Dr. L. Manik yang kita kenal sebagai pencipta lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, juga merupakan seorang pengamat budaya terutama masalah kesenian tradisional dan musik khususnya. Ketika kami temui di kediamannya JI. Magelang KM.8 Jogjakarta, beliau berbicara mengenai kebudayaan nasional Indonesia. L. Manik berpendapat bahwa kebudayaan nasional itu belum kita punyai, tetapi kita sedang menuju ke arah sana. Itu menunjukkan bahwa kita masih kekurangan, tapi justru itu yang akan merangsang kita untuk berfikir bagaimana sebenarnya kebudayaan nasional kita.
Menurut beliau, kebudayaan itu mahal harganya. Oleh karena itu bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang mau menghargai hasil budi dayanya, dan bangsa itu bukan bangsa yang “kere”. Percuma saja kita berbicara tentang kebudayaan kalau rakyat masih dalam kondisi seperti itu, terlebih bila pemerintah sering menghambat kegiatan kesenian. Menurutnya, itulah kekuasaan pemerintah, mereka berkuasa mengatakan apa saja. Pemerintah tidak mengijinkan pementasan itu karena yang mereka bicarakan adalah rakyat kita yang miskin, yang justru pemerintah berusaha untuk menutup-tutupi. Padahal untuk apa, kalau memang ada borok-borok di sana?
Menanggapi pertanyaan tentang sikap pemerintah untuk menutupi kemungkinan tumbuhnya kesenian dan kebudayaan nasional dengan caranya itu, sementara di lain pihak pemerintah menggembar-gemborkan program Visit Indonesia Year- nya, beliau mengatakan bahwa dua hal yang bertentangan itu, di sinilah letaknya. Kebudayaan dari dalam dihambat, sementara dari luar tak mampu dibentung karena arus globalisasi yang melanda saat ini. Jadi, soal larangan-larangan seperti di negara diktator layaknya, dan beliau yakin semakin pemerintah banyak melarang, masyarakat semakin ingin tahu mengapa dan ada apa di balik semua itu.
Baca juga: Merdeka Lewat Pendidikan
Ditekannya sekali lagi, bahwa kebudayaan nasional itu belum ada. Karena untuk berkebudayaan nasional, suatu bangsa harus merdeka dulu. Tokoh kita ini kemudian bertanya : Apa sebenarnya yang disebut merdeka? Kita sudah merdeka dalam hal politik, tetapi lain halnya dengan kemerdekaan bagi ruang gerak kesenian Indonesia, Bagaimana masa depan kebudayaan Indonesia, beliau tidak bisa meramal, karena itu tergantung bahwa bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi gejala-gejalah seperti itu. Sebenarnya, kita jangan terlalu berharap banyak dari konggres kebudayaan itu, karena itu sudah terlambat. Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain yang merdeka di tahun-tahun yang sama sekitar tahun kemerdekaan Indonesia, mereka terlihat mempunyai benteng yang kokoh untuk mewujudkan ciri yang khas dari sebuah seni budayanya yang lebih ditekankan pada hal-hal yang ritual.
Di Indonesia, hal-hal ritual justru sekarang semakin memudar. Seperti tarian Tor-tor di Medan, tak lagi terkesan ritualnya ketika ditarikan di depan para turis. Inilah tugas yang besar bagi kita untuk menjembatani kebudayaan nasional itu, karena ini belum mencapai tujuan dan belum ada konsepnya. Kalaupun kita punya GBHN, tetapi itu tidak bisa dijadikan pegangan konkret bagi adanya sebuah kebudayaan nasional Indonesia. Jadi, tetap perlu adanya konsep dari budayawan dan seniman kita, dengan syarat tidak bertentangan dengan haluan negara.
Kalau selama ini kita mengenal konsep pendidikan dibuat oleh kaum politisi, konsep militer, lalu yang kita khawatirkan konsep kebudayaan nasional kita pun bernasib seperti itu juga. Padahal sebenarnya itu tidak mungkin selalu harus berkaitan dengan Pancasila, karena kebudayaan itu mesti tumbuh dari kebudayaan itu sendiri. Namun demikian tidak perlu adanya revolusi kebudayaan di Indonesia semacam “renaisance”. Menurutnya, itu akan terjadi se cara otomatis, dan itu bisa terjadi kalau kita benar-benar memiliki konsep kebudayaan yang fix.
Baca juga: Tidak Hanya Istana yang Bau Kolonial, tapi Negaranya juga!
Sedangkan mengenai konsep kebudayaan kita, tetap hanya menjadi sebuah obsesi. Beliau tidak mau mengambil definisi dulu. Karena katanya revolusi itu tidak bisa dibuat-buat sebab harus ada unsur dan sumber yang matang. Sedang di negara kita ini masih belum kelihatan kesamaan gerak para seniman kita. Oleh karena itu, samakan dulu persepsi para seniman, baru semuanya akan terwujud.
Sebetulnya tidak hanya seniman yang mampu mewujudkan semua itu, mahasiswa pun bisa menjadi jembatan, karena merekalah yang melihat dan mengendalikan gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat (Kontrol Sosial). Dengan begitu cita-cita masyarakat bisa dilaksanakan oleh mahasiswa karena mereka punya kesempatan banyak, tidak terikat oleh birokrasi dan tidak disibukkan oleh urusan rumah tangga. Makanya yang ditakuti oleh pemerintah itu adalah mahasiswa karena kreatifitas dan sifat kritisnya itu.
Pada kesempatan terakhir beliau berkata, kita tak usah lagi berpikiran bahwa kita harus mengejar ketinggalan yang 300 tahun itu. Yang harus kita kerjakan sekarang, kita tinggal merekayasa apa yang telah ada saja, mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan itu untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Ditulis oleh : Nina dan Dian
Dalam Majalah LPM Didaktika No. 2 TH. XVI/1992 pada Rubrik TEROPONG