Kiwari, mata kita banyak disuguhi oleh pemandangan bendera merah putih yang bertebaran. Tandanya, hari kemerdekaan Indonesia sudah dekat. Orang Indonesia akan merayakan hari bersejarah itu, hari saat negara bangsa Indonesia berdiri menggantikan rezim kolonial.
Sistem kolonialisme yang telah sedemikian lama mencengkram Nusantara, merupakan musuh utama bagi orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukan perlawanan terhadap wacana-wacana dan praktik-praktik imperialisasi/kolonialisasi, atau yang disebut antropolog Meksiko, Jorge de Alva sebagai pascakolonialitas.
Perlawanan terhadap kolonialisme tetap diserukan setelah Indonesia menjadi sebuah negara. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Seruan dalam konstitusi itu diwujudkan dengan adanya Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada 1955. Lewat pertemuan itu, Indonesia mempelopori gerakan negara-negara pascakolonial melawan kolonialisme dan neokolonialisme—bentuk baru dari kolonialisme.
Bahkan, baru-baru ini semangat antikolonial juga disinggung oleh Presiden Indonesia, Jokowi. Di tengah persiapan pemindahan aparatur sipil negara ke Ibu Kota Nusantara, ia mengatakan istana presiden di Jakarta dan Bogor bau kolonial.
Namun, semangat melawan kolonialisme itu seolah menjadi ironi tersendiri. Pasalnya, banyak orang menilai Indonesia malah berlaku layaknya negara kolonial. Anggapan itu didasari oleh keadaan di pulau paling timur di Indonesia, yakni Papua.
Di Bumi Cenderawasih itu banyak orang Papua justru mengaku dijajah oleh Negara Indonesia. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengupayakan berdirinya negara bangsa Papua yang merdeka dari Negara Indonesia.
Indonesia dan Papua dalam Sejarah
Munculnya Negara Indonesia merupakan hasil dari dinamika sejarah yang panjang dan kompleks. Namun titik pentingnya adalah lahirnya embrio kebangsaan Indonesia. Berangkat dari studi kasus di Indonesia, Benedict Anderson melihat pola umum munculnya suatu bangsa karena hadirnya kapitalisme cetak.
Memasuki abad ke-20, industri cetak berupa surat kabar berkembang pesat di Hindia Belanda, sama seperti industri lainnya karena merekahnya zaman modal atau kapitalisme. Melalui surat kabar, bahasa melayu–bahasa penghubung masyarakat di Nusantara sejak lama–digunakan secara masif. Dengan bahasa, berita, dan gagasan yang sama, masyarakat Nusantara yang beragam membayangkan diri sebagai suatu bangsa atau imagined communities.
Baca juga: Pudarnya Kerja Gotong-Royong Menuju ke Perburuhan Modern
Berbarengan dengan itu, terjadi perluasan praktik pendidikan gaya Barat kepada pribumi karena meningkatnya kebutuhan industri akan tenaga kerja terdidik. Banyak dari mereka yang mengakses dunia Barat lewat pendidikan menyadari permasalahan sistem kolonial dan bertujuan untuk mengubahnya.
Indonesia pun merdeka dan kedaulatannya diakui oleh Belanda. Namun terdapat wilayah bekas Hindia Belanda yang belum masuk ke Indonesia, yakni Papua. Dengan semangat anti neokolonialisme, Indonesia berusaha merebut Papua dari pengaruh Belanda. Hingga di bawah rezim Soeharto, Papua masuk ke dalam wilayah Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.
Meski begitu, Pepera dinilai penuh akan kecurangan. Pepera yang menurut amanat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) seharusnya dilakukan secara one man, one vote, malah dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan segelintir individu orang Papua saja. Diketahui orang Papua yang memberikan suara ketika Papera mendapatkan hadiah dari pihak Indonesia.
Setelahnya, hegemoni keindonesiaan kepada orang Papua bergulir baik lewat institusi pendidikan, pemerintahan, dan media. Bahkan, “mengindonesiakan” Papua juga dilakukan lewat ranah ekonomi. Survei Kompas pada 2022 menunjukkan, nasi telah menggeser sagu sebagai makanan pokok asli orang asli Papua (OAP).
Melihat hal itu, alih-alih tumbuh secara organik, Nasionalisme Indonesia di Papua seakan dipaksakan oleh penguasa, atau yang dikatakan Benedict Anderson sebagai nasionalisme resmi. Nasionalisme ini dipakai oleh kelompok dominan untuk menguntungkan kepentingannya, sekaligus mencegah perkembangan suatu imagined communities baru.
Akan tetapi, terdapat nasionalisme Indonesia di Papua yang tidak muncul karena peran negara. Dalam Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan Tahun 2023 misalnya, diketahui tokoh Papua pro Indonesia seperti Silas Papare muncul rasa nasionalismenya usai berdialog dengan para tahanan politik di Pulau Digoel, Papua. Setelahnya, ia membentuk berbagai organisasi politik seperti Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) untuk mendukung integrasi Papua ke Indonesia.
Persoalan mengenai integrasi Papua ke Indonesia ataupun nasionalisme Indonesia pada orang Papua, memang merupakan hal yang pelik dan penuh akan perdebatan. Namun, hal yang tidak bisa dipungkiri adalah adanya penindasan berlapis kepada orang Papua.
Salah satu bentuk penindasan adalah rasisme, khususnya dalam hal warna kulit. Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, asrama yang berisi sekelompok mahasiswa Papua mendapat serbuan yang diiringi lontaran rasis oleh organisasi masyarakat karena dituduh menjatuhkan bendera merah putih.
Selain itu, orang Papua juga kerap direndahkan dari sisi budaya. Budaya Papua seperti koteka sering dianggap terbelakang. Wacana itu diproduksi oleh media seperti televisi ataupun film, orang Papua kerap digambarkan sebagai orang primitif.
Selain budaya dan ras, orang Papua pun tertindas secara ekonomi. Di tengah sumber daya alam Bumi Cenderawasih yang begitu kaya, indeks pembangunan manusia (IPM) orang Papua pada 2023 cuman 62,65 poin (terendah di Indonesia).
Permasalahan Papua tambah runyam ketika bumi cenderawasih itu penuh akan merah darah karena kekerasan. Komnas HAM menyatakan terdapat 480 kekerasan oleh aparat negara di Papua pada sepanjang tahun 2020-2021.
Dari berbagai hal di atas, dapat dilihat Negara Indonesia yang lahir dari semangat anti kolonialisme, justru seakan melakukan praktik-praktik kolonialisme itu sendiri. Ania Loomba dalam bukunya berjudul Kolonialisme/Pascakolonialisme, menyatakan kolonialisme bukan hanya sesuatu yang terjadi dari luar suatu negara atau bangsa, tetapi juga dari dalam.
Orang Papua Harus Berbicara
Untuk melawan praktik kolonialisme beserta wacananya, penting adanya usaha mengangkat suara-suara subaltern. Dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, subaltern dapat dikatakan sebagai mereka yang dikucilkan dari tatanan sosial. Dari pengucilan itu mereka “tidak bisa bicara”, bahkan pikiran mereka seringkali dimanipulasi oleh kelompok penguasa.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, bisa dikatakan kalau orang Papua adalah subaltern. Sebagai contoh, baru-baru ini beberapa kelompok masyarakat adat Papua menolak pembangunan kebun sawit yang mengancam ruang hidup mereka. Protes itu tidak digubris pemerintah, sampai tagar All Eyes On Papua yang mengangkat kasus itu menggema.
Sulitnya orang Papua bicara ditunjukkan juga dengan minimnya indeks demokrasi Indonesia (IDI). Dari data Badan Pusat Statistika (BPS) pada 2023, IDI Provinsi Papua Barat menjadi yang terendah di Indonesia dengan angka 65,55. Tidak jauh jauh dari itu, IDI Provinsi Papua hanya berjumlah 67,64.
Oleh karena itu, pengangkatan isu yang disuarakan orang Papua penting untuk membuat mereka “berbicara” dan kepentingan mereka juga bisa terwujud. Sebab, kepentingan mereka tampaknya tidak terwakili oleh elit-elit lokal dalam pemerintahan. Hal itu dapat dilihat dari kondisi yang sudah dijelaskan di atas.
Baca juga: Putus Kuliah Imbas Pembatalan KJMU
Ketika orang Papua dapat berbicara, maka mereka akan melawan praktik kolonialisme. Bersamaan dengan itu, diskursus mengenai kebangsaaan di antara mereka akan berkembang pesat.
Di titik ini Negara seharusnya tidak membatasi diskursus itu. Selain itu, negara juga harus mengutamakan bentuk usaha integrasi kebangsaaan dengan dialog, bukan dengan kekerasan. Jika tidak, anggapan sebagai negara kolonial akan terus membayangi Indonesia. Suatu ironi bagi negara yang lahir dari semangat perlawanan anti kolonialisme.
Penulis: Andreas Handy
Editor: Ezra Hanif