Judul buku: Babad Kopi Parahyangan
Penulis: Evi Sri Rezeki
Penerbit: Yogyakarta, Marjin Kiri, 2020
Jumlah halaman: 348 halaman
ISBN: 978-979-1260-96-1
Orang Sunda tidak pemalas melainkan mengambil sesuatu dari alam secukupnya, (Hlm 281).
Kutipan di atas menjadi satu penggambaran bagaimana praktik kolonialisme di Nusantara, terkhusus bumi Parahyangan, Jawa Barat, melahirkan stigmatisasi budaya kerja. Hal ini dirasakan oleh tokoh utama, Karim–perantauan dari Darek, Minangkabau, Sumatera Barat–ketika berusaha menasbihkan dirinya menjadi buruh tani kopi di sana.
Mulanya, Karim memiliki motivasi yang tinggi untuk jadi bandar dagang ternama. Sampai suatu saat, ia bertemu Pelaut yang menawarkan untuk pergi ke tanah Parahyangan untuk mengenal perkebunan kopi. Tanpa memikirkan kejelimetan apapun, ia langsung pergi tanah mutiara hitam tersebut menaiki kapal laut.
“Pada masa Daendels berkuasa, Gubernur Jenderal itu memberikan perhatian khusus pada kopi. Daendels tahu benar kopi memberi keuntungan besar bagi Belanda. Yang pertama dilakukan Daendels adalah membentuk inspektur Jenderal Tanaman Kopi, ketuanya Winckleman,” (hlm 49).
Pada pemberhentian pertama di Batavia, Karim berpisah dengan Pelaut dan beberapa awak kapal lain karena ingin menempuh jalannya masing-masing. Kini, Karim bersama teman masa kecil Pelaut, Kang Ujang yang bekerja sebagai tukang pos, lanjut berjalan menuju Parahyangan dengan menyusuri Jonggol, Buitenzorg, Cianjoer, dan Bandoeng. Namun Karim harus berpisah dan meneruskan perjalanan ke Parahyangan sendiri, karena Kang Ujang mengantar barang ke tempat lain.
Di tengah kesendiriannya ini, Karim baku-hantam dengan sekelompok perompak dan mengakibatkan dirinya terluka. Meski begitu, ia diselamatkan oleh perempuan bernama Euis dan seorang bocah, Cecep. Euis menjadi jembatan penghubung bagi Karim untuk meneruskan perjalanannya menjadi petani di kebun kopi. Karim direkomendasikan untuk bekerja di perkebunan kopi milik Raden Arya Kusumah Jaya.
Sesampainya di perkebunan itu, Karim bersama kolega petani kopinya diperlakukan lebih buruk daripada hewan ternak. Mereka berdesak-desak tidur di dalam sebuah gudang penyimpanan yang dingin, tanpa alas, bersamaan dengan hasil panen buah kopi. Kesehatan para petani kopi bisa juga dibilang memprihatinkan, mereka harus hidup dengan kondisi kekurangan gizi. Selain itu, jam kerja yang diberikan pun cukup tinggi, dimulai sehabis salat Subuh, hingga menjelang bakda Isya dengan tupoksinya masing-masing.
Baca juga: Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian
Macam gayung bersambut, penindasan masih terus berlanjut. Ketika ada petani yang melanggar, baik persoalan kecil ataupun besar, pasukan Jayengsekar–polisi khusus yang dibentuk oleh Daendels–beserta Mandor akan langsung menghukum dengan cara membunuhnya. Mayat petani dibiarkan begitu saja, membusuk di sekitaran perkebunan.
Para buruh tani tidak boleh menguburkan mayat temannya dengan prosesi agama Islam. Selain menghambat efektivitas proses kerja karena terlalu lama bergelut dengan norma tradisi. Menurut teman baru karim di kebun, Ateng, hal ini dilakukan untuk menciptakan rasa takut kepada para buruh tani supaya mereka tidak melakukan kesalahan.
Meski begitu, Karim bersama petani kopi lainnya berusaha melawan penindasan tersebut. Mereka melawan dengan menyelundupkan dagangan kopi, hingga langsung konfrontatif membunuh seorang mandor perkebunan, Satria. Singkat cerita pasca perlawanan itu, orang-orang di bumi Parahyangan sedang berharap untuk melangkah ke zaman baru, tidak ada penindasan.
Namun, yang tidak terprediksi dari babak baru ini adalah Undang-undang Agraria dan Gula tidak pernah masuk ke Bumi Parahyangan. Padahal, Karim bersama buruh tani lainnya sangat mengharapkan adanya regulasi baru dari Undang-undang tersebut yang sekiranya bisa jadi secercah harapan untuk lepas dari penindasan. Bak masih terjebak dalam kubangan lumpur yang sama, situasi bumi Parahyangan tidak ubahnya memiliki perbedaan. Penindasan semacam tanam paksa masih berlaku.
“Ia kini paham dengan ucapan Raden Arya Kusumah Jaya bahwa undang-undang baru ini tipu daya bagaimana kompeni mencengkeramkan kuku-kuku mereka ke Nusantara Dan negeri ini telah berubah rupa dari negeri para petani menjadi negeri para buruh. Kompeni menjejali buah simalakama. Dan para dewa sekali lagi berpaling muka,” (hlm-329).
Transisi ke Model Perburuhan Modern
Terlepas dari tidak manusiawinya tanam paksa, terdapat selubung fenomena yang menarik untuk dijadikan pembahasan. Pembatasan mengenai tradisi masyarakat demi efisiensi produksi hasil kebun, menandakan sebuah transisi. Adanya nilai atau tradisi yang hilang menjadi langkah baru perubahan corak produksi dalam masyarakat.
Jika dalam novel digambarkan kalau lunturnya tradisi penguburan sesuai ajaran Islam dikarenakan pihak kolonial ingin lebih menciptakan siklus efisien terhadap produksi, terdapat tradisi lain yang juga memudar. Salah satunya bernama nyirib. Melansir Historia.id, tradisi ini ditujukan untuk memenuhi pangan masyarakat dalam kesehariannya. Nyirib tidak memiliki asal-usul yang akurat, namun menurut laman ini, tradisi sudah berjalan semenjak era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha masih ada di Sunda.
Biasanya dalam melaksanakan tradisi ini, ratusan masyarakat terjun langsung untuk bekerja. Terdapat pembagian tugas, pertama adalah menutupi bagian dalam sungai atau leuwi dengan tumpukan batu dan pepohonan. Kedua, menangkap ikan dan menampungnya ke dalam wadah besar.
Ikan-ikan tangkapan ini nantinya akan dibagikan secara merata ke masyarakat. Nyirib dilakukan untuk memenuhi subsistensi pangan masyarakat Sunda kala itu dalam jangka waktu yang lama.
Dalam arus sejarah, tradisi nyirib pudar sejak kolonialisme, tepatnya ketika kebijakan Tanam Paksa (1830) dan Sistem Politik Pintu Terbuka (1870) di bumi Sunda. Dengan kata lain, transisi kerja gotong-royong hilang, digantikan oleh corak perburuhan modern.
Baca juga: Tanda Bahaya Matinya Kepakaran
Hasil tidak lagi berorientasi pada pembagian yang merata untuk tiap masyarakat yang terlibat dalam kerja seperti dalam tradisi nyirib. Akan tetapi, hasil kerja lebih bersifat perorangan. Hal ini dapat dilihat dari peralihan di mana sistem pengupahan berdasarkan perhitungan temporal produktivitas tiap buruh mulai berlaku.
Tidak berhenti sampai di situ, pelanggengan modernisasi model kerja perburuhan ini turut juga dirawat oleh kebijakan Politik Etis (1901). Menurut Melvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, pada awal kemunculan Politik Etis, terkhusus dalam konteks ekonomi-politik makro yang tengah berkembang kala itu, kapitalisme swasta Belanda tengah mengalami pertumbuhan dahsyat. Hasrat untuk ekspansi kapital industri padat karya dan modal semakin dibutuhkan.
Oleh karena itu, kebutuhan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan modern semakin terasa. Pribumi secara individualistis lebih difokuskan bekerja sebagai buruh di industri padat karya dan modal. Bagi Belanda, terkhusus si pelopor kebijakan, Van Deventer, upaya ini merupakan bentuk paling humanis yang diklaim dapat mencapai ketentraman, keadilan, hingga kesejahteraan bagi pribumi.
Gerak sejarah pun mengalir perlahan sampai pada hari ini. Relasi ketat antara rantai kausalitas kolonialisme Belanda dahulu masih sangat terasa, bahkan mudah ditemukan di keseharian. Kita lebih mengamini kerja yang bersifat individualistis. Seolah, nilai gotong-royong dalam corak kerja sehari-hari kita tidak butuhkan, kemudian disimpan ke dalam lemari yang telah dikunci rapat.
Buku Babad Kopi Parahyangan menghadirkan satu bentuk imajinasi yang begitu menarik jika kita ingin meraba-raba kondisi penindasan kolonialisme Belanda terhadap masyarakat pribumi. Meski begitu, terdapat beberapa poin kritik berupa bertele-telenya bagian romansa yang seharusnya tidak perlu untuk terlalu dikembangkan ke dalam alur besar cerita. Racikan bumbu romansa ke dalam novel ini akan lebih baik jika dikurangi. Buku ini direkomendasikan untuk dibaca.
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Andreas Handy