar seakan mengkritik para pemimpin kota Tanjung Pinang yang tak tau sejarah.
Hamzah terkesan terhadap karya Husnizar. Menurut dia, kumpulan puisinya berbeda dengan puisi lainnya. Sebab, bukan bertemakan tentang percintaan anak muda zaman sekarang, melainkan tentang alam, tokoh, situasi politik dan budaya masyarakat.
“Membaca puisi Husnizar seperti mendengar debur gelombang. Terkadang keras, terkadang sayup. Tapi selalu dan terdengar. Puisi naratif yang mendebur,” kata Rida K Liamsi. Selain membedah karya puisi Husnizar, kegiatan pembuka acara ini turut menampilkan musikalisasi puisi budaya melayu dan Gurindam.
Diskusi ini berakhir sekitar pukul 15.30 WIB. Puncak acara tersebut digelar pukul 19.30 WIB, yang dilanjut dengan kemeriahkan pembacaan puisi, syair, serta gurindam karya penyair kedua negara,
Penulis : Tonny Priangan
Editor : Hendrik Yaputra