Dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS), turut mengatur tentang pencegahan dan penanganan pada kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk Perguruan Tinggi di Indonesia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengenai PPKS pada Selasa (26/10/21) lalu. Dalam peraturan tersebut, Perguruan Tinggi dituntut untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus.
Adapaun kekerasan seksual yang dimaksud merujuk pada pasal 1 ayat 1, yaitu setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Peraturan ini menyasar kepada mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tridharma.
Mengatur KBGO
Lebih lanjut, Permendikbudristek PPKS ini juga mengakui jenis kekerasan seksual yang terjadi melalui dunia digital. Secara umum, hal ini biasa disebut dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Adapun bentuk-bentuk KBGO yang diatur dalam Permendikbud PPKS ini antara lain:
(1) adanya ajaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender seseorang;
(2) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan;
(3) ucapan yang memuat rayuan dan lelucon yang bernuansa seksual;
(4) mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
(5) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
(6) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
(7) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
(8) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
(9) pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
(10) praktik budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual, dan;
(11) melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
Fakta Kasus KBGO
Berdasarkan data Komnas Perempuan, KBGO termasuk dalam jenis kekerasan berbasis gender yang meningkat setiap tahunnya.
Data Lembaga Penyedia Layanan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa KBGO yang terjadi pada 2019 tercatat sebanyak 126 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 menjadi 940 pengaduan kekerasan terhadap perempuan berbasis online, 479 di antaranya adalah kekerasan seksual.
Tindakan KBGO yang terjadi antara lain penguntitan siber (cyberstalking); intimidasi; pelecehan siber; pelecehan di berbagai platform; serangan melalui komentar; mengakses, mengunggah atau menyebarkan foto intim, video, atau klip audio tanpa persetujuan; mengakses atau menyebarkan data pribadi tanpa persetujuan; doxing (mencari dan mempublikasikan data pribadi seseorang) dan pemerasan seksual (sextortion).
KBGO di UNJ
Dalam lingkup UNJ, KBGO juga pernah terjadi. Kasus pertama yang tercatat adalah kasus KBGO yang dilakukan oleh Sheldy Ardya, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni pada 2020 lalu. Kasus ini viral beberapa saat setelah Sheldy menggunakan akun Twitter-nya untuk menulis postingan yang dinilai berisi ancaman perkosaan terhadap mahasiswa baru UNJ.
Selain itu, Sheldy juga melakukan berbagai pelecehan verbal kepada beberapa perempuan di Twitter. Akhirnya, Sheldy mendapat sanksi berupa skorsing selama satu semester.
Kasus kedua merupakan kasus yang dilakukan oleh Ulil, mahasiwa Fakultas Ilmu Sosial pada Juni lalu. Kasus ini terungkap saat korban berani menyuarakan kasusnya di Twitter. Berdasarkan cerita korban, Ulil melakukan penyebaran identitas korban tanpa izin. Ulil bahkan menyematkan label bahwa perempuan tersebut merupakan pekerja seks yang menerima open BO.
Hal ini memberikan berbagai kerugian psikis bagi korban. Berbagai pesan yang bernuansa pelecehan seksual terus-menerus bermunculan di Whatsapp korban. Hingga kini, penyelesaian kasus Ulil oleh birokrat kampus belum tuntas.
Penyelesaian yang belum tuntas juga berlaku pada kasus ketiga, yaitu kasus seseorang yang melakukan masturbasi di zoom meeting ketika ujian PENMABA UNJ berlangsung pada Juli lalu. Perilaku ini disebut dengan ekshibisionis.
Respon Mahasiswa
Mendengar kabar terbitnya Permedikbud PPKS, Winny Asri, mahasiswa Prodi Pendidikan Tata Rias mengaku antusias. “Peraturan ini sangat urgent, apalagi untuk mahasiswa perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Akhirnya kini diatur dalam peraturan yang jelas,” ungkapnya ketika diwawancarai via WhatsApp pada Selasa (26/10/21) kemarin.
Menurutnya, apabila tindakan-tindakan kekerasan seksual tidak diatur secara tegas, hal ini akan berdampak pada kebebasan berekspresi mahasiswa di kampus. Mahasiswa akan cenderung melakukan sensor diri karena khawatir menjadi korban. Ia menyebutkan, dirinya ingin bebas berekspresi di kampus dan tetap merasa aman atas ekspresinya.
Sebagai pengguna aktif media sosial, Winny juga ingin merasa nyaman untuk berselancar di media sosial tanpa adanya kekhawatiran mengenai kekerasan seksual. “Ini mengakomodir kebutuhanku, baik di kampus maupun secara digital. Aku harap implementasi dari peraturan ini dapat berjalan dengan baik,” tulisnya.
Antusiasme ini juga datang dari Aneu Damayanti, salah satu mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2019. Menurutnya, ini adalah awal yang baik bagi penuntasan kasus kekerasan seksual di kampus. “Kampus harus aman bagi siapapun,” tegasnya.
Aneu menambahkan, fenomena ujaran-ujaran yang mengandung seksisme masih sering terjadi pada group chat atau sosial media lain. Menurutnya, hal ini berujung pada normalisasi, meskipun ia merasa terganggu. Aneu menulis, “perempuan terus diletakan sebagai objek seksual yang kerap kali dijadikan bahan bercanda.”
Oleh sebab itu, ia mengapresiasi adanya peraturan ini. “Ini adalah peluang bagi korban untuk melawan pelaku kekerasan seksual dan bentuk dukungan nyata kepada korban bahwa dia didukung dalam penyelesaian kasusnya,” tuturnya.
Lebih lanjut, Aneu berharap pihak kampus dapat mengimplementasikan peraturan ini sesuai dengan yang ia harapkan, yaitu kampus bebas dari kekerasan seksual dan penyelesaian yang tidak mengintimidasi korban.
Penulis : Vamellia Bella
Editor : Hastomo Dwi