Pendidikan dan pembelajaran terkait kesetaraan gender menjadi aspek penting dalam upaya meminimalisir kekerasan seksual di kampus.

Kekerasan seksual di kampus semakin merajalela. Kasus yang baru terjadi, yakni pelecehan terhadap mahasiswi oleh dosen sekaligus dekan di Universitas Riau yang saat ini masih dalam proses penyidikan. Tidak terkecuali, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dugaan pelecehan seksual oleh dosen melalui pesan singkat kepada mahasiswi baru terungkap.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2020 lalu, sebanyak 77% dosen mengatakan bahwa pernah terjadi kekerasan seksual di kampusnya. Namun, sebanyak 63% dosen tidak berani melapor, karena takut akan stigma negatif. Sementara itu, Komnas Perempuan menyebutkan, sebanyak 27% aduan kekerasan seksual dalam ruang lingkup perguruan tinggi.

Ramli, mahasiswa Pendidikan Sejarah menjelaskan, maraknya kasus pelecehan seksual merupakan cerminan dari tidak terciptanya ruang yang demokratis di dunia pendidikan tinggi. Adanya tradisi-tradisi lama, lanjut Ramli, yang menciptakan ketidaksetaraan gender dibiarkan mengakar kuat.

“Ketidaksetaraan itulah, misal antara dosen dengan mahasiswa, atau laki-laki dengan perempuan yang menyebabkan praktik kekerasan seksual sering terjadi,” ujar Ramli.

Ramli mengatakan, perempuan kerap kali dikalahkan posisi dan peranannya di masyarakat. Perjuangan perempuan dalam melawan kekerasan seksual, bagi Ramli, merupakan perlawanan terhadap adanya normalisasi kekerasan yang berdasarkan identitas gender atau jenis kelamin.

Iklan

Ia mengatakan, di dalam ruang lingkup pendidikan harus ada upaya pencerdasan dalam menciptakan kesetaraan. Oleh karena itu, selain aturan yang mengatur penanganan kekerasan seksual, “harus ada pendidikan dan pembelajaran terkait kesetaraan gender,” tegas Ramli yang juga aktif dalam Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA).

Sementara itu, Tami, mahasiswi Tata Busana, merasa miris dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus, khususnya UNJ. Setali tiga uang dengan Ramli, Tami menganggap bahwa terdapat penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dosen terhadap mahasiswa. Menurutnya, pendidik seharusnya memberikan rasa aman untuk mahasiswa. Ia mengatakan, “justru rasa was-was yang akhirnya muncul di benak mahasiswa.”

Baca Juga : Kekerasan Seksual Online Kerap Terjadi di Lingkungan Kampus, Kemendikbud Terbitkan Regulasi

Menurut Tami, harus ada sosialisasi mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Karena, ketiadaan pembelajaran mengenai gender di ruang kelas menjadi salah satu sebab maraknya kasus pelecehan seksual. Tami menegaskan, sebagai calon pendidik atau guru, civitas akademika di UNJ harus mempunyai kesadaran gender.

Hal yang sama dijelaskan oleh Yuanita Apriliandini, dosen Prodi Pendidikan Sosiologi. Terjadinya kekerasan seksual, menurutnya, tidak terlepas dari penyalahgunaan relasi kuasa antara dosen dengan mahasiswa. Misalnya, yang terjadi dalam kasus sexting di UNJ. Ia mengatakan, “posisinya itu mahasiswi butuh nilai dari dosen. Makanya, ia mau tidak mau menuruti kemauan dosen.” Ketimpangan relasi kuasa tersebut, lanjut Dini, kerap menjadi tindakan-tindakan yang manipulatif, sehingga korban bisa saja tidak menyadari bahwa dirinya sedang dilecehkan.

Selain itu, fenomena di UNJ cukup berbeda. Berstatus sebagai kampus LPTK, UNJ mengalami kemandekan dalam kurikulum kependidikan. Mahasiswa/i masih dituntut untuk menjadi guru yang konservatif dan tidak memiliki perspektif kritis, sehingga gagal membongkar hal yang terselubung dari fenomena kekerasan seksual di kampus.

Dini melanjutkan, adanya dominasi dari kelompok fundamentalis yang kerap membawa narasi keagamaan membuat kekerasan seksual di kampus terus menerus terjadi. Jaringan dakwah kampus, misalnya, kerap mengaitkan peraturan tentang kekerasan seksual sebagai upaya melegalkan zina. “Padahal kan tidak. Ini harus diluruskan pemahamannya. Tapi, diajak berdiskusi tidak pernah bersedia,” ujarnya.

Salah satu caranya, jelas Dini, dalam meminimalisir hal tersebut di kampus adalah melalui intervensi kurikulum. Ia menjelaskan, misalnya memasukan pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming dalam mata kuliah umum. “Jika ini tidak dilakukan, budaya pembiaran terhadap kasus kekerasan seksual terus terjadi,” katanya.

Sebenarnya, pada 9 Desember 2021, UNJ telah merilis Peraturan Rektor Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Negeri Jakarta yang menjadi turunan dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2020.  Peraturan rektor tersebut dalam pasal 4 mengatur tentang pencegahan kekerasan seksual, diantaranya melalui program edukasi dan integrasi nilai-nilai HAM dan gender. Namun, sampai berita ini diterbitkan, belum ada perencanaan yang lebih rinci terkait pasal tersebut. Bahkan, ketika dihubungi melalui WhatsApp, Suyono, Wakil Rektor I bidang Akademik mengaku belum mengetahui terkait pembahasan program edukasi dan integrasi kurikulum.

 

Iklan

Penulis : Ahmad Qori Hadiansyah

Editor : Hastomo Dwi Putra